19 Agustus 2018

Perjalanan Ke Pemukiman Suku Baduy Dalam

Tepat tanggal 17 Agustus kemarin, saya dan teman-teman mengunjungi pemukiman Suku Baduy Dalam, antara lain untuk melihat adakah relevansinya 73 tahun Indonesia merdeka dengan kehidupan sehari-hari mereka.


Suku Baduy Dalam, atau disebut juga Urang Kanekes, adalah suku pedalaman Banten yang paling misterius dan paling terisolir di Pulau Jawa. Misterius karena mereka menolak teknologi, dan terisolir karena tidak ada akses kendaraan ke perkampungan mereka, baik roda dua apalagi roda empat. Mereka tinggal di pedalaman di tengah pegunungan Kendeng di pelosok Banten. Untuk mencapainya, saya dan teman-teman harus berjalan kaki menempuh perjalanan 4.5 jam, menyusuri jalur pencari kayu bakar dari pemukiman Baduy Luar di Desa Ciboleger. Perjalanannya benar-benar menguras fisik dan menguji mental, karena medannya tidak mudah, penuh tanjakan curam dengan kemiringan hingga 45 derajat, apalagi di usia yang sudah tidak "tua" lagi seperti saya,  dan di saat tenaga kita sudah terkuras dan mengira kita sudah di puncak dan akan menemui turunan, ternyata kita bahkan belum mencapai separuh perjalanan. Tanjakannya termasuk berbahaya dan kalau tidak berhati-hati bisa tergelincir, ke bawah ataupun ke jurang di samping.


Beruntung kami ditemani guide yang merupakan penduduk asli Suku Baduy Dalam, bernami Sarid, panggilannya Agus. Dan satu lagi bernama Lidong, yang tugasnya membantu membawakan barang-barang buat yang kecapean membawa tas dan ransel. Mereka bertelanjang kaki dan dengan lincah menapaki jalan berbatu-batu licin dan tajam, tanpa kelihatan cape, sementara napas kami sudah ngos-ngosan.

Jadi untuk bisa mencapai Desa Cibeo, salah satu dari 3 desa pemukiman Suku Baduy Dalam ini, stamina harus fit dan ada baiknya fisik memang dipersiapkan jauh-jauh hari. Karena ini perjalanan bak Ninja Hattori: "mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman bertualang."

Namun tentu saja pemandangannya luar biasa indah, di kiri kanan lembah, sungai dan ngarai menjadi hiburan tersendiri yang bikin kita tetap semangat. Saat mencapai Desa Cibeo, ditandai dengan adanya deretan lumbung-lumbung padi yang berjajar rapi dan cantik, hari sudah mulai gelap. Kami beristirahat di rumah orantuanya Agus, bernama Pak Asmin dan Ibu Sarah. Ini keluarga asli Baduy Dalam, namun sudah bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Rumah Suku Baduy Dalam terbuat dari bambu dan kayu. Di semua struktur yang dibangun, baik rumah, jembatan, saung maupun lumbung tidak menggunakan paku, hanya tali dari ijuk atau sabut kelapa dan pasak. Mereka juga tidak melubangi tanah, jadi tiang rumah tidak menembus tanah, tapi dialas lagi dengan lempengan batu. Mirip sistem knock down, gampang dibongkar pasang namun tetap kokoh. Rombongan kami 14 orang dan rumah keluarga Pak Asmin cukup besar untuk menampung kami semua.


Nah, karena orang Baduy Dalam menolak teknologi, di sini waktu seakan berhenti. Kita serasa hidup di abad 17, tidak ada kendaraan, tidak ada listrik, tidak ada barang elektronik. Mirip dengan suku Amish di Amerika, penggunaan teknologi merupakan pelanggaran berat dengan resiko diusir dari pemukiman. Jadi sebelum masuk ke perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam kita sudah diwanti-wanti untuk tidak mengeluarkan handphone dan kamera dan barang elektronik lain, untuk menghormati adat istiadat dan pilihan hidup orang Baduy Dalam.

