07 Agustus 2009

Willy

Aku ini milik Tuhan dan
Mengabdi kepada kehendak Tuhan
Segala yang lebih aku kembalikan kepada Tuhan
Melewati alam kehidupan
Aku setia kepada hati nuraniku
Aku setia kepada jalannya alam
Aku hidup dengan memandang
nilai-nilai kebudayaan
(Janji/prasetya di Bengkel Teater)


Beberapa waktu yang lalu, wartawan sekaligus pemusik Deded Er Moerad mengajak almarhum om Abdul Azis Abdus (ayah dari Abdulrahman dan Abdulrahim) untuk menemui Rusli Zainal yang waktu itu menjabat sebagai bupati Tembilahan. Tujuannya adalah untuk menyampaikan rencana mengundang Rendra ke Tembilahan. Meski awalnya ragu, Rusli Zainal memberi lampu hijau termasuk untuk membiayai transportasi dan uang saku selama si Burung Merak berada di Tembilahan.

Dikisahkan, waktu itu banyak yang skeptis dengan rencana tersebut. Apa mau sang Burung Merak yang biasa tinggal di 'langit' datang ke Tembilahan, sebuah kota di susut timur Sumatra yang bahkan namanya saja sering tidak muncul di peta.

Rendra pun datang. Beliau menginap di rumah makcik Ramlah, ibunda Deded R Moerad. Makcik Ramlah ini terkenal dengan masakannya yang enak, juga kue-kue atau wadai buatannya. Hal inilah, salah satu diantara banyak hal yang membuat Rendra betah di Tembilahan. Apalagi makcik Ramlah sering memasakkan udang galah, udang besar yang sering membuat udang-udang lain mengalah.

Pada kesempatan inilah saya sempat bertemu dengan beliau. Waktu itu saya sedang pulang kampung, serta merta saya diajak ayah saya yang juga seniman lokal untuk berhandai taulan dengan sang penyair besar ini. Saya senang. Sejak kecil saya membaca dan menonton Rendra. Ayah saya memiliki koleksi naskah Rendra di antara naskah-naskah seniman lain. Saya juga mengikuti ulasan mengenai pementasan Bengkel Teater yang waktu itu sering muncul di Tempo, Jakarta Jakarta dan Matra. Majalah Tempo pernah menulis feature dengan judul Rendra: Penyair 1 Milyar. Dulu saya baca Bengkel Teater sempat dicekal rejim Soeharto dan pernah mati suri. Ada film beliau yang saya tonton waktu kecil, judulnya Al Kautsar. Padahal diberitakan waktu film itu dibuat Rendra masih mualaf. Dia baru saja masuk Islam.

Jika tanpa prakarsa Deded R Moerad dan om Abdul Azis, belum tentu saya bisa ketemu om Willy, begitu panggilan akrabnya. Di Tembilahan, Rendra didaulat membaca puisi, berdiskusi dengan seniman setempat, berkunjung ke desa-desa, mengamati tanah gambut, melihat dengan mata kepalanya sendiri kehidupan petani dan nelayan Indragiri.

Tiga tahun yang lalu ketika saya pulang kampung, ayah saya memberikan buku berjudul Kepak Sayap Si Burung Merak. Buku itu merupakan biografi Rendra yang diterbitkan di Riau dan ditulis oleh Deded R. Moerad. Empat malam yang lalu karena tidak bisa tidur, saya membaca ulang buku itu dan sempat membayangkan kisah-kisah percintaan Rendra, suka duka Bengkel Teater, dan beberapa kisah-kisah lucu dan konyol yang terjadi sepanjang hidupnya. Sebelum sampai Bagian Lima yang mengisahkan tentang Percintaan Dengan Tuhan, saya jatuh tertidur.

Kemarin saya mendapat kabar bahwa sang Burung Merak telah mengepakkan sayapnya menuju bintang gemintang, ke suatu tempat yang lebih tinggi dari dunia fana.

Selamat jalan om Willy.

(Read more at www.ferdiansyah.com)