Tampilkan postingan dengan label Literatur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Literatur. Tampilkan semua postingan

21 Juni 2017

Kenapa di Indonesia Greece, Egypt dan Netherlands Disebut Yunani, Mesir dan Belanda?


Mengapa negara-negara tertentu disebut dengan nama yang jauh berbeda di Indonesia? Kenapa negara Greece disebut Yunani, Egypt disebut Mesir dan Netherlands disebut Belanda? Dari mana asal muasal penyebutan tersebut? Mari kita telaah satu persatu di bawah ini:

Greece alias Yunani
Di sebelah utara wilayah Yunani moderen saat ini, ada sebuah kawasan yang bernama Graecia. Orang-orangnya disebut Graekos. Sebagaimana kita ketahui, pada masa lalu, nama satu wilayah bisa disebut dari nama satu bagian wilayah tersebut. Sampai detik ini, masih ada orang Arab yang menyebut orang Indonesia sebagai Jawi, orang Jawa –walaupun orang itu bukan datang dari Jawa, tetapi dari Bugis, Ambon, atau Sumatera. Sama seperti orang menyebut kerajaan Nusantara jaman dulu sebagai Majapahit, padahal Majapahit itu nama pusat kerajaannya, sebuah kawasan kecil di sekitar Trowulan, Jawa Timur.

Orang-orang Yunani sendiri menyebut negara mereka sendiri Ελλάς, dibaca Ellada. Zaman dahulu, mereka menyebut negara mereka Ελλάς dibaca Ellás. Nama resmi negara mereka dalam bahasa mereka sendiri adalah Ελληνική Δημοκρατία, dibaca Ellinikí Dhimokratía.

Ternyata nama Yunani yang digunakan dalam bahasa Indonesia ini didapat dari bangsa Arab. Sebagaimana kita ketahui, Yunani memiliki wilayah yang dekat dengan Asia. Salah satu kawasan perbatasan dengan wilayah Asia Barat pada masa lalu adalah Ionia. Sekarang kawasan itu dan pulau-pulau terdekatnya menjadi wilayah Turki moderen. 2000 tahun yang lalu, Ionia dihuni oleh orang-orang Yunani, khususnya dari Attica. Karena nama kawasan kecil itulah bangsa Turki dan Arab menyebut seluruh Yunani dengan sebutan Yunanistan, sedangkan orang-orangnya disebut Yunan. Ini kemudian diikuti oleh bangsa Indonesia yang mengintergrasikan nama Yunani ke dalam bahasa Melayu lama, dan kini bahasa Indonesia.

Egypt alias Mesir
Jauh sejak zaman dahulu, Orang Indonesia sudah familiar dengan nama Mesir. Di dalam Quran, kata Mashr (Mesir) disebutkan sebanyak lebih dari 35 kali, di mana lima kali di antaranya disebutkan secara jelas (menggunakan kata Mashr), sementara sisanya menggunakan kata lain yang maknanya merujuk ke Mesir. Adapun lima ayat yang menyebutkan kata Mashr secara jelas dimaksud adalah dalam Surah Yunus ayat 87, Surah Yusuf ayat 21 dan 99, Surah Al Baqarah ayat 61, dan Surah Al Zukhruf ayat 51. 

Sebagaimana kita ketahui, orang Indonesia sudah membaca Quran jauh sebelum bertemu dengan orang-orang bule Eropa macam Cornelis de Houtman dan kawan-kawannya itu. Maka, tidak usah heran jika nama Mesir lebih familiar bagi bangsa Indonesia.

Lagipula, Mesir, negara yang terletak di delta Sungai Nil ini, memiliki nama internasional Arab Republic of Egypt. Tapi nama aslinya adalah ini: جمهوريّة مصر العربيّة dibaca: Jumhūriyyat Miṣr al-’Arabiyya.

Selain itu, ada kedekatan kultural antara bangsa Indonesia dan bangsa Mesir. Ini menjadi sebab lain mengapa nama Mesir lebih familiar daripada Egypt. Kedekatan kultural antara Indonesia dan Mesir ini bahkan sudah terjadi sejak zaman Fir’aun masih hidup. Ini dikonfirmasi oleh penemuan bahan-bahan pembalsem Fir’aun seperti kapur, cendana, dan gaharu yang didapat dari Indonesia. Fakta ini bahkan dikonfirmasi pula oleh ayat Quran:

 إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا 

"Dan orang-orang yang taat akan minum, dari gelas, sejenis minuman yang campurannya adalah KAPUR(Surah Al Insaan ayat 5)."

Kapur yang diceritakan sebagai campuran minuman dalam ayat itu, pada zamannya Fir’aun, diketahui hanya diproduksi di Barus, Sumatera.

Kata Egypt yang dipakai oleh orang Barat berasal dari bahasa Latin Aegyptus, ini berasal dari bahasa Yunani kuno Αἴγυπτος,baca: Aigyptos. Kata Aigyptos ini terdapat dalam catatan-catatan kuno Yunani sebagai adaptasi dari nama Mesir kuno di zamannya para Fir’aun, yakni Hikuptah, dalam aksara hierogliph terbaca Hwt-ka-Ptah.

Sebagian sejarawan mengatakan, tanah itu disebut Mashr (Mesir), karena mengacu kepada tradisi lisan Arab yang meyakini bahwa orang pertama yang menghuni daerah itu yang bernama Mashr atau Mashr-yem bin Markabil bin Duwabil bin Uryab bin Adam as. Pendapat kedua mengatakan, nama Mashr ini diambil dari Mashram bin Ya’rawusy al-Jabbar bin Mashr-yem bin Markabil bin Duwabil bin Uryab bin Adam as. Pendapat ketiga mengatakan, nama ini diambil dari nama Mashr bin Binshir bin Ham bin Nuh as. Terlepas dari perbedaan pendapat itu, ketiganya menyepakati bahwa nama Mashr itu diambil dari orang yang pertama kali menemukan Negara ini, dalam tradisi Arab.

Netherlands alias Belanda
Ada beberapa teori mengenai hal ini. Seperti kita ketahui, bahasa Indonesia memiliki banyak kata-kata serapan dari berbagai bahasa dunia, Dan beberapa kata atau istilah dari bahasa asing ini di Indonesia disederhanakan pengucapannya. Ini beberapa teori kenapa Netherlands disebut Belanda:

Pertama, ada yang meyakini bahwa kita mengambil kata blonde(pirang) dari bahasa Inggris. Sementara seperti kita ketahui banyak orang Belanda yang menjajah Indonesia berambut pirang. Ini kemudian diadaptasi oleh orang Jawa menjadi kata londo. Sebagaimana kita ketahui, orang Jawa pada masa lalu memiliki kebiasaan menyesuaikan lafal dengan kemampuan maksimalnya. Dari situlah kita menyebut Netherland menjadi Belanda. 

Sebagai perbandingan, suku-suku Aborigin Australia, hingga detik ini menyebut orang kulit putih Eropa dengan kata Balanda, diyakini karena pengaruh pelaut-pelaut Indonesia yang sudah kontak dengan mereka jauh sebelum James Cook mengklaim menemukan benua itu pada Abad ke-17.

Kedua, ada yang berpendapat kata Belanda didapat karena nama Belanda dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan sebutan Holland. Holland sebenarnya adalah nama salah satu provinsi di Belanda, tapi namanya menjadi dominan karena orang-orang dari Holland relatif lebih maju daripada orang-orang Belanda dari provinsi lainnya. Orang-orangnya disebut Hollander. Dalam lafal orang Indonesia, istilah inilah yang kemudian diyakini berubah menjadi Belanda.

Ketiga, ada juga yang meyakini bahwa kata Belanda dalam bahasa Indonesia berasal dari nama Belanda dalam bahasa Portugis dan Spanyol, yaitu Holanda. Sebagaimana kita ketahui, orang-orang Portugis sudah datang ke Indonesia jauh sebelum rombongan Belanda pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman datang kemari. Dari istilah Holanda dalam bahasa Portugis itu, beberapa suku di Indonesia menyebut Wolanda. Sementara dalam adaptasi lidah orang Sunda, nama itu disebut Walanda (hingga detik ini dalam bahasa Sunda moderen). Akhirnya, muncullah lafal yang fix sampai sekarang: Belanda dalam bahasa Indonesia yang baku.


Sebagai tambahan, kenapa negara The Great Britain atau United Kingdom disebut Inggris? 

Pada umumnya, penerjemah Indonesia menerjemahkan English sebagai Inggris, United Kingdom menjadi Inggris juga, lalu Great Britain diterjemahkan Inggris pula, yang sebenarnya agak rancu.

Nama negara tersebut secara lengkap sebenarnya adalah United Kingdom of The Great Britain and North Ireland, yang terdiri atas North Ireland, Wales, Scotland dan tentu saja England. Penamaan United Kingdom of the Great Britain and North Ireland itu kemudian disingkat menjadi United Kingdom saja atau The Great Britain saja.

Inggris adalah direct translation dari English, bentuk adjective/person dari nama England, atau orang yang berasal dari England. Dan England sebenarnya hanyalah satu dari empat negara bagian dalam United Kingdom of The Great Britain and North Ireland.

Sebelum pendudukan Jepang pada 1941, bangsa Indonesia masih menyebut Britain sebagai Britanija. Dalam beberapa kesempatan, saya melihat tulisan Inglandia sebagai terjemahan dari nama England di masa lalu. Hipotesisnya, adalah Jepang yang pertama kali memperkenalkan Inggris kepada orang Indonesia. Pada mulanya, mereka melafalkan kata English menjadi Ing-gu-ris. Sebagaimana kita ketahui, fonem /l/ cenderung dilafalkan /r/ oleh orang Jepang.

Naskah-naskah sebelum tahun enampuluhan memiliki istilah yang lebih tepat mengenai hal ini:
1. United Kingdom of The Great Britain and North Ireland = Keradjaan Persatoean Britanija Raja dan Irlandia Oetara 
2. Great Britain = Britanija Raja 
3. England = Inggris 
4. Wales = Wales 
5. Scotland = Skotlandija 
6. North Ireland = Irlandia Oetara

Dari berbagai sumber.

20 April 2017

Travelling Adalah Hak Segala Bangsa



Alkisah di Andalusia, ada seorang pemuda yang memutuskan untuk menjadi gembala. Ia menjadi gembala karena ingin melihat dunia di luar desanya. Setiap hari ia berpindah tempat, dari satu ke desa lain membawa domba-dombanya. Karena berpindah tempat, ia selalu menemukan rerumputan yang segar setiap waktu, dan domba-dombanya semakin banyak, sehat dan gemuk. Demikian ia berpindah terus, melihat hal-hal baru yang tidak ada di desa asalnya, bertemu orang-orang baru, belajar bahasa daerah lain dan sebagainya. Hidupnya ibarat petualangan yang tidak ada habisnya, hal-hal yang menakjubkan ditemuinya hampir setiap hari.

Makin lama daerah yang dikunjunginya semakin luas, hingga meninggalkan negerinya sendiri di Andalusia. Ada suatu saat ia menjual semua dombanya, sebagian uangnya ditabung, sebagian digunakannya untuk bepergian lebih jauh. Wawasannya semakin bertambah, ia belajar kearifan dari berbagai macam tempat, menyeberangi lautan, merasakan dinginnya salju, teriknya gurun, keindahan matahari terbit dan terbenam, musik alam yang didengarnya di hutan, dan sebagainya. Hidupnya terasa kaya, tutur katanya semakin bermutu, tatapannya semakin bijak. Ia melihat, mendengar, mengalami, menikmati banyak hal. Ia bertemu dengan wanita pujaan, menikah, dan hidup bahagia.

