10 Juni 2014

Melacak Jejak Peninggalan Tentara Jepang di Batam

Mengapa kawasan bisnis di Batam disebut Nagoya, tentu menimbulkan rasa penasaran di benak kita. Dari mana nama tersebut berasal? Kenapa namanya sama persis dengan nama sebuah kota besar di negeri Sakura? Siapakah yang memberi nama, karena nama atau istilah nagoya tidak ada sama sekali dalam kosa kata bahasa Melayu.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Batam bersama pulau Rempang dan Galang merupakan salah satu basis pertahanan pasukan Jepang di Kepulauan Riau dan Singapura. Mereka mendirikan markas darurat dan barak di beberapa kawasan, seperti di Nongsa, Pulau Moi Moi, Tanjung Piayu Laut, Pulau Sambu, Pulau Belakang Padang, termasuk juga di kawasan pulau-pulau di selatan, seperti Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan beberapa pulau kecil di sekitarnya.

Pada masa-masa itu, konon sebagian dari mereka menyusuri daerah perbukitan Batam di tempat yang sekarang menjadi pusat bisnis. Dan salah satu komandan pasukan Jepang itu menamakan daerah perbukitan tersebut Nagoya, sesuai dengan nama daerah asal sang komandan. Siapa persisnya nama komandan tentara Jepang yang memberi nama Nagoya tersebut, hingga sekarang masih belum diketahui. Namun kondisi Nagoya dulu dan sekarang telah banyak mengalami perubahan, beberapa bukit telah dipangkas dan berubah menjadi kompleks pertokoan, dan sebagian lagi menjadi mall.

Minggu lalu saya bersama Okta dan Ojie melakukan perjalanan touring ke sebuah kampung pesisir di Pulau Galang, yang menurut sejarah, merupakan salah satu basis pertahanan Jepang yang kuat. Tujuan kami adalah Kampung Pasir Merah, yang terletak di Sembulang, berjarak sekitar 35 kilometer dari Pulau Batam. Lokasi nya adalah setelah Jembatan ke IV dan sebelum Jembatan ke V.

Di Kampung Pasir Merah inilah kami menemukan apa yang disebut penduduk setempat sebagai Misesebo, yang letaknya tidak jauh dari jalan, dinaungi oleh rimbunnya pohon-pohon mangga. Misesebo adalah sebuah tugu peringatan yang didirikan oleh Rempang Friendship Association, yaitu sebuah organisasi sosial yang dibentuk oleh eks tentara Jepang yang dulunya bertugas di barak-barak darurat di Pulau Galang dan sekitarnya. Menurut plakat yang terdapat pada Tugu Jepang tersebut, tugu itu didirikan pada 23 Agustus 1981. Lebih lanjut, plakat tersebut menjelaskan bahwa sebanyak 112,708 tentara Jepang yang bermarkas di Pulau Rempang dan Galang dipulangkan ke negaranya antara tahun 1945 - 1946. Sebanyak 128 lagi meninggal. "Monumen ini dibangun oleh para kontributor yang namanya tercantum di sini, dengan harapan baik akan persahabatan antara Indonesia dan Jepang dan perdamaian dunia." , demikian lebih lanjut tertulis di plakat.




Pada plakat kedua, di bagian bawah, terdapat 21 foto para kontributor yang dulu setiap tahun mengunjungi Kampung Pasir Merah, sekedar untuk bernostalgia, mengenang masa-masa suram ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia ke 2, dan mereka yang tinggal di barak-barak dengan fasilitas dan sanitasi seadanya, menunggu proses pemulangan ke negera mereka.

Tak jauh dari Misesebo, kami menemukan sebuah warung, dan sambil membeli minuman, kami pun bertanya-tanya kepada pemilik warung, seorang mantan guru bernama Bu Rosni. Menurut Bu Rosni, hampir setiap tahun Kampung Pasir Merah didatangi oleh orang-orang Jepang. Mereka datang bersama kerabat-kerabatnya, dan biasanya langsung berkunjung ke rumah Pak Amin Bujur. Rumah Pak Amin Bujur, yang oleh penduduk setempat biasa dipanggil Pak Long ini memang terletak bersebelahan dengan Misesebo. Menurut Bu Rosni, Pak Long banyak memiliki informasi mengenai keberadaan tentara Jepang di Pulau Rempang dan Galang menjelang berakhirnya Perang Dunia ke 2. Ketika kami menyampaikan niat untuk mengunjungi Pak Long, Bu Rosni mengatakan bahwa Pak Long hanya bisa ditemui hari Jumat, karena pada hari lainnya beliau akan ada berada di Batam, dan hanya pulang setiap hari Jumat ke Kampung Pasir Merah.


Karena tidak bisa mengunjungi Pak Long, kamipun bertanya-tanya lebih lanjut pada Bu Rosni. Informasi yang kami dapat adalah bahwa dulu memang ada barak-barak tentara Jepang tak jauh dari pantai, tapi sekarang sudah hancur. Namun petunjuk mengenai keberadaan mereka bisa dilihat dari adanya dua buah sumur, yang sekarang sudah tertutup belukar. Penduduk setempat menamakannya perigi buta. Keadannya sangat tidak terawat, dan nyaris tidak bisa lagi disebut sebagai perigi, namun menurut sejarah, kedua perigi tersebut dibuat oleh tentara Jepang sebagai bagian dari logistik mereka.