Desa Cibeo sendiri merupakan desa yang bersih dan teratur, kehidupan penduduknya sangat erat dengan alam, mereka berusaha untuk tidak mengotori bumi, menjaga agar tanah dan air tidak tercemar. Jadi penggunaan detergen, sabun mandi, pasta gigi dilarang, jadi kami mandi di sungai yang jernih secukupnya tanpa sabun dan bahan kimia. Walaupun mereka tidak memakai sabun, tidak ada yang bau badan, kulit mereka bersih dan terawat, posturnya langsing dan tegap, sama sekali tidak ada yang kegemukan, semua langsing-langsing. Ini yang bikin saya ngiri. Pemukiman Suku Baduy Dalam terdiri atas 3 desa utama: Desa Cibeo tempat kami berkunjung, Desa Cikeusik dan Desa Cikertawana.

Sampah tidak boleh menyentuh tanah, agar racun dari plastik dan bahan kimia tidak merembes ke dalam tanah. Mereka menyediakan tempat sampah dari bambu dengan posisi cukup tinggi dengan permukaan tanah. Dalam bercocok tanam, penggunaan pupuk tidak diperbolehkan, sehingga kita yakin 100% bahwa hasil bumi dari Kampung Baduy Dalam merupakan produk yang 100% organik.

Semua rumah bentuk dan besarnya sama, jadi kita tidak bisa mengukur kekayaan di sana, jadi tidak ada tetangga sirik dan lain-lain. Kepemilikan tanah tidak ada, semua berhak dan bebas mengolah ladang dan sawah kering, yang di sana disebut huma. Ini seperti masyarakat sosialis, semua orang sama kaya atau sama miskin, selalu bergotong royong dan hidup dalam kesederhanaan.

Secara adat, mereka tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan apapun kalau bepergian, dan tidak menggunakan alas kaki. Jadi kalau ada keperluan misalnya mengunjungi kerabat di Jakarta atau di tempat lain, mereka akan pergi berjalan kaki tanpa alas kaki menempuh ratusan kilometer, bahkan sampai ke Bandung. Bu Sarah bercerita, kakak laki-lakinya pernah ke Bandung dan karena kelelahan akhirnya menumpang kendaraan. Pada saat ituw, kepala suku Baduy yang disebut Pu'un langsung mendapat penglihatan soal pelanggaran tersebut, dan berhari-hari kemudian ketika kakaknya pulang ke desa, dia langsung diusir dari pemukiman.

Pu'un ini adalah orang yang memiliki kemampuan luar biasa, Tugasnya menentukan masa tanam dan panen, memutuskan hukum adat bagi yang melanggar, namun juga mengobati yang sakit. Pu'un jugalah yang menentukan siapa-siapa yang melakukan pelanggaran berat untuk kemudian diusir.

Orang-orang yang terusir inilah yang nantinya disebut Suku Baduy Luar, ditandai dengan ikat kepala biru. Orang-orang Suku Baduy Dalam memakai ikat kepala putih. Mereka masih berinteraksi satu sama lain karena masih ada ikatan kekerabatan, bahkan hampir setiap hari juga orang Suku Baduy Dalam mendatangi Desa Ciboleger untuk menemui dan memandu rombongan pendatang seperti kami. Berbeda dengan Suku Baduy Dalam, orang Suku Baduy Luar lebih terbuka dan mulai tidak menolak teknologi, karena itulah penggunaan kamera dan handphone di pemukiman Baduy Luar bisa dilakukan.

Peralatan kebanyakan terbuat dari bambu dan kayu, seng dan tanah liat. Logam dipakai sebagai senjata, sejenis keris atau badik. Jadi kita minum dari gelas bambu, makan makanan yang dimasak di tungku tanah liat dengan kayu bakar. Tuan rumah memasakkan ayam yang merupakan makanan mewah di sana untuk kami semua, dengan sayur kol dan wortel yang direbus, nasi dan sambal. Sederhana namun enak karena dimasak menggunakan kayu bakar.

Saat malam semuanya gelap gulita, tidak ada penerangan yang cukup, hanya lilin dan obor. Sebagai tamu, kami diperkenankan menggunakan senter terutama untuk ke sungai. Senternya harus diarahkan ke tanah, tidak boleh ke depan karena takut membuat silau penduduk asli yang terbiasa dengan gelapnya malam. Sukurnya langit bersinar cerah tanpa awan, dan bintang-bintang terlihat jelas, bahkan samar-samar kami bisa melihat sebentuk sabuk Bimasakti, juga beberapa bintang jatuh. Duduk-duduk di teras rumah, kami didekati beberapa kunang-kunang. Kapan terakhir kali kita melihat kunang-kunang? Sudah lama sekali, itupun waktu saya masih kecil.