Alkisah pula, ada seorang pemuda yang ingin menjadi tukang roti. Ia tahu bahwa roti merupakan hajat kehidupan orang banyak, setiap hari orang perlu makan dan membeli roti. Ia bisa membayangkan betapa banyak uang yang bisa dikumpulkan, dan betapa kayanya ia nanti. Dan dengan uangnya yang banyak, ia akan bisa jalan-jalan keliling dunia.

Maka iapun menjadi tukang roti. Subuh-subuh ia sudah bangun untuk memanggang roti, agar jam 7 pagi rotinya yang harum dan hangat itu bisa dinikmati penduduk desanya. Ia bekerja dengan rajin, rotinya menjadi terkenal. Ia menikmati pekerjaannya sebagai tukang roti, karena penduduk desa membutuhkannya. Uangnya semakin banyak, ia menikah, dan tetap kaya. Namun setiap hari ia tetap harus membuat roti, hingga usianya beranjak tua. Uangnya banyak, tapi ia tetap tinggal di desa tersebut, tidak bisa pergi ke mana-mana. Sampai tua, ia hanya tahu roti dan roti.

Secuil kisah gembala dan tukang roti di Andalusia ini ada di novel karya Paulo Coelho, best seller yang berjudul The Alchemist. Salah satu moral dari kisah ini adalah, bepergianlah selagi sempat, traveling lah. Lihatlah dunia. Jangan takut dan ragu menghabiskan uang untuk traveling selagi masih diberi kesehatan. Jangan sampai Anda beranjak tua tanpa pernah kemana-mana, tanpa pernah melakukan apa-apa. Buatlah semacam wish list atau daftar ke mana anda ingin pergi, atau apa yang ingin anda lakukan, dan lakukanlah perjalanannya. Nikmati petualangan, nikmati alam. Karena hidup hanya sekali. Pada saat anda tua dan sakit-sakitan nanti, anda hanya akan memandang ke belakang dengan penuh penyesalan, karena tidak berani melangkah untuk bepergian.

Tidak perlu harus ke luar negeri, Indonesia memiliki segalanya, alamnya indah, keanekaragaman hayatinya sungguh luar biasa. Itu ada untuk kita nikmati dan lestarikan. Banyak hal bisa dilakukan di Indonesia, snorkeling, diving, mendaki gunung, bukit, menyusuri goa, melintasi danau, surfing, berperahu, melintasi lautan, memancing di laut, begitu banyak peninggalan bersejarah, dan banyak tempat-tempat indah lainnya. Ajari anak-anak kita untuk mencintai alam, bukan mencintai mall. Ajak mereka camping, ke pantai, dan lain-lain.

Jika ada kesempatan untuk traveling dan adventure, pergilah dan lakukanlah, jangan ditunda lagi, jangan terlalu banyak mikir, jangan banyak alasan, jangan dibatalkan.
Jangan jadi katak dalam tempurung. Jangan sampai kurang piknik. Hidup hanya sekali.




“Wherever you go becomes a part of you somehow.” “Travel is fatal to prejudice, bigotry, and narrow-mindedness, and many of our people need it sorely on these accounts. Broad, wholesome, charitable views of men and things cannot be acquired by vegetating in one little corner of the earth all one's lifetime.”

29 Agustus 2016

Membunuh Dengan Sianida - Novel Agatha Christie


Dalam novel Agatha Christie, sebuah pembunuhan bukanlah hal yang sederhana. Pelaku selalu memiliki alibi yang bagus, sehingga hampir semua pembaca boleh dibilang selalu gagal untuk menebak pelakunya. Hanya Hercule Poirot dengan sel-sel kelabunya, atau Miss Jane Marple dengan ketajaman intuisinya, ataupun Colonel Race dengan metode langsungnya; yang dapat mengungkap siapa pelaku pembunuhan, bagaimana tepatnya cara pembunuhan itu dilakukan, dan apa motifnya.
 http://ecx.images-amazon.com/images/I/81mDhCTKV3L._SL1500_.jpg 

Sebuah kasus pembunuhan membutuhkan beberapa hal, yaitu pelaku pembunuhan, korban pembunuhan, alat yang dipakai membunuh, dan motif. Motif adalah hal yang paling utama, karena seseorang melakukan pembunuhan selalu didahului oleh motif. Jika sebuah motif gagal diidentifikasi, kasus tersebut menjadi mengambang, tidak lengkap, bahkan bisa menjadi salah sasaran.

Polisi Indonesia mungkin perlu menjadikan buku-buku detektif Agatha Christie sebagai bahan bacaan wajib. Pembunuhan berencana membutuhkan persiapan yang matang, persiapan yang matang itu terutama untuk menciptakan alibi yang kuat. Jika anda ingin membunuh seseorang, anda tidak ingin terlihat di tempat kejadian. Jadi alangkah begonya Jessica, yang jika benar-benar punya rencana untuk membunuh Wayan Mirna, ia membuat dirinya berada di tempat kejadian, duduk satu meja dengan korban, memesan dan membayar minuman kopi yang katanya mengandung sianida tersebut. Polisi yang malas akan segera mencurigai dirinya sebagai pelaku, dalam hitungan detik. Atau, benarkah Jessica itu bego?

Dalam sebuah kasus pembunuhan yang terjadi di sebuah ruangan, misalkan cafe ataupun ruang tamu, siapapun orang yang berada di TKP sekitar waktu kejadian, semuanya harus dicurigai sebagai tersangka. Baik pelayan, barista, ataupun tamu-tamu lain yang berada di situ. Semua orang harus ditanyai, diselidiki, baru dicoret dari daftar jika penyelidikan menemukan hal yang tidak mencurigakan. Daftar ini akan makin menyusut, dan makin menyusut. Saat itulah ditemukan motivasi, modus operandi, pelaku dan sebagainya.

Dalam novel-novel detektif ala Agatha Christie, pelaku pembunuhan tidak melulu berada di tempat kejadian. Ia membuat dirinya bisa tak terlihat, dan tak seorangpun langsung bisa menuduh bahwa ia pelakunya. Bukan seperti kasus Jessica, di mana polisi dan masyarakat awam langsung bisa menuduh Jessica sebagai pelakunya, karena ia yang memesan minuman dan membayarnya. (sebegitu bodohnya kah Jessica?). Namun sebelum vonis pengadilan menetapkan Jessica sebagai pelaku (sekarang masih tersangka), alangkah baiknya kita menjunjung tinggi asas presume of innocent, atau asas praduga tak bersalah. Artinya bahwa seseorang tidak boleh dikatakan atau tidak boleh dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah kepadanya dan mempunyai kekuatan hukum. Namun tentu saja asas praduga tak bersalah ini dilanggar oleh masyarakat awam, apalagi dengan beredarnya meme yang menggambarkan Jessica mengajak minum kopi. Masyarakat sudah terlebih dahulu memvonis Jessica sebagai pelaku, sebelum hukum menetapkannya sebagai pelaku.

Kasus Jessica ini mengingatkan saya pada sebuah novel Agatha Christie berjudul The Sparkling Cyanide, diterbitkan di Indonesia dengan judul Kenangan Kematian. Yang membuat saya teringat adalah, sesuai judul aslinya, pembunuhan dalam novel itu memakai sianida.
Jadi dikisahkan satu tahun yang lalu, tanggal 2 November, tujuh orang makan malam di sebuah restoran bernama Luxembourg. Salah satu dari tujuh orang tersebut, Rosemary Barton, meningal di tempat karena meminum minuman yang diberi sianida. Koroner menetapkan kematiannya karena bunuh diri, semata-mata karena depresi. Enam bulan kemudian, suami dari Rosemary Barton, George Barton menerima surat kaleng yang menyatakan isterinya sebenarnya korban pembunuhan. George lalu melakukan penyelidikan dan memutuskan untuk mengulangi kejadian malam tersebut, di mana dia menyelanggarakan makan malam di restoran yang sama, dengan tamu-tamu yang sama. George juga mengatur agar seorang aktris yang didandani sangat mirip dengan mendiang isterinya untuk datang belakangan dan membuat pengakuan bahwa ia dibunuh, untuk mengagetkan tamu-tamu tersebut. Aktris tersebut tidak datang ke perjamuan makan malam, dan George Barton meninggal, karena racun sianida yang terdapat dalam gelas sampanye-nya. Kematian George juga tadinya dianggap sebagai bunuh diri, namun sebelum ia menyelenggarakan perjamuan makan malam maut itu, ia sempat berbagi kecurigaan dengan Colonel Race.

Latar belakangnya adalah, sesuai dengan surat wasiat pamannya, jika Rosemary meninggal sebelum memiliki anak, harta warisannya akan jatuh ke tangan adiknya, Iris. Karena kematian Rosemary setahun yang lalu, Iris menerima warisan dan menjadi orang kaya. Jika kemudian Iris meninggal sebelum menikah, maka harta nya akan jatuh ke kerabat satu-satunya, yakni bibinya, Lucille Drake. Mrs. Lucille Drake adalah orang yang baik, namun memiliki anak yang punya niat jahat bernama Victor. Setelah penyelidikan dengan seksama dan (dalam tempo yang tidak sesingkatnya, namun penuh ketelitian), akhirnya diketahui bahwa racun sianida dalam perjamuan kedua tidak ditujukan kepada George Barton, namun kepada Iris. Pembunuhnya ingin agar Iris yang mati, dengan demikian harta akan jatuh ke bibi Lucille, yang akhirnya ke tangan Victor. Goerge Barton memiliki sekretaris yang bernama Ruth Lessing, dan Ruth Lessing ini sudah berpacaran dengan Victor sejak lebih setahun yang lalu. Sudah kelihatan motifnya? Dan siapa pelakunya?
Image result for the sparkling cyanide cover

Seperti yang saya bilang tadi, pembunuhan di perjamuan kedua tidak ditujukan kepada George, namun kepada Iris. Tapi kenapa George yang meminum racun sianida itu dan mati?

Salah sasaran ini karena ada perubahan letak tas tangan milik Iris, yang mengakibatkan Iris selamat, walaupun dia yang sebenarnya jadi sasaran. Pada saat perjamuan, George ingin bersulang kepada Iris, ketika semuanya meneguk sampanye, kecuali Iris. Saat tamu-tamu lain meninggalkan meja untuk berdansa, Iris tak sengaja menjatuhkan tas tangannya. Seorang waiter kemudian memungut tas itu, lalu mengembalikannya ke meja. Waiter tersebut meletakkan tas itu di sisi meja yang lain. Pada saat para tamu kembali ke meja tersebut, Iris duduk di dekat tasnya yang posisinya sudah berbeda itu. George kemudian duduk di kursi yang tadinya milik Iris lalu meminum sampanye milik Iris, sehingga George yang mati.

Mengetahui bahwa plot ini gagal dan salah sasaran, Ruth berusaha menabrak Iris dengan mobil. Colonel Race, bekerja sama dengan polisi mengungkapkan motif dan kebenaran dan berhasil menyelamatkan Iris dari Ruth. Percobaan terakhir Ruth untuk membunuh Iris adalah dengan memukul Iris hingga pingsan di kamar tidurnya, lalu membocorkan pipa gas, dan meninggalkan rumah. Namun usaha tersebut juga digagalkan oleh Colonel Race.

Surat kaleng yang ditujukan ke George Barton itu ternyata juga ditulis oleh Ruth, yang kemudian membujuknya untuk mengulang kembali perjamuan tersebut di restoran Luxembourg agar Victor dan Ruth bisa membunuh Iris, sebagaimana mereka telah membunuh Rosemary. Agar benar-benar terlihat sebagai bunuh diri, Ruth telah meletakkan sebungkus sianida ke dalam tas Iris. Bungkusan tersebut jatuh ke lantai saat Iris mengeluarkan sapu tangan dari tas. Victor menyamar sebagai waiter, untuk menaruh sianida ke dalam gelas kampanye Iris saat semua orang berdansa.

