26 Agustus 2010

Boya

Pada dini hari yang dingin di pertengahan September 1947, sebuah kapal meninggalkan pelabuhan kayu kecil di Tanjung Lajau. Hanya ada 13 orang di atas kapal kecil itu, dengan persenjataan minim, ransum terbatas, dan sebuah lampu minyak yang sengaja dipadamkan. Mesinnya sengaja dimatikan, mereka mengayuh hingga matahari merah mulai menampakkan dirinya, agar suara mesin tidak terdengar oleh patroli Belanda.

Masa itu serba tak jelas. Penduduk yakin sekali bahwa Jepang memang sudah pergi, dan negara baru yang bernama Indonesia memang sudah merdeka. Tapi mengapa di perairan Tanjung Lajau, Sungai Bela, Concong Luar, hingga Mandah, Guntung dan Bekawan masih banyak kapal Belanda berpatroli. Terkadang mereka menembaki rumah penduduk di tepi pantai. Teror itu berlangsung berbulan-bulan, sehingga penduduk takut keluar malam. Tak ada yang berani melakukan kenduri. Nelayan jarang mencari ikan karena takut bertemu Belanda. Aktivitas lumpuh. Hanya para 'jagau' yang berani keluar dengan parang di tangan. Dan para 'jagau' tidak banyak jumlahnya.

Mengapa bule-bule itu kembali? Siapa yang akan membela kami? Siapa yang akan menghentikan teror tak berkesudahan ini? 

Suatu malam, di rumah Haji Julak di pinggiran Sei. Indragiri, berlabuhlah kapal kecil. Para penumpang kapal disambut hangat, disuruh istirahat sebentar, diberi makanan dan perbekalan. Mereka berangkat lagi pada dini hari.

Salah satu dari 13 penumpang kapal tersebut bernama Mohammad Boya. Ia bekas Heiho, prajurit yang dilatih oleh Jepang. Bersama dengan prajurit-prajurit bekas Heiho, Gyugun dan Kaigun lain, ia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Tembilahan yang terdiri atas 29 orang. 

Maka, pada subuh yang dingin tersebut, kapalpun berlayar. Misinya cuma satu: untuk melawan tindakan provokasi yang dilakukan Belanda terhadap penduduk di sekitar Sungai Indragiri.

Kapal Mohd Boya sering berhenti ke pinggir sebentar untuk bertanya kepada penduduk, yang dengan senang hati memberi mereka petunjuk mengenai posisi Belanda.

Patroli Belanda terlihat terakhir kali di Perigiraja. Merekapun menyusul ke sana. Belanda sudah pergi dari situ, tapi mereka disambut penduduk setempat. Salah seorang penduduk melaporkan bahwa mereka melihat kapal Belanda ke arah perairan Tanjung Datuk.

Setelah bermalam, mereka melanjutkan perjalanan ke arah Tanjung Datuk. Mereka ternyata kemudian dihadang oleh kapal Belanda. Dalam Jarak sekitar 200 meter terjadi tembak-menembak. Karena peralatan Belanda jauh lebih lengkap dan kuat, pertempuran berlangsung heroik namun tidak seimbang.

Kapal Pasukan Boya tertembak dan terbakar. Komandan Boya masih tertolong dan pasukan sebanyak lima orang diselamatkan oleh penduduk setempat. Pertempuran laut yang pecah selama dua jam itu menewaskan lima prajurit pasukan Boya.

Akankah kita berani maju, padahal kita tahu bekal kita tak cukup, persenjataan kita kurang, kapal kita kuno dan lambat. Akankah kita masih mau tetap pergi walaupun kita tahu bahwa musuh jauh lebih unggul dalam segala hal. Maukah kita mempertaruhkan nyawa demi membela penduduk dan orang-orang yang tidak kita kenal?

Mungkin pasukan Mohd Boya tak pernah mempedulikan variabel-variabel negatif tersebut. Mereka tahu bahwa mereka kalah jumlah, tapi mereka tetap pergi mempertaruhkan nyawa, berlayar tengah malam di sungai yang dingin, sementara yang lain masih meringkuk di tempat tidur. 

Bagi Boya dan kawan-kawan, alangkah absurdnya rasa segan itu, bahwa ia tak hendak mundur bukan karena ia ingin agar namanya kelak menjadi nama jalan. Ia tak hendak mundur bukan karena ia ingin agar namanya dikenang. Ia tak hendak mundur bukan karena prestise. Ia tak sempat memikirkan hal-hal yang berbau public relation, "citra" dan "jaim".

Bahkan bagi generasi muda masa kini, Boya hampir terlupakan. Perjuangannya terlupakan. Hanya sedikit yang tahu bahwa M. Boya bukanlah sekedar nama jalan.

Ia pejuang, bukan politisi. Salah satu tugas politisi adalah memberi nama jalan dengan nama pahlawan.  Dan tugas lain untuk para politisi yang duduk di kursi-kursi empuk di Pekanbaru itu adalah memastikan bahwa M. Boya diangkat jadi pahlawan nasional.

Selamat ulangtahun Indonesia, kita belum merdeka. (Batam, 17 Agustus 2010).
----------------------------------------------
Baca tulisan lain di www.ferdy.mirrorz.com