Makan malamnya ibarat candle light dinner, karena cuma diterangi lilin. Beberapa teman menghidupkan senter dengan hati-hati agar tidak terlalu terang. Setelah makan malam kami duduk melingkar di dalam rumah, berbincang-bincang dengan Pak Asmin dan Bu Sarah. Beberapa pengetahuan yang kami dapatkan tentang Suku Baduy saat berbincang-bincang tersebut antara lain:


  • Cita-cita yang sederhana. Orangtua suku Baduy Dalam tidak memiliki pengharapan muluk bagi anak-anaknya, mereka hanya ingin anaknya bisa "membantu orangtua di ladang."
  • Kebahagiaan yang sederhana. Tidak banyak aktifitas dan hiburan di malam hari karena keterbatasan cahaya. Ada alat musik kecapi untuk menghibur mereka, dan dengan itu mereka sudah bahagia dan terhibur.
  • Memanfaatkan alam untuk kehidupan sehari-hari. Gelas, alas makan, dan tempat air terbuat dari bambu. Tali dibuat dari ijuk, dan mereka memintal dan menenun sendiri untuk pakaian mereka. Para wanitanya menggunakan baju putih dan laki-lakinya putih dan hitam, semua dengan ikat kepala putih.
  • Perjodohan. Seorang gadis mulai dari 14 tahun sudah dijodohkan oleh orangtua mereka. Jadi Si Agus atau Sarid yang ganteng sudah dijodohkan. Pernikahan paling awal adalah di usia 16 tahun. Tidak ada perceraian, karena setelah menikah itu hingga maut memisahkan, "till dead do as apart."
  • Warga Baduy Dalam menjalankan tradisi Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para pengunjung dilarang masuk ke Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya pengunjung hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar namun tidak diperbolehkan menginap.
  • Ayam merupakan makanan mewah. Walaupun saya melihat banyak ayam berkeliaran, Suku Baduy hanya makan ayam sebulan sekali. Jadi saat kami disuguhi ayam untuk makan malam, percayalah, itu adalah makanan termewah yang bisa kami dapat.
  • Gemar bergotong royong. Pak Asmin bercerita, karena kehidupan mereka termasuk nomaden, berpindah-pindah, mereka harus bergotong royong memindahkan atau membangun rumah. Dia bercerita bahwa 30 rumah dikerjakan hanya dalam waktu 3 hari secara bergotong royong.
  • Kekayaan tidak dilihat dari bentuk rumah. Tidak seperti orang yang tinggal di kota pada umumnya yang memiliki rumah besar selalu identik dengan orang kaya, berpangkat tinggi, dan dipandang banyak orang. Lain halnya dengan Suku Baduy Dalam yang bentuk rumahnya hampir serupa satu sama lainnya. Mungkin, jika ini bisa dianggap ukuran, yang membedakan status kekayaan mereka adalah tembikar yang dibuat dari kuningan yang disimpan di dalam rumah. Semakin banyak tembikar yang disimpan, menandakan status keluarga tersebut semakin tinggi dan dipandang orang.
  • Tidak ada kriminalitas. Waktu ditanya apa hukuman adat apa yang dibisa ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat kriminal atau kejahatan, seperti mencuri, merampok, perkosa, pembunuhan, Bu Sarah menegaskan tidak pernah ada kejadian seperti itu. 
  • Ke mana-mana berjalan kaki. Jika mereka mengunjungi kerabat ataupun untuk barter ataupun menjual hasil kerajinan penduduk Baduy Dalam, mereka akan berjalan kaki tanpa alas kaki ke mana-mana, termasuk ke Jakarta, Bandung, Bogor dan Bekasi. Mereka tidak bisa keluar pulau Jawa karena penggunaan kapal tidak dibenarkan.
  • Kepercayaan yang mereka anut adalah Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam.
  • Mereka tidak bersekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat istiadat mereka.
  • Pintu rumah harus menghadap ke Utara atau Selatan, bukan Timur atau Barat, kecuali rumah sang Pu'un.
  • Moto hidup mereka: "Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung."
    (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung), yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tidak merubah kontur tanah, rumah tidak menusuk bumi, dan perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Sebelumnya saya mendapat kesan bahwa mereka adalah suku yang menyeramkan, yang gampang tersinggung dankalau kita pergi ke sana akan beresiko dengan kemungkinan kita tidak akan bisa kembali ke tempat asal kita. Ternyata mereka sangat ramah, bisa bercanda, dan sebagian kecil bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Orang luar tidak akan pernah menjadi bagian dari suku Baduy Dalam, baik melalui pernikahan ataupun pengangkatan. Dan kita cuma diijinkan untuk menginap semalam di sana,

