16 November 2007

Rusli Zainal & Rainbow Warrior & Panthera Tigris


Rusli Zainal mungkin tidak menyangka, kemungkinan besar dia ikut mengantarkan propinsi Riau sebagai penyumbang polusi karbon terbesar di dunia. Selain setiap tahun menyumbang bencana jerebu (haze) ke Malaysia dan Singapura, setengah dari luas tanah di Riau akan dibabat habis untuk rencana pengembangan kelapa sawit 3 juta hektar, yang tentu saja akan membuat Riau akan kehilangan paru-parunya. Tapi tentu saja, ini bukan hal penting bagi Rusli Zainal yang baru saja mendapatkan penghargaan untuk Ketahanan Pangan, dengan membuka ladang padi seluasnya. Agaknya istilah Save The Planet tidak ada dalam kamus gubernur asal Tembilahan itu.


Kapal legendaris dari organisasi penyelamat lingkungan Greenpeace, Rainbow Warrior berlayar ke Dumai, dan menghalangi jalan keluar bagi tanker raksasa MT Westama Monrovia, yang mengangkut 6 ribuan ton CPO (crude palm oil) untuk dikirim ke India. Mereka memasang spanduk besar bertuliskan "Palm Oil Kill Forrest and Climate". Membabat, mengeringkan dan membakar lahan gambut di Riau menyebabkan terlepasnya sejumlah besar karbon ke udara, dan menyebabkan perubahan iklim dan ekosistem besar-besaran. Demi keuntungan perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Nagamas, Sinar Mas, Wilmar Group, hutan dirusak secara membabi buta dan tanpa perhitungan, bentuk keserakahan inilah yang antara lain membuat Riau selalu dilanda banjir besar, minimal dua kali dalam setahun. Tentu saja sang Gubernur, pengusaha dan siapapun yang menarik keuntungan tak peduli, wong mereka tak pernah merasakan betapa sengsaranya kalau banjir. Ada yang meninggal, penyakit merajalela, anak-anak tak bisa sekolah, petani gagal panen, dan masyarakat kecil yang tadinya hidupnya susah jadi bertambah-tambah susahnya. Habitat harimau menyempit, tak heran sang raja hutan merambah ke perkampungan. Kalau harimau menyerang manusia, jangan dipandang bahwa hewan itu mengganggu manusia. Manusia lah yang sebenarnya mengganggu hidup dan kehidupan harimau, dengan jalan mempersempit habitatnya.


Saya membayangkan, alangkah eloknya kalau yang dimangsa harimau itu bukan rakyat kecil, tapi pembesar-pembesar di Pekanbaru, termasuk juga para cukong ilegal logging, pejabat-pejabat korup di dinas kehutanan dan pemerintahan. Jangan pula hewan ini nanti dibunuh, problem solving yang biasa dilakukan oleh pejabat kaya yang otaknya cuma seupil, harimau tidak bersalah, dan kalaupun ada pihak yang sempat bilang harimau bersalah (saking pinternya pihak berwenang sekarang), silakan bentuk pengadilan harimau. Tapi sepertinya tikus-tikus bukanlah lawan sepadan bagi harimau.


Jadi, jika Greenpeace sampai merasa perlu mengirimkan Rainbow Warrior berlayar ke Riau, kampung halaman saya, ini artinya keadaan sesungguhnya sungguh gawat. Greenpeace memiliki ahli-ahli lingkungan yang tersebar di seluruh dunia. Kedatangan mereka ke perairan Dumai berarti satu hal: sudah lama Greenpeace memantau daerah ini, dan hanya berdasarkan referensi dari ahli lingkungan lah tindakan-tindakan diambil.

Saya ingat film dokumenter Al Gore, yang meraih Oscar sebagai film dokumenter terbaik tahun 2007 ini, yang berjudul Inconvenient Truth, sebuah kenyataan menyakitkan bahwa manusia sedang merusak planet tempat hidup mereka sendiri, tanpa memikirkan anak-anak dan cucu di kemudian hari, yang akan hidup di planet yang gersang seperti Mars. Semoga sang gubernur sempat membeli DVD nya dan menonton film dokumenter ini di tengah waktu luangnya yang sempit itu.

13 November 2007

The Hunt For Mus Musculus (The Murder of A Mouse)

Cukup sudah, demikian pikir istri saya. Tikus di rumah tidak dapat ditolerir lagi. Hewan dengan nama latin mus musculus ini (tidak ada hubungannya dengan Mus Mujiono maupun Mus Mulyadi) sudah lama mengganggu aktifitas di dalam rumah. Sewaktu sedang asik menonton tv, si tikus dengan cueknya melintas, seolah-olah rumah ini milik dia. Sudah di-hush berkali-kali, tikus itu melesat ke arah dapur, lalu dari dapur melesat lagi ke depan.

Perburuanpun dimulai.


Istri saya memegang raket badminton yang sudah penyok, sementara saya disuruh memegang sapu. Tikus itu melintas lewat kaki saya, saya pun terlonjak kaget (Sumpah, saya geli n jijik dengan tikus). Istri sayapun mengejar dengan bernafsu, dan ciyaaaaaatttt, dia mengayunkan raketnya. Meleset! Tikus itu ngelak dan melesat dan lari ke kamar.