Kisah dalam novel The Sparkling Cyanide memang tidak paralel dan analog dengan kasus Wayan Mirna, namun paling tidak situasinya mirip, sama-sama perjamuan di sebuah restaurant/cafe, sama-sama menggunakan sianida yang dicampurkan dengan minuman, dan adanya motif tersembunyi yang hanya bisa diungkapkan lewat penyelidikan seksama.

Sebuah kasus pembunuhan mungkin sederhana, yaitu pembunuhnya adalah orang-orang terdekat, bahkan yang ada hubungan keluarga, namun banyaknya petunjuk-petunjuk yang menyesatkan, penanganan barang bukti yang tidak seksama, dan kesimpulan yang ditarik secara tergesa-gesa bisa membuat orang tak bersalah dihukum. Dan kita tidak mau hal itu terjadi.

Dalam kasus Jessica dan Wayan Mirna, semoga sistem pengadilan kita yang tidak sempurna itu bisa mengungkapkan kejadian sebenarnya, siapapun pelakunya.

Ergo poena est serviet. (Hukuman dijatuhkan sesuai dengan asasnya). 

Artikel lain : AtheisTopeng | Debu | Laila & Majnun


Artinya bahwa seseorang tidak boleh dikatakan atau tidak boleh dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah kepadanya dan mempunyai kekuatan hukum.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.hendryjulian.com/presumption-of-innocent-dalam-kenyataannya_550088d0a33311376f511612
Artinya bahwa seseorang tidak boleh dikatakan atau tidak boleh dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah kepadanya dan mempunyai kekuatan hukum.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.hendryjulian.com/presumption-of-innocent-dalam-kenyataannya_550088d0a33311376f511612

01 April 2016

Misteri Abraham Lincoln dan John F. Kennedy

Fakta-fakta seputar kehidupan dan kematian dua presiden Amerika, Abraham Lincoln dan John Kennedy ini sungguh menarik untuk disimak. Terlalu banyak kebetulan, terlalu banyak kesamaan. Berikut ini daftarnya:

Abraham Lincoln | John F. Kennedy
  • Abraham Lincon dipilih jadi anggota Kongres tahun 1846.
  • John F. Kennedy dipilih jadi anggota Kongres tahun 1946.
  • Abraham Lincoln dipilih jadi presiden Amerika tahun 1860.
  • John F. Kennedy dipilih jadi presiden Amerika tahun 1960.
  • Keduanya aktif memperjuangkan hak-hak rakyat sipil.
  • Kedua isteri mereka kehilangan anak selagi berdiam di Gedung Putih.
  • Kedua presiden itu ditembak pada hari Jumat
  • Kedua presiden itu ditembak di bagian kepala.
  • Sekretaris Abraham Lincoln memiliki nama belakang Kennedy
  • Sekretaris John F. Kennedy memiliki nama belakang Lincoln.
  • Keduanya dibunuh oleh orang dari negara bagian selatan Amerika.
  • Keduanya digantikan oleh presiden yang memiliki nama belakang Johnson.
  • Andrew Johnson, pengganti Abraham Lincoln, lahir tahun 1808.
  • Lyndon B. Johnson, pengganti John F. Kennedy, lahir tahun 1908.
John Wilkes Booth | Lee Harvey Oswald
  • John Wilkes Booth, si pembunuh Abraham Lincoln, lahir tahun 1838.
  • Lee Harvey Oswald, si pembunuh John F. Kennedy, lahir tahun 1938.
  • Kedua pembunuh Lincoln dan Kennedy memiliki nama yang terdiri dari 3 kata.
  • Nama kedua pembunuh Lincoln dan Kennedy sama-sama terdiri atas 15 huruf.
  • Abraham Lincoln ditembak di sebuah theater bernama 'Ford'.
  • John F. Kennedy ditembak di mobil jenis Lincoln buatan 'Ford'.
  • John Wilkes Booth dan Lee Harvey Oswald dibunuh sebelum sempat hadir di persidangan.
  • Seminggu sebelum Abraham Lincoln ditembak, ia berada di kota Monroe, Maryland.
  • Seminggu sebelum John F. Kennedy ditembak, ia sedang bersama Marylin Monroe.
  • Lincoln ditembak di sebuah theater dan penembaknya lari ke sebuah gudang.
  • Kennedy ditembak dari sebuah gudang dan penembaknya lari ke sebuah theater.

Apa pendapat dan komentar Anda?


31 Maret 2016

Asal Usul Nama Indonesia


Kapan nama Indonesia pertamakali dipergunakan? Siapa sang penemunya? Dan bagaimana nama tersebut diadopsi menjadi nama sebuah nation dan negara? Mungkin diantara kita masih ada yang belum mengetahuinya. 

Nama “Indonesia” pertamakali muncul di tahun 1850, di sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura. Penemunya adalah dua orang Inggris: James Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl. Saat itu, nama Hindia—nama wilayah kita saat itu—sering tertukar dengan nama tempat lain. Karena itu, keduanya berpikir, daerah jajahan Belanda ini perlu diberi nama tersendiri. Earl mengusulkan dua nama: Indunesia atau Malayunesia. Earl sendiri memilih Malayunesia. Sedangkan Logan yang memilih nama Indunesia. Belakangan, Logan mengganti huruf “u” dari nama tersebut menjadi “o”. Jadilah: INDONESIA.

Nama Indonesia kemudian dipopulerkan oleh seorang etnolog Jerman, Adolf Bastian. Dia mempopulerkan nama Indonesia melalui bukunya, Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipelsdan Die Volkev des Ostl Asien. Bastian sendiri mengunjungi Indonesia empat kali. Di bukunya, Bastian menggunakan kata Indonesia untuk merujuk pulau besar—Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Molukken (Maluku), Timor, hingga Flores—dan gugusan pulau-pulau yang mengitari pulau tersebut.

Penjajah Eropa, baik Belanda maupun Portugis, menamai negeri kita ini: India. Namun, agar tidak sama dengan nama India, maka ditambahi huruf ‘H’ di depannya menjadi: Hindia. Di bawah penjajahan Belanda, negeri kita disebut Nederlandsch-Indie, yang berarti ‘Hindia kepunyaan Belanda’. Di bawah penjajahan Portugis, namanya ‘Hindia kepunyaan Portugis’. (Pramoedya Ananta Toer, Angkatan Muda Sekarang, 1999).

Tahun 1913, Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara mendirikan Kantor Berita untuk bumiputera di Den Haag, belanda. Namanya: Indonesische Persbureau, disingkat IP. Saat itu Ki Hajar sedang menjalani pembuangan di negeri Belanda akibat aktivitas politiknya di tanah air.Sebelumnya, di tahun 1912, Ki Hajar bersama dua kawannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangkukusumo, mendirikan partai politik bernama Indische Partij (IP). IP merupakan organisasi politik pertama yang terang-terangan memperjuangkan kemerdekaan Hindia—terpisah dari kolonialisme Belanda. Saat itu, IP mengusulkan agar nama negeri kita ini adalah Hindia. Slogan IP yang terkenal: Hindia untuk Hindia! Sayang, usulan IP ini kurang berterima luas di kalangan kaum pergerakan.

Pada bulan Februari 1922, para pelajar Indonesia di negeri Belanda sepakat mengadopsi nama Indonesia. Mereka mengubah nama organisasinya dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging. Kemudian, di tahun 1924, koran organisasi ini, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Setahun kemudian, giliran nama Indonesische Vereeniging resmi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Di tanah air, organisasi politik yang pertama sekali menggunakan nama Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Itu terjadi pada tahun 1924. PKI sendiri berdiri tanggal 23 Mei 1920, dengan nama Perserikatan Komunis Hindia. Baru pada bulan Juni l924, melalui sebuah Kongres di Weltevreden, Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia.

Pada tahun 1927, Soekarno bersama Tjipto Mangunkusumo serta kawan-kawannya di Algemene Studieclub mendirikan gerakan politik nasionalis bernama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Setahun kemudian, Perserikatan Nasional Indonesia berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekarno dan PNI punya kontribusi besar dalam mempopulerkan nama Indonesia di kalangan rakyat jelata: petani, buruh, dan kaum melarat lainnya.

Pada tahun 1928, Kongres Pemuda Indonesia ke-2 mengikrarkan ‘satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: INDONESIA”. Sejak itulah Indonesia sebagai nama dari sebuah negeri yang diperjuangkan makin berterima luas di kalangan kaum pergerakan dan rakyat banyak. Dua tahun sebelumnya, Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu berjudul “Indonees, Indonees”, yang kemudian di tahun 1944 diubah menjadi “Indonesia Raya”. Lagu itu diperdengarkan tanpa lirik oleh WR Soepratman di Kongres Pemuda Indonesia ke-2 di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, tahun 1928. Sejak itulah cita-cita “Indonesia Raya” bergema di hampir semua pulau-pulau sepanjang Semenanjung Malaya hingga Papua. Tahun 1937, di Malaya (sekarang Malaysia), berdiri organisasi nasional bernama Kesatuan Melayu Muda (KMM). Dalam programnya, KMM menyatakan ingin mempersatukan Malaya ke dalam satu ikatan dengan ‘Indonesia Raya’.

Tetapi Pramoedya Ananta Toer kurang setuju dengan nama Indonesia. Menurutnya, penggunaan nama itu kurang politis dan ahistoris. Kata Pram, Indonesia berarti kepulauan India; belum keluar dari cara kolonialis menamai negeri kita. Pram sendiri mengusulkan dua nama yang dilahirkan oleh sejarah bangsa ini, yaitu Nusantara dan Dipantara. Nusantara muncul semasa dengan Majapahit, yang berarti: kepulauan Antara (dua benua). Sedangkan Dipantara muncul di era Singasari, yang berarti: Benteng Antara (dua benua).

Disarikan dari Berdikari Online.

10 Juni 2014

Melacak Jejak Peninggalan Tentara Jepang di Batam

Mengapa kawasan bisnis di Batam disebut Nagoya, tentu menimbulkan rasa penasaran di benak kita. Dari mana nama tersebut berasal? Kenapa namanya sama persis dengan nama sebuah kota besar di negeri Sakura? Siapakah yang memberi nama, karena nama atau istilah nagoya tidak ada sama sekali dalam kosa kata bahasa Melayu.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Batam bersama pulau Rempang dan Galang merupakan salah satu basis pertahanan pasukan Jepang di Kepulauan Riau dan Singapura. Mereka mendirikan markas darurat dan barak di beberapa kawasan, seperti di Nongsa, Pulau Moi Moi, Tanjung Piayu Laut, Pulau Sambu, Pulau Belakang Padang, termasuk juga di kawasan pulau-pulau di selatan, seperti Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan beberapa pulau kecil di sekitarnya.

Pada masa-masa itu, konon sebagian dari mereka menyusuri daerah perbukitan Batam di tempat yang sekarang menjadi pusat bisnis. Dan salah satu komandan pasukan Jepang itu menamakan daerah perbukitan tersebut Nagoya, sesuai dengan nama daerah asal sang komandan. Siapa persisnya nama komandan tentara Jepang yang memberi nama Nagoya tersebut, hingga sekarang masih belum diketahui. Namun kondisi Nagoya dulu dan sekarang telah banyak mengalami perubahan, beberapa bukit telah dipangkas dan berubah menjadi kompleks pertokoan, dan sebagian lagi menjadi mall.

Minggu lalu saya bersama Okta dan Ojie melakukan perjalanan touring ke sebuah kampung pesisir di Pulau Galang, yang menurut sejarah, merupakan salah satu basis pertahanan Jepang yang kuat. Tujuan kami adalah Kampung Pasir Merah, yang terletak di Sembulang, berjarak sekitar 35 kilometer dari Pulau Batam. Lokasi nya adalah setelah Jembatan ke IV dan sebelum Jembatan ke V.

Di Kampung Pasir Merah inilah kami menemukan apa yang disebut penduduk setempat sebagai Misesebo, yang letaknya tidak jauh dari jalan, dinaungi oleh rimbunnya pohon-pohon mangga. Misesebo adalah sebuah tugu peringatan yang didirikan oleh Rempang Friendship Association, yaitu sebuah organisasi sosial yang dibentuk oleh eks tentara Jepang yang dulunya bertugas di barak-barak darurat di Pulau Galang dan sekitarnya. Menurut plakat yang terdapat pada Tugu Jepang tersebut, tugu itu didirikan pada 23 Agustus 1981. Lebih lanjut, plakat tersebut menjelaskan bahwa sebanyak 112,708 tentara Jepang yang bermarkas di Pulau Rempang dan Galang dipulangkan ke negaranya antara tahun 1945 - 1946. Sebanyak 128 lagi meninggal. "Monumen ini dibangun oleh para kontributor yang namanya tercantum di sini, dengan harapan baik akan persahabatan antara Indonesia dan Jepang dan perdamaian dunia." , demikian lebih lanjut tertulis di plakat.




Pada plakat kedua, di bagian bawah, terdapat 21 foto para kontributor yang dulu setiap tahun mengunjungi Kampung Pasir Merah, sekedar untuk bernostalgia, mengenang masa-masa suram ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia ke 2, dan mereka yang tinggal di barak-barak dengan fasilitas dan sanitasi seadanya, menunggu proses pemulangan ke negera mereka.

Tak jauh dari Misesebo, kami menemukan sebuah warung, dan sambil membeli minuman, kami pun bertanya-tanya kepada pemilik warung, seorang mantan guru bernama Bu Rosni. Menurut Bu Rosni, hampir setiap tahun Kampung Pasir Merah didatangi oleh orang-orang Jepang. Mereka datang bersama kerabat-kerabatnya, dan biasanya langsung berkunjung ke rumah Pak Amin Bujur. Rumah Pak Amin Bujur, yang oleh penduduk setempat biasa dipanggil Pak Long ini memang terletak bersebelahan dengan Misesebo. Menurut Bu Rosni, Pak Long banyak memiliki informasi mengenai keberadaan tentara Jepang di Pulau Rempang dan Galang menjelang berakhirnya Perang Dunia ke 2. Ketika kami menyampaikan niat untuk mengunjungi Pak Long, Bu Rosni mengatakan bahwa Pak Long hanya bisa ditemui hari Jumat, karena pada hari lainnya beliau akan ada berada di Batam, dan hanya pulang setiap hari Jumat ke Kampung Pasir Merah.


Karena tidak bisa mengunjungi Pak Long, kamipun bertanya-tanya lebih lanjut pada Bu Rosni. Informasi yang kami dapat adalah bahwa dulu memang ada barak-barak tentara Jepang tak jauh dari pantai, tapi sekarang sudah hancur. Namun petunjuk mengenai keberadaan mereka bisa dilihat dari adanya dua buah sumur, yang sekarang sudah tertutup belukar. Penduduk setempat menamakannya perigi buta. Keadannya sangat tidak terawat, dan nyaris tidak bisa lagi disebut sebagai perigi, namun menurut sejarah, kedua perigi tersebut dibuat oleh tentara Jepang sebagai bagian dari logistik mereka.

Jejak lain yang masih bisa dilihat dari bekas markas tentara Jepang adalah adanya jalan tanah setapak yang lebarnya lebih kurang 3 meter. Jalan itu masih digunakan penduduk hingga kini, sebagian diaspal dan sebagian diberi paving block. Jalan peninggalan Jepang tersebut melintasi beberapa kampung, mulai dari Kampung Camping, Kampung Pasir Merah, Kampung Hulu, Kampung Sungai Raya, Tanjung Banun hingga Kuala Buluh. Posisinya melingkar dan membentang hingga ratusan hektar, mengelilingi hampir seluruh wilayah Sembulang.




Dengan adanya jalan ini, bisa dipastikan bahwa barak mereka dulunya tersebar di beberapa titik. Dan mereka juga membangun dermaga kecil, yang bernama Takara port, yang lokasinya di Sungai Lujin. Dulu ada bangkai dua kapal Jepang di situ, yang sekarang, menurut Bu Rosni, tidak ada lagi sisanya karena dijarah oleh beberapa warga dari pulau lain.

Banyak kisah menarik yang bisa digali lebih lanjut, antara lain misteri di mana tepatnya lokasi kuburan tentara Jepang yang 128 orang itu, yang menurut penduduk setempat meninggal karena luka, penyakit kolera, dan malaria. Mayat-mayat mereka konon tidak dipulangkan ke negaranya. Juga kemungkinan adanya bunker, karena menurut riset, kebanyakan tentara Jepang yang ditempatkan di pulau-pulau mulai dari lautan Pasifik hingga Asia Tenggara, mereka menggali lubang untuk menyimpan ransum dan logistik, juga amunisi. Lubang-lubang ini terkadang cukup besar untuk didiami. Salah satu desas-desus yang beredar di antara warga setempat adalah adanya bunker Jepang di bukit Kandap, yang bentuknya seperti gunung. Bukit ini terlihat jelas pada saat kami berkunjung ke Pulau Labun untuk snorkeling dan menyelam.

Lebih lanjut, jika para eks tentara Jepang tersebut datang ke Kampung Pasir Merah untuk bernostalgia, biasanya mereka mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti Pantai Serangoon, Pantai Niki Sakai, juga Pulau Semukit. Nama-nama tempat yang disebut ini asing bagi kami, dan menimbulkan rasa penasaran. Pada saat ditanya di mana lokasi pantai-pantai tersebut, menurut Bu Rosni tidak jauh dari jalan masuk ke kawasan Sembulang. Menurut Bu Rosni, di Pulau Semokit kita bisa menemukan air terjun. Nah lho.

Jadi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melacak jejak peninggalan tentara Jepang. Target berikutnya adalah Pantai Serangoon. Namun sebelum itu, tak jauh dari Misesebo kami menemukan sebuah vihara yang terletak di atas bukit. Ternyata pemandangan dari vihara itu indah sekali, di mana pantai dan laut kelihatan dengan jelas.

Awalnya perjalanan menuju Pantai Serangoon sangatlah mudah, namun makin lama, jalan yang dilalui makin terjal dan berbatu, serta banyak lobang di sana-sini. Melintasi bukit-bukit yang curam, dan sempat kehilangan arah sebentar, kami akhirnya menemukan Pantai Serangoon, yang ternyata sangat indah. Pantai tersebut terletak di bawah bukit, di mana dari bukit tersebut pemandangannya luar biasa, dengan angin semilir yang seketika membuat lelah, lapar, dan dahaga menjadi hilang.



Pantai Serangoon tidak bisa diakses langsung dengan kendaraan roda empat. Untung kami mengendarai dua buah moge yang tahan banting, yaitu Yamaha Vixion 2009 yang telah dimodifikasi, dan Yamaha Byson 2014, dengan ban yang sesuai. Sebelumnya di perjalanan kami menemukan pengendara Kawasaki Ninja yang berbalik arah karena tidak sanggup melewati perbukitan terjal yang berbatu-batu dan sangat licin.




Di lereng bukit arah ke pantai, kami menemukan sebuah pendopo yang dibangun permanen. Kami pun beristirahat di pendopo tersebut, dan makan siang. Setelah makan siang, kantukpun menyerang, ditambah dengan angin semilir yang bertiup dari arah laut. Pemandangannya yang indah memaksa saya untuk tidak menyerah pada kantuk. Lalu sayapun turun menyusuri lereng bukit yang lumayan curam, dan berhasil ke pantai. Saya menyusuri Pantai Serangoon yang panjang dan melingkar, hingga ke kawasan yang berawa-rawa. Saya menemukan beberapa pondok rusak, joran kayu yang patah,  juga kaleng-kaleng berkarat yang kemungkinan besar dulunya adalah ransum eks tentara Jepang. Setelah puas menyusuri pantai, sayapun kembali ke arah pendopo. 

Tadinya kami bermaksud melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi pantai Niki Sakai dan juga Pulau Semokit. Namun berhubung hari sudah sore, kami memutuskan untuk pulang ke Batam. Begitu sampai di kediaman Okta, saya melihat odometer yang tadinya saya reset ke angka nol. Ternyata pada perjalanan ini, kami telah menempuh jarak 118 kilometer. Hmmm., not bad.

Kami akan kembali untuk mencari lokasi Pulau Semukit yang katanya ada air terjunnya, dan juga Pantai Niki Sakai.

Video mengenai touring ini bisa dilihat di sini: http://www.youtube.com/watch?v=UosmOyaVa5U


20 Oktober 2013

DAN BROWN: INFERNO

Photo (C) Ferdy
Setelah Digital Fortress, Deception Point, Angels & Demons, The Da Vinci Code, dan The Lost Symbol, Dan Brown menulis novel berikutnya, Inferno, yang beberapa hari yang lalu diterbitkan oleh Penerbit Mizan, dan bukunya tersedia dalam edisi hardcover maupun paperback.

Inferno didasarkan pada bagian pertama dari The Divine Comedy, sebuah mahakarya yang ditulis oleh Dante Alighieri pada abad ke 14, yaitu kumpulan canto puisi yang terdiri atas 3 bagian, yaitu Inferno (neraka), Purgatorio (tempat penyucian), dan Paradiso (surga). Isinya mengenai perjalanan Dante menelusuri ke tiga tempat tersebut ditemani oleh Virgil. Gambaran Dante tentang neraka, terutama, menjadi acuan bagi generasi berikutnya mengenai siksa-siksa neraka yang digambarkan secara mengerikan, fantastis, dan membuat bulu kuduk merinding. Selama tujuh abad sejak penerbitannya, visi neraka Dante yang terus bertahan telah menginspirasi penghormatan, rujukan, penerjemahan dan variasi oleh berbagai otak kreatif terhebat dalam sejarah, Longfellow, Chaucher, Marx, Milton, opera Wagner, dan lain-lain.

Bagi yang ingin membaca The Divine Comedy bagian pertama yang membahas Inferno, anda bisa membacanya di sini.

Seperti Angels & Demons, The Da Vinci Code dan The Lost Symbol, banyak bagian-bagian dalam Inferno yang mengingatkan saya pada salahsatu buku favorit: "A Short History of Nearly Everything", yaitu ketika Dan Brown, yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh utama Robert Langdon, menjelaskan tentang sebuah karya seni, siapa pembuatnya, dan hal-hal yang terjadi pada karya seni tersebut. Robert Langdon, tokoh utama dalam 4 novel terakhir, adalah profesor simbologi dan seni dari Harvard, dan petualangannya telah dituangkan dalam dua film oleh sutradara Ron Howard. Dalam film Angels & Demons dan The Da Vinci Code, Robert Langdon diperankan oleh Tom Hanks.

Inferno dimulai ketika Langdon terjaga di rumah sakit di Florence, Italia, setelah sebuah pembunuhan terhadapnya gagal, dan Dan Brown mengalami amnesia jangka pendek. Dia tidak tahu mengapa dia berada di rumah sakit tersebut, kenapa ada luka di kepalanya, mengapa dia hendak dibunuh, dan mengapa dia selalu mendapatkan mimpi yang berulang mengenai seorang wanita tua yang berada di seberang sungai berair merah darah, dan mengapa ada sebuah tabung bertanda biohazard di saku jaketnya. Dengan bantuan Dr. Sienna Brooks, wanita Inggris pelarian yang juga terdampar di Florence, Langdon menelusuri petunjuk-petunjuk yang ada dan mendapatkan bahwa dunia terancam kiamat karena satu fakta: overpopulation. 

Populasi dunia perlu ribuan tahun--mulai dari awal mula manusia hingga awal 1800an--untuk mencapai 1 milyar penduduk. Lalu secara menakjubkan, hanya perlu waktu satu abad untuk melipatduakan jumlah populasi tersebut menjadi dua milyar pada tahun 1920-an. Setelah itu, hanya perlu limapuluh tahun untuk berlipatdua lagi menjadi empat milyar tahun 1970-an. Tak lama lagi jumlah penduduk dunia akan mencapai 8 milyar. Saat ini setiap tahun penduduk bumi bertambah sekitar seperempat juta orang. Dalam waktu tak sampai 50 tahun ke depan, jumlah yang ada sekarang akan berlipat tiga, sekitar 24 milyar. Ini menurut perhitungan progresi geometris. 

Dengan jumlah penduduk seperti itu, spesies hewan akan punah dengan tingkat percepatan yang drastis, permintaan akan sumber daya alam yang sudah menyusut akan meroket, air bersih akan makin sulit ditemukan, dan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, akan habis dalam percepatan yang luarbiasa, seiring dengan jumlah manusia pemakainya. Dalam waktu tak lama lagi, segala sumberdaya ini akan punah, pohon-pohon akan semakin sedikit seiring pertumbuhan perumahan dan bangunan untuk manusia. Hewan-hewan liar akan kerap memasuki pemukiman, dan dengan sendirinya mempercepat kepunahan hewan-hewan tersebut. Anak dan cucu kita, akan hidup di dunia yang padat manusia, di mana sumberdaya alam adalah sebuah kemewahan besar. Udara yang kita hirup akan beracun, lebih banyak karbon dioksida daripada oksigen, dan sampah di mana-mana, menjadi racun bagi tanah, laut, dan udara.

Maka visi dalam film-film seperti Elysium, Oblivion, Wall-E, dan lirik dalam lagu The Final Countdown nya Europe, di mana manusia meninggalkan bumi dan membentuk peradaban di planet lain, akan menjadi kenyataan sejarah yang muram.

Machiaveli pernah menulis, bahwa: "ketika semua tempat di dunia penuh sesak oleh penghuni sehingga mereka tak bisa bertahan hidup di tempat mereka berada namun juga tidak bisa pindah ke tempat lain, maka dunia akan membersihkan dirinya sendiri."

Machiavelli berbicara tentang wabah sebagai cara alami dunia untuk membersihkan dirinya sendiri.

Thomas Robert Maltus dalam tulisannya yang berjudul An Essay on the Principle of Population, mengatakan: "kekuatan populasi sangat mengungguli kekuatan bumi untuk menghasilkan penghidupan bagi manusia, sehingga kematian prematur harus mengunjungi umat manusia. Sifat jahat manusia bersifat aktif dan dapat berfungsi untuk mengurangi populasi. Sifat-sifat alami manusia bisa menyebabkan pemusnahan besar, dan seringkali menjadi solusi bagi overpopulasi. Namun, seandainya kejahatan gagal melancarkan perang dan pemusnahan, masih ada musim penyakit, epidemi, wabah yang mampu menyapu puluhan ribu manusia, dan lalu wabah kelaparan besar yang tak terhindarkan akan membuntuti dari belakang, dengan satu pukulan kuat akan menyeimbangkan populasi dengan jumlah makanan dan sumberdaya yang tersedia di dunia."

Dalam novel Inferno, Bertrand Zorbist, ilmuwan yang memiliki kekuasaan luarbiasa, menyewa sebuah organisasi rahasia yang dikenal sebagai Konsorsium, untuk melaksanakan pemusnahan masal manusia, dengan langkah-langkah yang telah direncanakan secara matang. Berdasarkan rasio sumberdaya dan populasi, populasi ideal manusia di bumi untuk setiap orang dapat hidup secara sejahtera adalah 4 milyar. Dan Bertrand Zorbist bermaksud memusnahkan separuh dari populasi manusia sekarang, dengan tujuan untuk menghindari kiamat di masa datang dan menyelamatkan bumi. Walaupun kemudian ia meninggal karena bunuh diri, namun pelaksanaan ide gila tersebut tidak menjadi batal, karena pelaksananya adalah organisasi rahasia Konsorsium, yang keberadaannya juga misterius, namun memiliki koneksi yang kuat dengan beberapa lembaga dan pemerintahan negara-negara besar.

Dan hanya Robert Langdon, dengan bantuan dr. Sienna Brooks yang cerdas lah, yang memegang petunjuk untuk mencegah ide gila Bertrand Zorbist itu terlaksana. Langdon, berpacu dengan waktu dan detik-detik menegangkan, menelusuri jalanan dan bangunan indah di Florence yang penuh mahakarya seni dari jaman Renaissance untuk menemukan petunjuk-petunjuk dan mencegah separuh umat manusia dari kepunahan. (Ferdy - Batam 20102013)

"Tempat tergelap di neraka disediakan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat terjadi krisis moral." (Dan Brown: Inferno)



11 Juli 2013

Mengapa Di Indonesia Ada Gelar Haji?


GELAR haji konon hanya dipakai oleh bangsa Melayu, yaitu di Indonesia, Singapura dan Malaysia. Tidak ada dalil yang mengharuskan jika setelah menunaikan ibadah haji harus diberi gelar haji/hajjah. Bahkan sahabat Rasulullah pun tidak ada yang dipanggil haji.
image
Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, pada saat kalangan tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikaian ini menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah.
Karena kondisi yang tidak kondusif tersebut, hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, ditambah kekacauan yang terjadi, maka pada tahun itu ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama sekali, bahkan oleh penduduk setempat juga tidak.
Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan perengkapan ini para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.
Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar “Haji”.
Gelar Haji di Indonesia
Di zaman penjajahan belanda, pemerintahan kolonial sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir dapat menimbulkan rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, lalu menimbulkan pemberontakan.
Masalahnya, banyak tokoh yang kembali ke tanah air sepulang naik Haji membawa perubahan. Contohnya adalah Ahmad Dahlan yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya Belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Pemerintahan kolonial pun mengkhususkan P. Onrust dan P. Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Jadi demikianlah, gelar Haji pertama kali dibuat oleh pemerintahan kolonial dengan penambahan gelar  huruf  “H” yang berarti orang tersebut telah naik haji ke Mekah. Seperti disinggung sebelumnya, banyak tokoh yang membawa perubahan sepulang berhaji, maka pemakaian gelar H akan memudahkan pemerintah kolonial untuk mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.

20 Desember 2012

Life Of Pi


Life of Pi besutan Ang Lee adalah pencapaian luarbiasa dalam hal penceritaan dan visualisasi gambar. Diangkat dari novel best-seller yang menurut banyak orang tidak akan bisa difilmkan, film ini berhasil melalui kesulitan tersebut dengan gemilang. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Anthony Minghella saat memfilmkan novel The English Patient tahun 1996 lalu, yang berhasil meraih 9 Oscar.

Kisahnya sendiri menceritakan seorang remaja yang menghabiskan 227 hari terombang ambing di perahu penyelamat dan hanyut di lautan Pasifik, bersama seekor harimau Bengali. Mereka mendapatkan diri mereka berada di perahu yang sama melalui prolog yang unik dan penuh warna. Kemudian prolog ini berkembang menjadi gambaran mengenai survival, penerimaan, dan adaptasi. Saya bisa membayangkan Yann Martel, penulis novel ini, akan sangat gembira dengan pendekatan yang dilakukan Ang Lee, yang mengenyampingkan bumbu-bumbu Hollywood yang klise dalam film ini.

Kisahnya dimulai di kebun binatang kecil di Pondichery, India, milik sebuah keluarga, tempat Piscine dibesarkan. Piscine dari kata Perancis jika diterjemahkan ke bahasa Inggris adalah "kolam renang", tapi di India di mana orang lebih banyak berbahasa Inggris daripada Perancis (India adalah bekas jajahan Inggris), teman-temannya menjulukinya "Pee" (pipis). Anak tersebut lebih suka dipanggil Pi, mengikut persamaan Pi dalam matematika yang angkanya tidak habis-habis (3.14 atau 22/7). Jika Pi adalah angka yang tidak terbatas, tentu saja ini menjadi nama yang tepat bagi seorang anak remaja yang tidak menyerah dan menolak untuk menerima keterbatasan.

Kebun binatang yang dikelola keluarga Pi bangkrut, dan ayah Pi mengajak semua keluarga, termasuk hewan-hewan dari kebun binatang tersebut untuk berlayar naik kapal menuju Kanada. Kapal yang mengangkut zebra, orangutan, hyena, harimau dan lain-lain beserta keluarga Pi tersebut karam, keluarganya tidak terlihat lagi, dan hal terakhir yang kita lihat adalah lampu kapal tersebut yang menghilang di kedalaman lautan Pasifik. Ini adalah situasi berbahaya bagi Pi, karena sejak awal kita ditunjukkan betapa ganasnya si harimau, yang diberi nama keren Richard Parker. Tidak seperti harimau di film-film Disney, di sini jelas digambarkan harimau adalah harimau, dan harimau ini siap memangsa.




Jantung film ini berfokus pada perjalanan di laut, di mana manusia menunjukkan bahwa ia bisa berpikir  dengan cerdik dan harimau menunjukkan bahwa ia bisa belajar. Saya tidak akan lebih lanjut menceritakan pada Anda bagaimana prosesnya, tapi demikianlah adanya, kemungkinan yang terjadi akan membuat kita semua terkejut, namun tetap "believable".

Menonton "Life of Pi" memang afdolnya nonton yang versi 3D, film ini benar-benar sukses memanfaatkan teknologi 3D sebagai visualisasi yang mendukung cerita, juga emosi penonton. Ini bukan sekedar visualisasi perahu yang terapung-apung di laut, ini visualisasi laut, perahu dan langit dalam satu frame yang spektakuler. Anda akan tahu mengapa saya berkata demikian. 

Ajaklah keluarga menonton film ini, dengan tema survival, pantang menyerah, penyesuaian diri, penerimaan, dan moralitas yang baik. Film ini membuat kita semakin percaya pada Tuhan. Hindari film-film pocong, kuntilanak dan cinta-cinta dangkal yang kerap diproduseri penjahat-penjahat seni berdarah India dari Jakarta itu. (Legian, 201212).

