16 Februari 2009

Jengkie Tapi Rindu


Gimana caranya menghilangkan bau pete? Makanlah jengkol! Pasti bau petenya bakalan hilang. Ungkapan ini menunjukkan betapa tajamnya bau jengkie (istilah keren dan mutakhir dari jengkol). Dari mana bau tersebut berasal? Penyebab bau itu sebenarnya adalah asam-asam amino yang terkandung di dalam biji jengkol. Asam amino itu didominasi oleh asam amino yang mengandung unsur Sulfur (S). Ketika terdegradasi atau terpecah-pecah menjadi komponen yang lebih kecil, asam amino itu akan menghasilkan berbagai komponen flavor yang sangat bau, karena pengaruh sulfur tersebut. Salah satu gas yang terbentuk dengan unsur itu adalah gas H2S yang terkenal sangat bau.


Jengkie yang bahasa latinnya Pithecollobium Jiringa atau Pithecollobium Labatum ini adalah jenis makanan yang notorious, tetapi juga nutritious. Dibilang notorious karena bisa bikin toilet di rumah jadi 'harum semerbak' (kalau membilasnya kurang sempurna) dan bisa membuat gempar masyarakat domestik. Di daerah yang penduduknya gemar makan jengkie, pasti selokannya bau (memang selokan mana yang harum?). Dibilang nutritious karena jengkie dinilai bisa membantu mencegah diabetes dan baik untuk jantung (wallahualam).

Terlepas dari itu semua, terus terang, saya sendiri suka juga makan jengkie, asal bukan yang mentah. Jengkie bisa membuat nafsu makan bertambah (nafsu makan saya nggak pernah kurang kok, with or without jengkie), gulai jengkie atau sambel goreng jengkie bisa ditemukan sebagai hidangan ekstra di rumah makan Padang. Nah, jangan menyebut jengkol di rumah makan Padang, apalagi jengkie, karena di situ namanya jariang!

Pernah sekali saya kena jengkie syndrom, ini istilah saya untuk kondisi yang orang Sunda bilang jengkoleun. Jengkolan, maksudnya. Tanda-tanda terkena jengkoleun biasanya muncul rasa pegal hebat di pinggang, berlanjut menjadi nyeri melilit. Sulit buang air kecil dan ketika kencing rasanya sakit bukan main bahkan kerap bercampur darah. Penderita bisa mengalami kejang-kejang karena menahan sakit luar biasa. Namun setelah beberapa jam, gejala akan hilang dengan sendirinya. Hal itu dimungkinkan sebab di dalam jengkie terdapat senyawa bernama asam jengkolat. Jika Ph darah kita netral, asam jengkolat aman-aman saja. Tapi kalau cenderung asam (pH kurang dari 7), asam jengkolat membentuk kristal tak larut. Kristal jengkolat berupa jarum-jarum halus tidak kasat mata, yang kedua ujungnya sangat tajam yang menusuk-nusuk dinding saluran kencing. Akibatnya, timbul rasa nyeri setiap kali kencing. Karena tusukan bertubi-tubi, saluran kencing akan mengerut. Bahkan bisa mengakibatkan perdarahan, sehingga air seni menjadi kemerahan bercampur darah (wah, jadi serem). Jadi jengkoleun tidak disebabkan karena banyaknya jumlah jengkie yang dikonsumsi, tetapi bergantung pada kerentanan tubuh seseorang.

Walaupun begitu, jengkie bisa mencegah banjir dan longsor. Pohon jengkie memiliki akar tunggang, dan memilik daya serap air lebih tinggi dibanding pohon lainnya. Pohon jengkie sangat efisien jika ditanam pada bukit dan lereng-lereng gunung, di samping berdiri kokoh juga dapat menyerap air serta menyimpannya dalam jangka waktu lama. Dengan demikian longsor dan banjir bisa dicegah.

Karena itulah, jengkie mesti diangkat derajatnya. Selain dijadikan balado jengkie, gulai jengkie atau rendang jengkie, mungkin perlu juga dibuat kreasi lain, misalnya diolah menjadi Pizza Jengkie, atau sejenis jengkie burger, atau jengkie fries. Atau jengkie diekspor ke Perancis dan para ahli kuliner di sana bisa mengolahnya menjadi makanan bergengsi, toh jenis keju tertentu baunya juga nggak ketulungan kan? Siapa tau Chef Remy dari film Ratatouille bisa mengolahnya menjadi makanan lezat. Atau Catherine Zeta-Jones yang jadi Executive Chef di film No Reservations bisa menjadikannya hors d'oeuvre yang disantap sebelum menikmati foie gras dan bebek peking. Bon appétit, nikmatilah jengkol yang delicious, eh notorious...

So, makan jengkie, siapa takut.

07 Februari 2009

Foto Caleg Sepanjang Jalan

Lihatlah foto para caleg itu.

Di tiang listrik, kaki jembatan, dinding ruko, dinding pos kamling, baliho, banner, di samping warung tuak, di depan warung bakso, di pangkalan ojek. Rata-rata menampilkan sosok berdasi, berjas dan berpeci, persis foto-foto yang ada di poster Kabinet Pembangunan III, IV dan V waktu saya kecil dulu. Semua tampak sama, semua tampak seragam, semua menegaskan satu hal: tampang politikus.

Memang ada satu dua yang tampil beda (sukurlah), tapi kalaupun potretnya berbeda, kata-katanya biasanya mirip, atau gayanya mirip, misalnya tinju terkepal, tangan mengatup seperti salam panjali. Tapi tetap saja semuanya menegaskan hal yang sama: tampang politikus. Setidaknya, itulah kesan yang saya tangkap.

Karena itulah, sewaktu bos Arie (yang juga jadi caleg) minta tolong saya untuk mendisain baliho miliknya, saya tegaskan agar balihonya jangan sampai tampak sama dengan yang lain, karena hal-hal yang tampak sama justru akan mudah dilupakan. Potretnya harus tampil beda, jangan menampilkan profil politikus, tapi tampilkan sosok pekerja, yang sama dan sejajar dengan rakyat kebanyakan (karena toh dia itu rakyat juga). Tidak perlu pakai jas, pakai dasi, atau berpeci. Cukup sosok yang terkesan intelek dan terpelajar, tapi juga pekerja keras. Bukan profil politikus yang kesannya cuma bisa ngomong, tapi miskin tindakan.

Sewaktu disainnya sudah jadi, dan bos Arie mengajukannya kepada pimpinan partainya, serta merta disain saya ditolak. Walau bagaimanapun, katanya, sosok caleg itu harus pakai jas, dasi dan peci.

Perubahan memang butuh waktu.

Dari sekian banyak baliho caleg yang ada di jalan, tak satupun yang gampang diingat. Justru yang tinggal berbekas di kepala saya adalah sosok Luna Maya di salah satu iklan baliho milik operator seluler.