Mungkin karena sudah kepalang muak, istri saya menyusul ke kamar, dan minta saya mengeluarkan barang-barang dari kamar ke koridor. Pintu kamarpun dikunci dari dalam oleh istri saya.
Ide saya adalah mengusir tikus itu keluar rumah. Tapi itu bukan ide bagus menurut istri saya. Dengan dia mengunci pintu kamar dari dalam, tahulah saya. Dia sedang merencanakan pembunuhan. Tikus itu sudah divonis mati, tidak ada jalan keluar buat hewan pengerat yang malang itu. Maka, setelah istri saya menjebak tikus tersebut di sudut tempat tidur, tikus itu lari ke arah saya. Sayapun mengayunkan sapu, tapi terlambat sepersekian detik, tikus itu lalu melesat kembali ke arah istri saya, yang dengan sigap mengayunkan raket dan buk! Sang tikus terkapar dengan kaki menghadap ke atas.

Tibalah bagian yang paling saya benci. Sayalah yang harus mengeluarkan bangkai tikus tersebut dari kamar, dan membersihkan lantai.
Whew!

08 November 2007

There's Something About Mr. Brooks

Mr. Earl Brooks (Kevin Costner) pria yang sangat sukses, di usianya yang melebihi parobaya ini, dia diangkat Asosiasi Pengusaha setempat sebagai Man of the Year. Perusahaan packaging nya maju pesat, dikaruniai istri yang cantik dan seorang putri, Mr. Brooks tidak punya satu alasanpun untuk menyesali hidupnya.

Kecuali satu hal.

Pria ini ternyata punya kepribadian terbelah (splitted personality), mirip dengan Dr. Jekyll dan Mr. Hyde. Ada karakter bernama Marshall (William Hurt) yang selalu diajaknya bertukar pikiran, tetapi Marshall ini sebenarnya bentuk kepribadian Mr. Brooks yang lain. Jadi jika suatu malam Mr. Earl Brooks meninggalkan rumahnya, berjaket dan celana hitam, membawa pistol berperedam yang dibungkus plastik, itu karena selain dia adalah pengusaha sukses, Mr. Brooks sangat menikmati membunuh orang, dengan tangannya sendiri, ditemani oleh karakter belahannya, Marshall. Pembunuhannya selalu dilakukan dengan rapi, karena Mr. Brooks dengan cermat menghapuskan semua jejak yang ditinggalkan, hingga polisi selalu dibuat bingung dan menjuluki kasus ini sebagai Kasus Pembunuhan Tanpa Sidik Jari.

Adalah Detektif Tracy Atwood, yang diperankan dengan bagus sekali oleh Demi Moore (wow!), yang mati-matian memecahkan kasus ini, dibarengi masalah tuntutan jutaan dolar dari mantan suaminya, dan hidupnya yang terancam oleh pembunuh maniak yang pernah ditangkapnya, Meeks.

Mr. Brooks sendiri, pada saat melakukan pembunuhan (yang dimaksudkan sebagai pembunuhan terakhir yang dilakukannya), secara tak sengaja dipotret oleh juru potret amatir (Dane Cook) yang mengaku bernama Mr. Smith. Mr. Smith mencetak foto-foto tersebut dan memberikannya kepada Mr. Brooks. Yang membuat kisah ini tambah menarik adalah, bukan uang yang diinginkan Mr. Smith, tapi ia ingin ikut serta dalam pembunuhan berikutnya. Mr. Smith ingin diajak dan merasakan sensasi membunuh, kalau tidak, foto-foto tersebut akan dikirim ke polisi.

Inilah film cerdas lain dengan genre thriller yang sudah lama absen di Hollywood. Kevin Costner makin banyak minyaknya, makin menawan aktingnya. Demi Moore (wow, lagi) aduuuuuh, sangat menyatu dengan perannya. Jika film-film seperti Murder by Numbers, Silence of the Lambs, The Last Supper merupakan genre yang disukai, maka film ini akan menambah daftar itu.

05 November 2007

The Gunpowder Plot

"...Remember, remember, the fifth of November..."



Hari ini, tanggal 5 November, 402 tahun yang lalu, seseorang yang mengaku bernama John Johnson ditan
gkap di bawah tanah gedung Parlemen Inggris. Bersamanya ditemukan sejumlah besar tong yang berisi mesiu. Setelah melalui interogasi dan siksaan yang panjang, orang tersebut akhirnya mengaku bahwa dia adalah Guy Fawkes. Guy Fawkes adalah satu dari 13 orang yang berencana untuk meledakkan gedung Parlemen, Raja Inggris dan para staff parlemen, untuk selanjutnya menciptakan revolusi di Inggris. Tentu saja usahanya tersebut gagal.Gedung Parlemen Inggris baru meledak setahun yang lalu dalam film V for Vendetta, yang dibintangi oleh Natalie Portman dan Hugo Weaving. Dalam film yang diangkat dari graphic novel Alan Moore dan didasarkan atas aktivitas Guy Fawkes ini, Gedung Parlemen Inggris akhirnya meledak dan revolusi rakyat besar-besaran terjadi di Inggris.

"...And remember, remember..do you remember twenty seventh of July.."