Ditulis pertama kali di www.ferdot.com . Mirror www.ferdy.mirrorz.com


29 Agustus 2012

CIA's Perspective on Indonesia on September 30 Affair


The Lessons of the September 30 Affair

APPROVED FOR RELEASE 1994
CIA HISTORICAL REVIEW PROGRAM
2 JULY 96
CONFIDENTIAL
No Foreign Dissem
Perspective on Indonesia
THE LESSONS OF THE SEPTEMBER 30 AFFAIR
Richard Cabot Howland
"Indonesia stands today with one foot in national-democratic stage and one foot in the socialist stage ... in order to consummate the revolution, there is only one road for the working class—rebulkan kekvasaan politik!Seize political power!"
Bung Karno, May 1, 1965
He is dead now, but his mad rhetoric still echoes in the mind for those who were there. Speech after speech, Sukarno's cadence set the rhythm for our work and our lives in that long summer of 1965. We battened down the Embassy hatches and waited, straining to fathom his purpose and predict his next move. One after another, faster and faster, the PKI's enemies were over-run; the domino theory was being tested before our eyes. "All of history," Emerson once wrote, "stands in the long shadow of one man." So too did Indonesia by September 30 of that year ... until the last domino refused to fall.
In retrospect, it is easy now to say that our initial interpretation of the "September 30 Movement"—the so-called PKI coup attempt of October 1, 1965—was correct. We knew from the start that it was not a coup in the classic sense. Our first reaction was that Sukarno was behind it all. We knew that he believed that he stood on the stage of history, that he wanted his Indonesian revolution to become "the greatest of all revolutions, even a summing-up of all revolutions," an act which he called "entry into the Socialist stage"—the juncture at which collaboration with the bourgeois nationalists is abruptly terminated, the latter are removed from the stage in disgrace, and the drama moves inexorably toward its finale: the full-fledged Communist state.
Yet, when it happened, it came as a surprise. We expected something to break; Djakarta was unbearably tense, poised on the edge of crisis; but no one knew what form the next crisis would take. No one thought that Sukarno would go for the jugular—the Army—quite so soon. There was still plenty of time, plenty of other targets. Civilian anti-Communist elements had been isolated but not liquidated. We suspected that Sukarno and the PKI would link "entry into the socialist stage" with announcement of a Communist-dominated "Nasakom Cabinet" and the removal of civilian bourgeois nationalists—the once-powerful Third Deputy Premier Chairul Saleh, the political gadfly Adam Malik, the leaders of the banned right-wing of the Nationalist Party, perhaps the fanatical Moslem students from the former Masjumi affiliate, the HMI. All had been under severe propaganda attack for some time and were rumored for imminent arrest. They were logically the next dominoes in the line.
Nobody hurries in Djakarta, especially to a showdown, but Sukarno chose this moment to break the rules of the game. Impelled by his ideological timetable, he must have believed that conditions were right for a dramatic move of historical consequence: a violent purge of the Army General Staff in preparation for establishment of a "People's Army" based on an armed worker/peasant militia and controlled by a political commissar system under the PKI. He had pressed for both throughout the year, but the Army had objected, and on September 1 he warned Army Commander Yani publicly that "the revolution was about to leave him behind." Had the move succeeded, a "Nasakom Cabinet" would have followed, then the arrest of other "counterrevolutionaries," eventually the seizure of land and capital by the state and the collectivization of agriculture, all hallmarks of the "socialist stage" in Communist revolutionary theory.
Instead, insha'allah, everything went awry, as is often the case on Java, and the Movement failed. Sukarno and the PKI, not the bourgeois nationalists, left the stage in disgrace and the latter in control. From the confusion of those exciting days have emerged many myths, in particular a set of generalizations about the origins and outcome of the event, which gained credence within some U.S. Government circles and especially "outside the wall" of classification. Simply stated, these generalizations were that (1) Communist China instigated the "PKI coup attempt" in an effort to "make an end-run" around the U.S. "forward-line" in South Vietnam, but (2) our decision to commit American troops in that country, signifying our readiness to block the southward extension of Chinese Communist power, stiffened the backbones of the Indonesian officer corps, and (3) bought sufficient time for them to crush their own Communist threat in a "massacre" which took the lives of some 350,000 or more party members at no cost to the United States.
These generalizations were based on inadequate data—all data was inadequate in the early days of the affair. They make Asian politics sound like American football, and are suspect on that account alone. Yet they seemed logical in geo-political terms, especially at a time when Washington sought justification for the American stance in South Vietnam, and the Indonesians sought propaganda ammunition against Peking and the PKI. In Djakarta, however, we were particularly struck by the uniquely indigenous character of the events which led to the purge attempt and by the minimal influence on its outcome that could be ascribed to non-Indonesian factors. The geo-political generalizations about the incident, which I summarized above, clashed in our minds with a point that we felt was its strongest feature—that it was, from start to finish, a peculiarly and exclusively Indonesian phenomenon.
Half a decade has passed since the September 30 Movement collapsed, bringing down with it Sukarno's bloated edifice of words. Personal and institutional memories are growing dimmer. The time may thus be appropriate for a new, "inside the wall" look at the three generalizations produced in the public mind by its dramatic and arcane circumstances, in order to raise serious doubts about their validity before they come to conceal the real value of the Indonesian experience—the lessons of the September 30 affair.
Communist China
"... damned clever, these Chinese."
—Unknown
In her study The Coup that Backfired, Mrs. Helen Hunter went a long way toward dispelling the myth of Chinese Communist involvement in the purge attempt. She concluded that while Peking had probably learned of the Sukarno/PKI plan, as indeed it must have through agent penetration of the Palace and the PKI, the Chinese did not instigate the plot or participate in carrying it out. The same conclusion is implicit in an earlier article in Studies in Intelligence on the September 30 Movement by John T. Pizzicaro.
Like us, the Chinese knew something important was imminent. But I doubt whether they could truly have comprehended the nature of the plot and its implications. By mid-September, too many actors had become involved in the drama, each interpreting the script in light of his own self-interest. I doubt whether Sukarno, let alone the Chinese, knew the Generals were to be liquidated, or the Revolutionary Council named as the "source of all state power." Even Sudisman, fifth-ranking leader of the PKI, subsequently stated under interrogation that the latter statement "was not part of the plan." Sukarno was unaware of the involvement of Colonel Untung from his own Palace Guards' Regiment, because he had dealt only with PKI Chairman Aidit, Air Force Commander Omar Dhani, and Army General Supardjo who was in charge of tactical operations for the Movement. The PKI's "Special Bureau" chief Sjam Kamaruzaman, who planned the details, was actually proceeding under the incredible assumption that "if necessary, the President would be set aside."
Thus the participants did not have a unified concept of the affair, and the lines of authority among them were blurred from the outset. It is no wonder that General Supardjo told Army interrogators afterwards that when he returned to Djakarta from his post in West Borneo on September 28, everything was in chaos and "there was no clear chain of command." Whatever Sukarno's original instructions—probably couched in typical Javanese ambiguity—the thing had gotten badly out of hand, and had assumed an internal dynamic which no single participant, let alone a foreign observer, could understand or control.
A more fundamental brand of skepticism on the myth of Chinese involvement would arise if relations between the Chinese leaders, Sukarno, and the PKI were examined. The Chinese had little real leverage over Sukarno, or Aidit and the party. The two leaders were not the obscure protagonists of a minority faction in some little-known, unimportant country. Both were prominent figures on the international scene, aware of their power. They were vain, hyper-sensitive, paranoid chauvinists to whom foreign leaders had long catered, not dictated. The PKI in turn was the largest Communist party outside the Communist World. A good measure of Indonesian hyper-nationalism and mistrust of foreign powers laced all its activities and plans.
Sukarno was no "dupe of the Communists," Chinese or any other. He had towered over Indonesian political life for more than a generation, and claimed his own niche in the Marxist pantheon. In his speeches, he listed himself after Marx, Engels, Lenin and Stalin—but not Mao, who was still alive—as a prophet and "great leader of the revolution." He asserted that with his formulation of "Marhaenism" in 1926, he had discovered the theorem that revolution in a colonial country had to base itself on a broad national front including the peasantry, not on the industrial proletariat alone. Sukarno claimed to have made this discovery before Mao had reached the same conclusion. Both Sukarno and Aidit believed they were still breaking new ideological ground in "adapting Marxism to Indonesian conditions," and the party formally stated that "the teachings of Bung Karno are identical with the program of the PKI."
Their approach must have seemed to be paying off from Peking's point of view, and there was no reason for the Chinese to exert pressure on them for greater speed. The Indonesian revolutionary situation and Indonesian foreign policy were moving in a direction and at a pace which coincided with Chinese desires. At two junctures, Aidit even warned his colleagues that things were going too fast—a warning that later returned to haunt him when he failed to heed it himself.
In Indonesia, the "party of the Chinese" was Partindo, not the PKI. A tiny clot of left-wing extremists, the Partindo leaders drew their influence from their rapport with Sukarno and their interrelationship with the leaders of a powerful association of Indonesian citizens of Chinese descent called "Baperki." Both organizations followed the PKI line—Partindo in fact was often out in front—and had friendly relations with the Chinese Communist Embassy. The latter also influenced a number of alien ethnic Chinese businessmen's associations, which parroted the Sukarno/PKI slogans. Yet among all the participants in the September 30 affair no ethnic Chinese name appears, and the leaders of Partindo and Baperki were as confused as we were on the morning of October l, 1965.
The PKI in contrast had virtually no ethnic Chinese on its personnel roster. Not more than a dozen Chinese names could be found among some 2,000 PKI biographic information cards at the American Embassy. The average PKI member often shared the same ingrained suspicion and animosity toward the Chinese as his non-Communist countrymen. The fundamental theme of Aidit's policy, and the main tool with which he had succeeded in rebuilding the party after the disastrous Moscow-induced Madiun revolt of 1948, was his effort to ensure that the PKI operated as a purely indigenous Indonesian institution. Recruiting efforts focused on ethnic Indonesians. Aidit and Sukarno were only too aware of the potential propaganda backlash that awaited any clearcut identification of the party with the Chinese, either domestically or abroad, in the Indonesian public mind. Aidit could scarcely have favored growing Chinese influence within his party, which might have aggravated factionalism and weakened the PKI before its adversaries. It might even have endangered his own position, since by "taking the parliamentary road" for thirteen years, Aidit had clearly been "following the Moscow line" in terms of the Sino-Soviet split.
For all these reasons, while the PKI made the fraternal and adulatory noises toward Peking and the Chinese revolution that one would expect from an Asian party, its leaders scarcely missed a suitable opportunity to express their independence of any Chinese influence.
It is out of the question for Sukarno or Aidit to have offered any outside power "a piece of the action" or requested help in the September 30 affair.
Vietnam
"Victory has a hundred fathers, but defeat is an orphan."
—John F. Kennedy
The tendency to blame everything bad that happens in the world on Peking or Moscow is matched by the tendency to credit ourselves for all the good things. Both tendencies have clearly been at work in some interpretations of the September 30 affair and its outcome. Some people believe that the Indonesian Army would have been inclined to compromise with Sukarno and the PKI if its leaders were not aware that US forces had tied down the Chinese in South Vietnam by bombing the north and sending in the Marines. In fact, the Army did compromise with Sukarno for almost two years, though not with the PKI.
What options would have been available to the Chinese if the US presence was absent from South Vietnam? They could not have launched an invasion of Java since they lacked transportation and logistical support. They could have mounted an air strike on Djakarta, refueling at Hanoi, but the outcome would have been disastrous. The main victims would have been the predominantly urban ethnic Chinese in Indonesia. As it was, Peking's constant vituperation of the "right-wing forces," and its incitement of the Indonesian Chinese to rebel against them only aggravated the latter's troubles and reinforced Army propaganda that the PKI had been a Chinese tool. Whether the US stood firm in Vietnam or not, there was nothing that Peking could do—except take it on the chin in Indonesia as we had during the Sukarno years.
It has. been argued, however, that while in objective terms the Chinese were clearly powerless to affect the situation by physical means, in psychological terms China was viewed as a potential threat after the purge attempt because of its great size and historical meddling in the area. Thus, the US barrier in Vietnam was said to be a meaningful integer in Indonesian calculations.
I would question whether many Indonesians were troubled by China's size. They believe Indonesia is the most important country in the world, and boast that the last time China invaded Java—in the thirteenth century—it was repulsed. In addition, I suspect that the whole effort to impute to Indonesian decision-makers any profound or strategic thoughts during those days of crisis is a great mistake.
Perhaps it would be useful in this connection to discuss in detail the turning-point in the events of October 1 itself—the juncture at which the keynote was sounded for the campaign against Sukarno and the eradication of the PKI—to determine whether thoughts of Vietnam or China were on anybody's mind.
The moment of decision came shortly after noon at Kostrad Headquarters on Djakarta's main square, where Suharto had assumed temporary command of the Army under standing contingency procedures. The two airborne "Raider" battalions that had deployed on the square earlier in the day in support of the purge attempt still surrounded Suharto and controlled key installations. Suharto was negotiating with their executive officers to get them to withdraw, and at the same time trying to size up the situation and find some reliable troops for himself. So far he had collected two platoons, plus ambiguous expressions of support from duty officers in the Navy and the national police.
Suharto was hurt and enraged at the clear probability that his close friend and patron, Army Commander Yani, had been murdered. Nasution, the Armed Forces Chief of Staff and its leading "strategic thinker," was in a nearby room. Best described later by a western diplomat as "a simple, ambitious coward," Nasution was paralyzed with shock and grief from the attack on his home. Far from being an asset, to Suharto, Nasution had retreated at the crucial moment, as he had so many times before in crises when Sukarno was involved.
At this point, an emissary from Sukarno arrived. It was one of his adjutants, Marine Corps Lieutenant Colonel Bambang Widjanarko, who accompanied Sukarno when he drove out to join the anti-Army forces at Halim Air Force Base that morning. Widjanarko announced that he brought an order from the "great leader of the revolution" and was taken to Suharto. He told the Kostrad commander that Sukarno ordered him to turn over temporary command of the Army to MajorGeneral Pranoto Reksosamudra. Pranoto was believed to be a PKI sympathizer, and Suharto knew him well. He had replaced Suharto in 1959 as Central Java Army Commander after an incident involving Suharto's family which had tarnished the latter's reputation.
Sukarno's choice of Pranoto to replace Suharto was a clear mistake. His use of a junior officer from an anti-Army service to carry the word made it, a major blunder. The final touch came when Widjanarko belligerently demanded, according to those present, that Suharto "release" several key Generals and allow them to proceed to Halim for consulation with Sukarno. Suharto was already aware that several top Generals had been killed and others were missing. He went into a rage.
Speaking Javanese, he ordered Widjanarko to inform Sukarno that he was retaining temporary command of the Army until Yani's fate was known, that "no more Generals would go to Halim," and that Sukarno himself should leave the Air Base as soon as possible because he was preparing to attack it.
The impact and implications of that final clause may be difficult to sense for those who did not endure the long years of deference and propaganda adulation paid to Sukarno by all sectors of the population, including the Army. In effect, Suharto had challenged the power of a latter-day Javanese god-king. But the impact was not lost on Sukarno, who complied, probably unnerved by this singular act of defiance from a hitherto complacent, apolitical, obedient soldier. A test of wills had occurred, and Suharto had won. The news spread rapidly among the political and military elite, and Suharto was able to establish himself as the leader of the anti-PKI forces while the leftists remained in disarray "with no clear chain of command," as Supardjo subsequently noted. The Rubicon in contemporary Indonesian history had been crossed, and thereafter the tide of events moved irrevocably against Sukarno and the PKI.
What had provoked Suharto to throw down the gauntlet'? lie acted in rage, fear, and desperation. He felt keenly humiliated that Sukarno had sent a junior officer to order him about like a servant. He was incensed at the thought of surrendering his command for a second time to a hated subordinate, and feared that Pranoto's appointment meant his own name was on the PKI's liquidation list. He acted in the belief that he was serving the best interests of the Army, of his military comrades, and of Indonesia itself in standing up to Sukarno whatever the latter's power. All these motivations are reasonable to impute to a tense, puzzled, parochial but able field officer who felt that he alone had to hold the situation together in a crisis endangering the foundations of the state and his own future.
But he certainly did not act from a strategic or geo-political vision of the implications of the U.S. presence in South Vietnam in terms of the Chinese colossus to the north. It was a tactical situation; Yani was dead, Nasution had copped out, Suharto was senior officer present and commanding, and only he could take charge. That he did so without thought of the consequences explains much about him and his later success. Suharto merits our gratitude, not claims of a share in his victory because of our stance in Vietnam, for that moment alone.
The Massacre of the PKI
"We feared the great Communist chiefs: they had magic powers which prevented them from dying. No matter how much we beat them they did not die. We had to inscribe the letters 'PKI' on their skulls to prevent their hair from growing out again after we had scalped them. Some would not die even when we forced bamboo sticks into their eyes and mouths, or after we put out their eyes. Especially in the case of the great chiefs, we would put a live cat into their bellies; only then would they suffocate. 'rhe cat, symbol of the tiger, caused them to lose their magic powers, and they died."
-quoted by Philippe Gavi, in an article entitled "Indonesia Days of Slaughter," in the Italian-language weekly theoretical organ of the Italian Communist Party, Rinascita (Rebirth), No. i, Rome, February 16, 1968, pp. 15 18.
Foreign estimates of the number of PKI members and sympathizers killed as a direct result of the reaction to the purge attempt have ranged from 350,000 at the low end to 1.5 million at the high. The Indonesian Government has never issued an official announcement on the subject. In a recent article in the British publication Government and Opposition entitled "Indonesia's Search for a Political Format," Donald Ilindley quotes the low-end figure in his text but adds the latter in a footnote. Ilindley is guessing, for no one really knows. IIis citation of both figures, an ostensible effort to attain scholarly balance, actually begs the question whether very many were killed at all. Like the "Cornell group" dissected by John T. Pizzicaro in his recent Studies in Intelligence article, Hindley is forced by the ideological compulsions of the academic "new left" to maintain the polemical attack on the New Order regime, although he personally considers it, as he once told me, "the best government Indonesia has had."
Hindley's upper-range figure of 1.5 million was probably acquired from Miss Ruth McVey, the "PEI's biographer." Ruth was not in Indonesia at the time of the purge attempt, and had access only to journalistic sources in the months that followed. Yet by the spring of 1966, she had surfaced the figure of 1.5 million Communist dead at a New York meeting of the "Youth against War and Fascism" organization. This astonishing performance by an otherwise able and objective scholar clearly demonstrates how emotions have fogged the whole issue. How could the characteristically disorganized Indonesians possibly construct an efficient murder apparatus on this vast scale in a few months, and systematically exterminate almost one-third the number of people that the Nazi regime killed in ten years?
Following the purge attempt, Djakarta seethed with rumors and stories of bloodshed and terror. The Embassy was aware that this issue would loom large for some time and from the beginning we attempted to develop hard intelligence to put the subject in perspective. A preliminary look at, the data showed, however, that even after the palpable boasts had been detected and discarded, what, remained was spotty and inconsistent. No firm information on alleged killing; of Communists ever emerged from almost two-thirds of Indonesia's provinces. In addition, areas where one might have expected massacres of epic proportions—diehard anti-Communist West Java, for instance—were remarkably unstained with Communist blood. Yet in areas where the PKI had never won more than a modicum of popular support: in Atjeh, or the Madurese regions of East Java, the death tolls boggled the mind. One heard interminable lurid reports of mass killings in Bali, some 50,000 deaths or more, where the PKI had never succeeded in cracking the tightly-knit Balinese social structure or challenging the political domination of the Nationalist Party. Yet in the traditional PKI stronghold of Madiun, the seat of the 1948 rebellion which should have been the first target for liquidation teams, and where there were plenty of Moslems to do the job . . . all was calm. Not one PKI death was ever reported from Madiun to my knowledge. A curious pattern, and one that did not readily hang together.
It was thus not an easy task to determine an overall death-tollPart of the problem derived from the local cultural imperative which we called "deliberate misleading of the outsider," but the Javanese call "étok-étok." To a Westerner, a thing is either true or false, an event either happened or it did not. This emphasis on objective reality seems dogmatic to a Javanese, who is more sensitive to the demands made on truth by the social context and his own socio-political status. Javanese seek to avoid potential conflict and embarrassment, and govern their behavior and remarks accordingly. The result is that they believe it is better to tell an outsider what they think he wishes to hear rather than risk the unpredictable consequences of telling the truth. This generalization does not pertain to all social situations, but is the cultural model for what Javanese believe social intercourse should be.
In reviewing the documentary evidence of the so-called massacre, I felt it was obvious that considerable étok-étok was involved. The same was true as I inquired among my contacts in the military and elsewhere, seeking a viable nation-wide estimate of Communist deaths to report to the Department. I found an abundance of exciting, selfserving tales, told with averted eyes, as though the ghost of I). N. Aidit were lurking in the background. Rather than acting like members of a "conspiracy of silence," most people were "protesting too much" of their ruthless anti-Communist zeal. But they could not produce hard data, lists, names and places, photographs, or any indication that some Indonesian government bureau had been tasked with tracking down and collating the stories in a systematic and objective manner. It was true that Sukarno had directed several of his Ministerial flunkies to survey Java in November, 1965 to obtain information for use in his     effort to stymie the anti-Communist bandwagon. But their estimate of 87,000 stemmed directly from political considerations, and had to be rejected on those grounds.
Finally, a Lieutenant Colonel in the Army's Supreme Operations Command's "Social-Political Affairs Section" passed me some figures which he swore were accurate compilations from field reporting. The totals were 50,000 dead on Java; 6,000 dead on Bali; 3,000 in North Sumatra. I was skeptical of his methods but accepted his estimates, faute de mieux, and combining them with my own data produced a nation-wide total of 105,000 Communist dead. Admittedly a large figure, it was still a far cry from the claims of 350,000 to 1.5 million victims being bandied about, and at least had partially resulted from a systematic effort.
While the death toll appeared lower than generally believed, the net impact on PKI cohesion and capabilities remained the same. The climate of fear and suspicion that arose in the villages as a result of the widespread rumors of mass killing effectively impaired PKI courier communications, obstructed party meetings, and thus paralyzed lateral coordination and control. Concurrently, the Army seized the central PKI publications apparatus and captured a majority of the Central Committee membership within a few months, thus blocking dissemination of instructions from the top. The PKI's two strongest features apart from identification with Sukarno, its organization and communications, were thus nullified, and its destruction as a cohesive political force was assured.
By April of 1966, conditions were settling down and the Army relaxed its restrictions on travel. At the first opportunity, another Embassy officer and I left on a trip through Java seeking first-hand intelligence information on a variety of subjects. Among other things, because of my conclusions mentioned above, I hoped to learn something about the alleged severe killing in East Java which had been described in news items filed by Mr. Stanley Karnow of the St. Louis Post-Despatch.
Karnow was an unusual correspondent among the many who came to Indonesia at that time. He actually visited the areas about which he wrote. He interviewed at length the Army Commander of the Kediri district of East Java, Colonel Willy Sudjono. The Colonel had filled his ears with gory details and astonishing death-tolls, including a remark that the Brantas River—which flows past Kediri town—had been "choked with 30,000 Communist bodies." From a previous trip to Kediri, I remembered the Brantas as a broad, placid stream, its bed raised above the level of the surrounding countryside by years of diking and overflow, somewhat in the manner of the Ilwang Ilo of China. It occurred to me that 30,000 bodies floating down the Brantas would have jammed the gates of the numerous irrigation dams that span the river, causing a severe flood in Kediri town.
In any event, I was anxious to learn just what had happened in Kediri, a fascinating area of marked importance in Javanese history and politics for centuries. It was the seat of an early Hindu-Buddhist kingdom whose legendary ruler produced a set of prophecies which became a. central feature of the Javanese political mystique. Javanese believe that Kediri stands at the center of a peculiarly potent combination of necromantic and mystical geo-magnetic forces. The area in consequence has generated peasant-based millenarian movements for hundreds of years. Prince Diponegoro of Jogjakarta went to Kediri to meditate in a cave before he fomented a messianic revolt, against the Dutch in 182.1. Sukarno always played up his early boyhood in Blitar, near Kediri, and had requested to be interred there. Before the 1965 purge attempt, Kediri was a Sukarnoist/PKI stronghold, as one might expect where severe ethnic (Javanese vs. Madurese) and religious (reformist Moslem vs. animist) antagonisms intersected in a setting that contrasted large land-holdings with abysmal poverty. Here were all the contradictions which provided, for Sukarno and the PKI, the exploitable corridors of power.
In April, 1966, another Embassy officer and myself spent several days at the home of an American Baptist missionary docter and his wife in Kediri. The Baptist mission and hospital were established in Kediri just after the war. They were readily accepted by the nominal Moslem Javanese of the area, who probably saw the Baptists as just another mystical sect drawn to Kediri by its potent ethereal forces. There were eight American families, and many "national preachers—local converts who helped spread the gospel—at the Baptist establishment. They enjoyed excellent relations with local officials and had made many friends in the villages of the area. Every morning, Javanese from all social classes lined up in front of the hospital for medical treatment. Obviously the Baptists were well-attuned to the local environment.
From several days' talks with the Baptist group and other local informants, an interesting picture of Colonel Willy Sudjono emerged. Ile had lost several relatives fighting on the Communist side at Madiun in 1948. He was also known as a staunch Sukarnoist and devout follower of the pro-Communist. East Java mystical sect leader, mBah 5uro. Before the purge attempt, he had not obstructed the Comnunist advance. The missionaries remarked that during the August 17, 1965 National Day celebrations, PKI organizations marched down Kediri's main street for hours, some of them armed, while Willy Sudjono watched and smiled. Yet the missionaries did not believe he was a Communist himself. They had requested troops to protect the hospital against threatened PKI attacks on several occasions, and he had always complied. Sudjono's family came to the hospital for medical treatment and health exams, as did many of the local officials of the area. Obviously there was more to his story than Karnow had learned.
The missionaries and their local contacts had heard many stories of mass killing in the surrounding area, including the tale of "30,000 bodies choking the Brantas River." One night, according to a missionary wife, they heard the gamelans (traditional musical instruments) "pounding from darkness till dawn." They presumed that killing was underway, and that the music was intended to cover the sound of screams. They were surprised that fanatical Moslems would choose to kill by gamelan music, a non-Moslem, Hindu-Javanese cultural manifestation. But the next morning, everything was calm. As the Baptists went through nearby villages, there was no sign of slaughter. In fact, although they preached and dispensed health care in the area throughout the period of the purge attempt and its aftermath, none ever saw a Communist body, in the Brantas or elsewhere. Whenever they asked village contacts about, the subject, they were always told that "there were no PKI members in this village and no killing here, but many dead at the next village down the road." But at the next village, the answer was the same: "no PKI, no killing here."
A press correspondent who spent a month on Bali searching for evidence of the mass killing for a feature story told me that he had gotten the same answer in village after village there. Moreover, he pointed out, neither he nor his colleagues had ever managed to photograph a Communist body. 'ro this day, 1 myself have never seen even one photograph of a PKI corpse.
The missionaries' story was confirmed by other local informants, who believed that most of the Communist leaders had fled to Surabaja after the failure of the purge attempt, while the peasant masses who had supported the party because of its identification with Sukarno simply melted away. What killing had occurred, they said, had been on a minor, ceremonial scale.
Thus, there must have been considerable étok-étok in the story Willy Sudjono told Stan Karnow. He had done nothing to slow down the PKI in his jurisdiction before the purge attempt. As a known Sukarnophile and mBah Suro devotee, the onus was on him afterwards to demonstrate. his loyalty to the Army. He must have welcomed the chance to proclaim to Djakarta through an American journalist that his severity toward the party after the event had known no bounds.
How many other local military commanders and district officials had been under the same pressures after the purge attempt? Virtually all of them were imbued with Sukarno's "Nasakom" sloganry, including the policy of collaborating with the PKI. What better way to display their newly-discovered anti-Communist colors, without committing themselves to Suharto or Sukarno while the Djakarta power struggle was unresolved, than by inflating the numbers of PKI killed in their jurisdictions? How many opportunistic politicians sought to erase years of riding the PKI's coat-tails by proclaiming responsibility for a few unverifiable Communist deaths? The IP-KI Party leader Lucas Kustarjo, for instance, though a long-time Sukarnophile, boasted everywhere that he ha6 told Sukarno personally that he killed "300 PKI leaders with his own hands."
Like the politicians and military leaders, the average village citizen had shrewd motivations for concocting massacre tales. If a villager told the authorities that his Communist neighbor had escaped, he risked guilt by association, or at least faced the prospect of a harangue on the importance of "heightening vigilance against the PKI." But if he told the authorities that his Communist neighbor had been killed by the "spontaneity of the masses," he would receive a pat on the back—perhaps even his neighbor's house or land. Who could check the story'.? The Army has never been able to keep track of its own personnel, let alone the civilians on over-populated Java.
As the reports of massacres moved up along the chain of command, they could easily have been embellished and magnified as successive layers of officialdom sought to display their own anti-Communist zeal. The natural tendency was to accept them at face value, especially among the Western correspondents who flocked to Djakarta in search of sensational copy for lurid feature articles to cable to the outside world. The result was the myth of the massacre. A good part of it must have been étok-étok by everyone concerned.
The Future
"We are independent now. Independence was not granted as a gift from our former colonisers. but we have won it the hard way at a great loss of lives on the part of all the Indonesian people for more than hundreds of years. We have a state philosophy and a Constitution which are not of foreign make but the products of our own inquiry into our own identity and our own history, formulated by Indonesian leaders and Indonesian philosophers. Our Armed Forces are not an inheritance, but have emerged from the midst of a fighting nation ... all these things are not just the legacy of the days prior to our independence. We have done them ourselves."
—President Suharto, on the eve of the 25th anniversary of Indonesian independence, on August 16, 1970.
No one will ever know the truth about the September 30 affair. By posing some questions about the myths that have evolved in the public mind in regard to the events that preceded and followed it, I hope at least to have signalled the danger of swallowing them whole. Whatever the popular misinterpretations of newsmen and scholars, "inside the wall" we should not be misled by the need to practice our own form of étok-étok to justify the policies of the past. Instead we should look to the real and valuable lessons which this watershed in contemporary Southeast Asian history has provided for the future.
To the strategic thinkers of the outside world, Southeast Asia, like the Balkans, has always looked like a power vacuum about to implode. Like the Javanese area of Kediri, one might almost say, Southeast Asia has loomed as a center of mystical forces, time and again attracting foreign powers to meddle in its murky affairs in the hope of gain—or occasionally in the hope of obtaining the gratitude of Southeast Asians themselves. But time and again the outsider has seen his efforts go unappreciated, his motives mistrusted, and his departure awaited with eager pride. Too often the reason has been the outsider's inability to see things through Southeast Asian eyes.
Human and interstate relations in Southeast Asia do not occur under ideal laboratory conditions, and the course of events is seldom predictable at a distance by analysis of national interest and balance of power alone. The "strategic planners" who prefer to "focus on the big picture in Asia" to produce sweeping, unverifiable geo-political theories run the risk of overlooking some quirk of human behavior that can easily upset their most sophisticated calculations and ideas. In Indonesia in 1965, the last domino refused to fall, and the tenets of the domino theory proved irrelevant to a major historical change. The course of events turned instead on the personality of one man, as the massive door of a vault pivots on its tiny jewelled bearing. Without the example of Suharto's courage in defying Sukarno, a thousand similar acts of decision would not have occurred elsewhere in the archipelago, and the whole "strategic situation" in Southeast Asia would not be the same. Suharto and his supporters were not concerned with the "big picture," or with conditions in other countries of Asia. They had enough to do with their own "little picture," and concentrated on the job to be done and the people involved. As a result, they won. The PKI was destroyed in the villages of Indonesia, Dot by the American "forward line" in Vietnam.
In Washington things tend to become unreal. Human beings are sometimes viewed as little more than names passing in the stream of paper. unrelated to their past and future. Far from the scene, we are often prone to see Asia impersonally as a cosmic chessboard, where the great powers can conduct their broader strategies without much regard for the pawns. But the pawns too are people, and the human factor is always the key, as it was on the morning of October 1, 196;5 in Indonesia. To be truly viable, all strategic theories based on sophisticated geo-political ideas must also take into account the prospect of those sudden, unexpected acts of human courage and decision which, precisely because they were not a part of preconceived plans, alter and illuminate political affairs.
The origins and outcome of the September 30 affair were the result of Indonesian actions alone. By the time the great powers realized what was underway, it was too late to help or hinder either side. Washington' could only watch and wait, and hope that when the situation jelled, a new and more constructive relationship could be established with whatever regime survived. Then—but only then—could we offer to help, after the fever had broken and the patient was already on the road to recovery.
The Indonesians were acutely aware after the overthrow of Sukarno and the PKI that the road to recovery meant turning inward to repair the economic deterioration that had contributed significantly to Sukarno's success in orchestrating the Communist march toward power. Indonesia rejected Sukarno's mad schemes of leading the "third world" in a crusade of bluff and bluster against the "imperialist powers," and focussed its attention on its own sad internal plight. Suharto blocked a reversion to unproductive political infighting, and placed the stress of government policy on combatting inflation and preparing the base for economic development. The first battle was won and the development effort shows great promise for the future, although severe challenges remain.
In the wake of the September 30 affair and its aftermath, the lesson of the Indonesian experience began to make itself felt. It was at the heart of the American "low profile" approach to Indonesian efforts to bring their runaway inflation under control. Although advice from the International Monetary Fund and assistance from foreign donors were important, the essential decisions were made by Indonesian economists and implemented because of Suharto's resolve. American involvement was kept, to a miminum. The low-profile approach also led to our "handsoff" attitude when the Indonesians were attempting to round up expatriate Sarawak Chinese dissidents in West Borneo in 1967, and to quell an embryonic PKI insurgency effort in East Java the following year. In the first case, Indonesians and Malaysians combined their efforts; in East Java, only a few weeks were needed for the Indonesians to handle the job themselves. In both cases, American involvement would have lent credence to Communist propaganda, and impaired indigenous resolve.
In the larger context, the Vietnamization idea and the "Guam Doctrine" can be seen as efforts to employ the lessons of the September 30 affair in structuring an appropriate American posture for the region as a whole.
Comparisons of what happened in South Vietnam and Indonesia after the critical year of 1965 make it clear that American power can only complement and augment indigenous resolve—the quality that the Indonesians call "national resiliency," which can be generated through local leadership and enhanced through regional cooperation, but not created or replaced by vast infusions of men and money from abroad. The human factor is always the key.
Very few now believe that the "soft states" of Southeast Asia can manage to survive as independent national entities without massive American help in view of the geo-political menace of Communist China to the north. Yet who among us would have believed—on that hot morning of October 1, 1965, as we drove toward the Embassy between the endless red banners and lurid anti-Western posters along both sides of the main highway into Djakarta, to face yet another day of systematic humiliation by the minions of Sukarno and the PKIthat actions and events were already underway which would reverse the course of years of Indonesian history in a matter of days? The Indonesians looked into the abyss, recoiled, and learned their lessons well. Their task and ours is to use those lessons equally well in the future.

CONFIDENTIAL
No Foreign Dissem

Historical Document
Posted: May 08, 2007 08:29 AM
Last Updated: Aug 04, 2011 01:24 PM
Last Reviewed: May 08, 2007 08:29 AM