Jejak lain yang masih bisa dilihat dari bekas markas tentara Jepang adalah adanya jalan tanah setapak yang lebarnya lebih kurang 3 meter. Jalan itu masih digunakan penduduk hingga kini, sebagian diaspal dan sebagian diberi paving block. Jalan peninggalan Jepang tersebut melintasi beberapa kampung, mulai dari Kampung Camping, Kampung Pasir Merah, Kampung Hulu, Kampung Sungai Raya, Tanjung Banun hingga Kuala Buluh. Posisinya melingkar dan membentang hingga ratusan hektar, mengelilingi hampir seluruh wilayah Sembulang.




Dengan adanya jalan ini, bisa dipastikan bahwa barak mereka dulunya tersebar di beberapa titik. Dan mereka juga membangun dermaga kecil, yang bernama Takara port, yang lokasinya di Sungai Lujin. Dulu ada bangkai dua kapal Jepang di situ, yang sekarang, menurut Bu Rosni, tidak ada lagi sisanya karena dijarah oleh beberapa warga dari pulau lain.

Banyak kisah menarik yang bisa digali lebih lanjut, antara lain misteri di mana tepatnya lokasi kuburan tentara Jepang yang 128 orang itu, yang menurut penduduk setempat meninggal karena luka, penyakit kolera, dan malaria. Mayat-mayat mereka konon tidak dipulangkan ke negaranya. Juga kemungkinan adanya bunker, karena menurut riset, kebanyakan tentara Jepang yang ditempatkan di pulau-pulau mulai dari lautan Pasifik hingga Asia Tenggara, mereka menggali lubang untuk menyimpan ransum dan logistik, juga amunisi. Lubang-lubang ini terkadang cukup besar untuk didiami. Salah satu desas-desus yang beredar di antara warga setempat adalah adanya bunker Jepang di bukit Kandap, yang bentuknya seperti gunung. Bukit ini terlihat jelas pada saat kami berkunjung ke Pulau Labun untuk snorkeling dan menyelam.

Lebih lanjut, jika para eks tentara Jepang tersebut datang ke Kampung Pasir Merah untuk bernostalgia, biasanya mereka mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti Pantai Serangoon, Pantai Niki Sakai, juga Pulau Semukit. Nama-nama tempat yang disebut ini asing bagi kami, dan menimbulkan rasa penasaran. Pada saat ditanya di mana lokasi pantai-pantai tersebut, menurut Bu Rosni tidak jauh dari jalan masuk ke kawasan Sembulang. Menurut Bu Rosni, di Pulau Semokit kita bisa menemukan air terjun. Nah lho.

Jadi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melacak jejak peninggalan tentara Jepang. Target berikutnya adalah Pantai Serangoon. Namun sebelum itu, tak jauh dari Misesebo kami menemukan sebuah vihara yang terletak di atas bukit. Ternyata pemandangan dari vihara itu indah sekali, di mana pantai dan laut kelihatan dengan jelas.

Awalnya perjalanan menuju Pantai Serangoon sangatlah mudah, namun makin lama, jalan yang dilalui makin terjal dan berbatu, serta banyak lobang di sana-sini. Melintasi bukit-bukit yang curam, dan sempat kehilangan arah sebentar, kami akhirnya menemukan Pantai Serangoon, yang ternyata sangat indah. Pantai tersebut terletak di bawah bukit, di mana dari bukit tersebut pemandangannya luar biasa, dengan angin semilir yang seketika membuat lelah, lapar, dan dahaga menjadi hilang.



Pantai Serangoon tidak bisa diakses langsung dengan kendaraan roda empat. Untung kami mengendarai dua buah moge yang tahan banting, yaitu Yamaha Vixion 2009 yang telah dimodifikasi, dan Yamaha Byson 2014, dengan ban yang sesuai. Sebelumnya di perjalanan kami menemukan pengendara Kawasaki Ninja yang berbalik arah karena tidak sanggup melewati perbukitan terjal yang berbatu-batu dan sangat licin.




Di lereng bukit arah ke pantai, kami menemukan sebuah pendopo yang dibangun permanen. Kami pun beristirahat di pendopo tersebut, dan makan siang. Setelah makan siang, kantukpun menyerang, ditambah dengan angin semilir yang bertiup dari arah laut. Pemandangannya yang indah memaksa saya untuk tidak menyerah pada kantuk. Lalu sayapun turun menyusuri lereng bukit yang lumayan curam, dan berhasil ke pantai. Saya menyusuri Pantai Serangoon yang panjang dan melingkar, hingga ke kawasan yang berawa-rawa. Saya menemukan beberapa pondok rusak, joran kayu yang patah,  juga kaleng-kaleng berkarat yang kemungkinan besar dulunya adalah ransum eks tentara Jepang. Setelah puas menyusuri pantai, sayapun kembali ke arah pendopo. 

Tadinya kami bermaksud melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi pantai Niki Sakai dan juga Pulau Semokit. Namun berhubung hari sudah sore, kami memutuskan untuk pulang ke Batam. Begitu sampai di kediaman Okta, saya melihat odometer yang tadinya saya reset ke angka nol. Ternyata pada perjalanan ini, kami telah menempuh jarak 118 kilometer. Hmmm., not bad.

Kami akan kembali untuk mencari lokasi Pulau Semukit yang katanya ada air terjunnya, dan juga Pantai Niki Sakai.

Video mengenai touring ini bisa dilihat di sini: http://www.youtube.com/watch?v=UosmOyaVa5U