Saya ingin membagikan tips buat teman-teman yang ingin ke sana:
  1. Persiapkan fisik, karena medannya tidak gampang, dan butuh antara 4 hingga 5 jam berjalan kaki. Pulangnya juga sama.
  2. Peralatan. Bawa sepatu gunung yang nyaman dengan kaos kaki tebal, karena tanjakan dan turunan yang terjal dan licin. Juga jaket karena malam di atas jam 10 sangat dingin. Bawa juga senter dan kantung plastik. 
  3. Bawa oleh-oleh. Ini gesture yang baik untuk menghargai tuan rumah. Saya sendiri membawa dua bungkus isi 5 Indomie aneka rasa dalam kantung kain cantik edisi Asian Games, dan saya bercerita tentang adanya event Asian Games kepada mereka.
  4. Taati dan hormati aturan setempat. Tidak dibenarkan penggunaan barang elektronik seperti handphone, kamera, radio, alat musik elektronik dan sebagainya. Tidak boleh menggunakan sabun, pasta gigi dan detergen. Pelanggaran terhadap aturan ini, satu rombongan bisa diusir keluar saat itu juga.
  5. Tidak meninggalkan sampah. Bawa kantung plastik untuk membawa pulang sampah-sampah kita sendiri. Sampah ini bisa dibuang di tempat sampah pada saat kembali ke Rangkasbitung ataupun desa luar terdekat.

Nah, untuk menjawab rasa ingin tahu apakah ada relevansinya 73 tahun kemerdekaan Indonesia dengan kehidupan sehari-hari mereka, secara umum tidak ada karena mereka sendiri memang menolak teknologi. Menurut Bu Sarah sudah beberapa kali utusan pemerintah datang untuk menawarkan listrik tetapi selalu ditolak. Namun secara umum mereka mengakui adanya pemerintahan nasional yang dipimpin oleh Presiden RI. Pu'un dan tetua adat Baduy Dalam pernah diundang berkunjung ke Istana Negara.

Jadi hingga saat ini Pemerintah lebih memilih tidak mengusik mereka, baik urusan pembangunan maupun agama, namun menjadikan mereka sebagai salah satu destinasi wisata yang unik, menarik dan menantang. Barter sudah mulai ditinggalkan namun masih bisa dilakukan di lingkungan mereka. Sebagian sudah tau nilai uang akibat interaksi dengan pihak luar. Saat ini mereka menggunakan uang untuk mencukupkan kebutuhan mereka, seperti membeli ikan, beras (sebagian penggunaan padi di lumbung untuk upacara), dan terkadang benang untuk dijadikan bahan pakaian.

Besoknya, setelah sarapan kami dengan berat meninggalkan desa Cibeo yang tenang, bersih, tanpa polusi, dan damai tersebut. Perjalanan kembali melewati rute yang berbeda yang berakhir di Desa Cakuem, namun tidak kalah menantangnya. Dalam perjalanan, di wilayah pemukinan Baduy Luar kami menemukan jembatan akar, yang terbuat dari dua akar pohon yang saling jalin menjalin dan diperkuat dengan ikatan bambu. Di bawahnya mengalir sungai yang jernih dan segar, tempat kami melepas lelah selama 1 jam.

Perjalanan dilanjutkan hingga kami mencapai Desa Cakuem, lalu menunggu jemputan untuk membawa kami kembali ke Kota Rangkasbitung. Dengan demikian perjalanan ini selesai. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas pengalaman dan perjalanan ini kepada semua anggota rombongan yang selama 24 jam terakhir bersama-sama menempuh perjalanan, saling menyemangati, dan saling berbagi cerita. Terima kasih buat Mas Aswin, Yoga Kitink, Egy, Tina Tampubolon, Nanda Ginting, Ryan Martin dan Meta, Ardi, Indah, Ita, Tiwi, Billy, dan tentu saja pihak Rani Journey, juga Pak Asmin dan Bu Sarah sebagai tuan rumah, Agus Sarid, juga Lidong. Mohon maaf jika ada penyebutan nama yang salah.

Berikut videonya: