23 September 2010

Laila & Majnun

“Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu. Katakan kepadaku, kekasihku, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?"

Demikian isi surat Laila kepada kekasihnya, Majnun, begitu ia menikah dengan Ibnu Salam. Kisah Laila dan Majnun adalah kisah cinta yang mengharu biru, lebih dalam daripada Romeo & Juliet-nya Shakespeare, lebih absurd daripada kisah cinta Nyi Dayang Sumbi dengan Sangkuriang, dan lebih membara daripada kisah kasih Markus Antonius dengan Cleopatra. Saya merasa beruntung dikirimi bukunya oleh seorang sahabat yang baik dari Jakarta, empat tahun yang lalu.

Hikayat Laila Majnun ditulis oleh seorang sufi sekaligus penyair, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizami. Banyak yang menganggap bahwa kisah Laila dan Majnun ini merupakan simbol atau perlambang antara hubungan manusia dengan sang Khalik, yang berkisah tentang kerinduan dan cinta manusia kepada Tuhannya. Bahwa manusia sangat membutuhkan keberadaanNya, bahwa manusia tak bisa hidup tanpa merasakan kehadiranNya.

Bagi yang pernah mendengar akan Hikayat Laila & Majenun, tapi belum mengetahui detil kisahnya, berikut saya sarikan ceritanya. Sedapat mungkin saya usahakan agar keindahannya masih bisa ditangkap. Walaupun saya ringkas tetaplah kisahnya agak panjang, jadi siapkan minuman dan tisu, karena kisahnya, seperti yang saya bilang, cukup mengharubiru, membuat kita "remuk, hilang bentuk, lebur dalam api cinta membara yang tak kunjung padam".

Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt  memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”

Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.

Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.

Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila- ”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.

Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.

Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.

Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan.

17 September 2010

Krakatau: Kesaksian

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

"Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es."

"Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa."

"Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: 'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer..."

"Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya."

"Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng Frederik Hendrik, (sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!"

Batavia Jadi Dingin
"Sementara itu 'penembakan' berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: 'Ada gunung pecah,' kata mereka."

"Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya."

"Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas

12 September 2010

Pembunuhan Atas Mus Musculus

Saya sudah melihat tanda-tandanya sejak tiga atau empat hari yang lalu. Istri saya sering terlihat sedang tercenung, seolah-olah memikirkan sesuatu. Atau sedang merencanakan sesuatu. Tadinya saya ingin bertanya apa yang ada di dalam kepalanya saat ini. Tapi melihat keseriusan wajahnya, sayapun urung bertanya. Tak selang berapa lama, saya jadi tahu apa yang dipikirkannya. Istri saya tercinta sedang merencanakan sebuah pembunuhan.

Saya jadi tahu dengan mengingat-ingat permasalahan akhir-akhir ini. Apalagi putri saya yang bungsu, Ana, pernah berbisik pada saya mengatakan, "Mama mau membunuh Jerry, Pa. Katanya Mama sudah tidak tahan lagi." Ketiga anak saya sebenarnya menentang rencana tersebut, tapi mereka tidak berani membantah mamanya. Dan, sayapun mau tidak mau harus mendukung istri saya.

Istri saya ingin membunuh Mus Musculus. Makhluk tersebut tidak ada hubungannya dengan musisi Mus Mujiono, atau Mus Mulyadi. Bagi saya itu tidak masalah, karena Mus Musculus juga tidak memiliki hubungan kekerabatan apapun dengan Pak Mustapha, tetangga sebelah. Dengan demikian tidak ada alasan bagi saya untuk melarang sang istri, bahkan, saya harus membantunya melaksanakan rencananya tersebut.

Waktu itu anak-anak sedang pergi sekolah, jadi pukul 8 pagi itu tinggal saya berdua dengan istri saya. Istri saya menyiapkan tangkai sapu, dan saya memegang raket yang senarnya sudah putus-putus. Kami meletakkan nasi goreng sisa di lantai, dan menunggu. Makhluk itupun muncul. Dengan kumis melintang, wajah berbentuk segitiga, mata kecil hitam, dan ekor panjang terseret di lantai. Ana menyebutnya Jerry, atau Mickey, atau Minnie, apapun jenis kelaminnya. Dunia ilmiah mengenalnya dalam bahasa latin sebagai Mus Musculus. Kami berdua menyebutnya tikus. Dan tikus sialan itu sudah divonis mati oleh istri saya. Yah, kehidupan memang kejam, terutama bagi tikus-tikus.

Selama ini si Mus Musculus memang sering mengganggu ketenteraman dan ketertiban. Istri saya fobia terhadap cacing, ulat bulu, ulat kaki seribu dan tikus. Selera makannya bisa langsung hilang jika melihat makhluk-makhluk tersebut. Entah berapa kali terjadi istri saya berhenti makan begitu melihat si Mus Musculus melintas. Si Fay sering menjerit tiba-tiba di kamarnya, berteriak, "Mamaaaa, tikuuuuss." Dia pernah melintas di kaki saya, yang membuat saya kaget setengah hidup. Bahkan si Mus Musculus ini sering lewat pada saat anak-anak saya sedang belajar, dan membuat anak-anak menjerit. Walaupun cuma seekor, makhluk pengerat ini mampu membuat hidup kami tidak tenteram.


Jadi, ketika melihat kemunculan si Mus Musculus di dekat piring styrofoam nasi goreng, istri sayapun mengangkat tangkai sapu tinggi-tinggi, dan sambil berteriak "Ciyaaaatttt" layaknya tokoh silat perempuan dalam serial Wiro Sableng, diapun menghunjamkan sapu tersebut ke arah si makhluk malang. Tangkai sapu patah, si Mus Musculus lenyap entah ke mana. "Itu!" kata istri saya menunjuk ke lantai samping rak buku. Maka sayapun mengayunkan raket ke sana, terlihat sekilas si tikus diam tak berkutik. Tapi ternyata itu tikus bukanlah tikus kemarin sore, dia mengelak. Dia melarikan diri ke arah kamar tidur, maka sayapun mengejarnya, diikuti oleh istri saya dengan tangkai sapunya yang sudah patah itu.

Istri sayapun mengunci pintu kamar dari dalam. Jadi di kamar ada saya, istri saya, dan makhluk malang itu. Sudah jelas si tikus tidak akan bisa keluar dari sini hidup hidup. Saya iseng menirukan film The Wizard of Oz, bilang "Yuuhuu where are you.... come out come out wherever you are...." . Saya mencari-cari di bawah lemari, tidak terlihat apapun. Istri saya ternyata sudah siap dengan senternya. Ia menyorotkan senter ke bawah lemari, dan di situlah, si makhluk pengerat yang menjengkelkan itu, terlihat sedang meringkuk ketakutan.

Tiba-tiba tikus itu meloncat ke arah saya dan hinggap di pipi saya. Sayapun berteriak, lalu tikus itu meloncat ke arah pintu yang terkunci. Tapi istri saya lebih sigap, belum sempat si tikus mendarat ke lantai, istri saya sudah menghantamnya dengan tangkai sapu. Sekali hantam, bam!, dan si tikuspun tergeletak dengan kaki ke atas.

Pembunuhan pun terlaksana. Misi selesai. Selesai? Belum. Masih ada hal yang menjengkelkan yang harus dikerjakan. Yaitu menyingkirkan bangkai tikus tersebut. Demi ketertiban dan kesehatan lingkungan, bangkainya saya kuburkan di halaman.

Mudah-mudahan tidak ada lagi Mus Musculus yang berani mengganggu ketenteraman hidup kami.

Baca selengkapnya di www.ferdot.id
Baca tulisan lainnya di Coffee Break With Ferdy

06 September 2010

Surat Surat Soekarno Dari Endeh

Surat 1 

Bung Karno bersama keluarga naik kapal menuju tempat pembuangan di Endeh Flores
Endeh, 23 Januari 1935

Assalamu'alaikum,
Kiriman buku-buku gratis beserta kartupos, telah saya terima dengan girang hati dan terima kasih yang tiada hingga. Saya menjadi termenung sebentar, karena merasa tak selayaknya dilimpahi kebaikan hati Saudara yangsedemikian itu. Ya Allah Yang Mahamurah!

Pada ini hari semua buku dari anggitan Saudara yang ada pada saya, sudah habis saya baca. Saya ingi nsekali membaca lain-lain buah pena Saudara. Dan inginpula membaca "Bukhari" dan "Muslim" yang sudah tersalin dalam bahasa Indonesia atau Inggeris? Saya perlu kepada Bukhari atau Muslim itu, karena di situlah dihimpunkan hadits-hadits yang dinamakan sahih. Padahal saya membaca keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa Inggeris, bahwa di Bukhari pun masih terselip hadits-hadits yang lemah. Dia pun menerangkan, bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam, banyaklah karena hadits-hadits lemah itu, yang sering lebih"laku" dari ayat-ayat Al-Qur'an. Saya kira anggapan ini adalah benar. Berapa besarkah kebencanaan yang telah datang pada ummat Islam dari misalnya "hadits"yang mengatakan, bahwa "dunia" bagi orang Serani, akhirat bagi orang "Muslim" atau "hadits", bahwa satu jam bertafakur adalah lebih baik daripada beribada tsatu tahun, atau "hadits", bahwa orang-orang Mukmin harus lembek dan menurut seperti onta yang telah ditusuk hidungnya!

Dan adakah Persatuan Islam sedia sambungannya Al Burhan I-II? Pengetahuan saya tentang "wet" masih kurang banyak. Pengetahuan "wet" ini, saya ingin sekali perluaskan: sebab di dalam praktek sehari-hari, ummat Islam sama sekali dikuasai oleh "wet" itu, sehingga "wet" mendesak kepada "Dien".

Haraplah sampaikan saya punya komplimen kepada Tuan Natsir atas ia punya tulisan-tulisan yang memakai bahasa Belanda. Antara lain ia punya inleiding di dalam "Komt tot het gebed" adalah menarik hati.
Wassalam dan silaturrahmi,

Sukarno
-----------------------------------------
Surat 2

Endeh, 26 Maret 1935

Assalamu'alaikum w.w.,
Tuan punya kiriman pospaket telah tiba di tangan saya seminggu yang lalu. Karena terpaksa menunggu kapal, baru ini harilah saya bisa menyampaikan kepada tuan terima kasih kami laki-isteri serta anak. Biji jambu mede menjadi "gayeman" seisi rumah; di Endeh ada juga jambu mede, tapi varieteit "liar", rasanya tak nyaman. Maklum, belum ada orang menanam variteit yang baik. Oleh karena itu, maka jambu mede itu menjadikan pesta. Saya punya mulut sendiri tak berhenti-henti mengunyah!

Buku-buku yang tuan kirimkan itu segera saya baca. Terutama "Soal-Jawab" adalah suatu kumpulanjawahir-jawahir. Banyak yang tahadinya kurang terang ,kini lebih terang. Alhamdullilah!

Sayang belum ada Bukhari dan Muslim yang saya baca. Betulkah belum ada Bukhari Inggeris? Saya pentingkan sekali mempelajari Hadits, oleh karena menurut keyakinan saya yang sedalam-dalamnya--sebagai yang sudah saya tuliskan sedikit di dalam salah satu surat saya yang terdahulu--dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang "jalankan" hadits yang dlaif dan palsu. Karena hadits-hadits yang demikian itulah, maka agama Islam menjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketakhayulan, bid'ah-bid'ah, anti-rasionalisme, dll. Padahal tak ada agama yangl ebih rasional dan simplistis daripada Islam. Saya ada sangkaan keras bahwa rantai-taqlid yang merantaikan Roh dan Semangat Islam dan yang merantaikan pintu-pintunya Bab-el-ijtihad, antara lain-lain, ialah hasilnya hadits-hadits yang dlaif dan palsu itu. Kekolotan dan kekonservatifan pun dari situ datangnya.Karena itu, adalah saya punya keyakinan yang dalam, bahwa kita tak boleh mengasihkan harga yang mutlak kepada hadits. Walau pun menurut penyelidikan ia bernama SHAHIEH. Human reports (berita yang datang dari manusia) tak bisa absolut; absolut hanyalah kalam Ilahi. Benar atau tidakkah pendapatan saya ini? Didalam daftar buku, saya baca tuan ada sedia"Jawahirul-Bukhari". Kalau tuan tiada keberatan, sayaminta buku itu, niscaya di situ banyak pengetahuanpula yang saya bisa ambil.

Dan kalau tuan tak keberatan pula, saya minta"Keterangan Hadits Mi'raj". Sebab, saya mau bandingkandengan saya punya pendapat sendiri, dan denganpendapat Essad Bey, yang di dalam salah satu bukunyaada mengasih gambaran tentang kejadian ini. Menurutkeyakinan saya, tak cukuplah orang menafsirkan mi'rajitu dengan "percaya" sahaja, yakni denganmengecualikan keterangan "akal". Padahal keteranganyang rasionalistis disini ada. Siapa kenal sedikitilmu psikologi dan para-psikologi, ia bisa mengasihketerangan yang rasionalistis itu. Kenapa sesuatu halharus di-"gaib-gaibkan", kalau akal sediamenerangkannya?

Saya ada keinginan pesan dari Eropah, kalau Allah mengabulkannya dan saya punya mbakyu suka membantu uang-harganya, bukunya Ameer Alie "The Spirit o fIslam". Baikkah buku ini atau tidak? Dan dimana uitgever-nya?


Tuan, kebaikan budi tuan kepada saya--hanya sayalah yang merasai betul harganya--saya kembalikan kepada Tuhan. Alhamdullilah, segala pujian kepadaNya. Dalam pada itu, kepada tuan 1.000 kali terimakasih.

Wassalam,
 
Sukarno
-------------------------------------------------
Surat 3

Endeh, 15 September 1935


Assalamu'alaikum,

Paket pos telah kami ambil dari kantor pos, kami di Endeh semua membilang banyak terimakasih atas potongan 50% yang tuan idzinkan itu. Kawan-kawan semua bergirang, dan mereka ada maksud lain kali akan memesan buku-buku lagi, insya Allah.

Saya sendiri pun tak kurang-kurang berterima kasih, mendapat hadiah lagi beberapa brochures. Isinya brochures Kongres Palestina itu, tak mampu menangkap"centre need of Islam". Di Palestina orang tak lepas dari conventionalism--tak cukup kemampuan buat mengadakan perobahan yang radikal di dalam aliran yang nyata membawa Islam kepada kemunduran. Juga pimpinan kongres itu ada "ruwet", orang seperti tidak tahu apa yang dirapatkan, bagaimana caranya tehnik kongres .Program kongres yang terang dan nyata rupanya tak ada. Orang tidak zakelijk, dan saya kira di kongres itu ,orang terlalu "meniup pantat satu sama lain", terlalu "caressing each other", terlalu "mekaar lekker maken". Memang begitulah gambarnya dunia Islam sekarang ini: kurang Roh yang nyata, kurang Tenaga yang Wujud, terlalu "bedak membedaki satu sama lain", terlalu membanggakan sesuatu negeri Islam yang ada sedikit berkemajuan--orang Islam biasanya sudah bangga kepada"Mesir" dan "Turki"!--terlalu mengutamakan pulasan-pulasan yang sebenarnya tiada tenaga!!!


Brochures yang lain-lain sedang saya baca, insya Allah nanti akan saya ceriterakan kepada tuan saya punya pendapat tentang brochures-brochures itu. Terutama brochurenya Tuan A.D. Hasnie saya perhatikan betul. Buat sekarang ini, sesudah saya baca brochure Hasnie itu secara sambil-lalu, maka bisalah sudah saya katakan, bahwa "cara pemerintahan Islam" yang diterangkan di situ, tidaklah memuaskan saya, karena kurang "up to date". Begitukah hukum-kenegaraan Islam? Tuan A.D. Hasnie menerangkan, bahwa demokrasi parlementer itu cita-cita Islam. Tetapi sudahkah demokrasi parlementer itu menyelamatkan dunia? Memang sudah satu anggapan-tua, bahwa demokrasi parlemente ritu puncaknya ideal cara-pemerintahan. Juga Moh. Ali, di dalam ia punya tafsir Qur'an yang terkenal, mengatakan bahwa itulah idealnya Islam. Padahal ada cara-pemerintahan yang lebih sempurna lagi, yang juga bisa dikatakan cocok dengan azas-azasnya Islam!

Brochure almarhum H. Fachroeddin akan berfaedah pula bagi saya, karena saya sendiri pun banyak bertukarfikiran dengan kaum pastoor di Endeh. Tuan tahu, bahwa pulau Flores itu ada "pulau missi" yang mereka sangat banggakan. Dan memang "pantas" mereka membanggakan mereka punya pekerjaan di Flores itu. Saya sendiri melihat, bagaimana mereka "bekerja mati-matian" buat mengembangkan mereka punya agama di Flores. Saya ada"respect" buat mereka punya kesukaan bekerja itu. Kita banyak mencela missi--tapi apakah yang kita kerjakan bagi menyebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? Bahwa missi mengembangkan rooms katholicisme, itu adalah mereka punya "hak", yang kita tidak boleh cela dan gerutui. Tapi "kita", kenapa "kita" malas, kenapa "kita" teledor, kenapa "kita" tak mau kerja, kenapa "kita" tak mau giat? Kenapa misalnya di Flore stiada seorang pun muballigh Islam dari sesuatu perhimpunan yang ternama (misalnya Muhammadiyah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? Missi di dalam beberapa tahun sahaja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores--tap iberapa orang kafir yang bisa "dihela" oleh Islam di Flores itu? Kalau difikirkan, memang semua itu "salah kita sendiri", bukan salah orang lain. Pantas Islam selamanya diperhinakan orang!

Kejadian di Bandung yang tuan beritakan, sebagian say asudah tahu, sebagian belum. Misalnya, saya belum tahu, bahwa tuan punya anak telah dipanggil kembali ke tempat asalnya. Saya bisa menduga tuan punya duka-cita, dan saya pun semakin insyaf, bahwa manusia punya hidup adalah sama sekali di dalam genggaman Ilahi. Yah, kita harus tetap tawakal, dan haraplahtuan suka sampaikan saya punya ajakan tawakal itu kepada saudara-saudara yang lain-lain, yang juga tertimpa kesedihan.

Sampaikanlah salamku kepada semua.

Wassalam,

Sukarno

(Publisher "The Spirit of Islam" kini saya sudah tahu: Doran & Co., New York. Saya sudah dapat persanggupan ongkosnya dari saya punya mbakyu, dan sudah pesan buku itu. Saya ingin tahu pendapat Ameer Ali, apakah yang menjadikan kekuatan Islam, dan apakah sebabnya "semangat kambing" sekarang ini. Cocokkah dengan pendapat saya, atau tidak?)
-----------------------------------
Dari buku Di Bawah Bendera Revolusi
Dikutip dari catatan Mula Harahap 

02 September 2010

Umri

Umri adalah seorang anak laki-laki yang saya temui pada awal tahun 1980, sewaktu saya baru masuk SD Muhammadyah Tembilahan. Nama lengkapnya adalah Umri Zukhairi. Kami bersahabat. Sejak kelas 1 hingga kelas 4 saya sebangku dengan dia. Pada waktu naik ke kelas 5, dia menghilang.

Dia pindah sekolah ke Pekanbaru.

Tentu saja saya kehilangan. Saya sering main ke rumahnya, atau dia main ke rumah saya. Keluarganya termasuk keluarga yang rajin beribadah dan saya sering diajak mengaji atau sholat berjamaah di rumahnya.

Keluarga Umri punya kebun yang luas di luar kota dan setiap Jumat siang kami ke kebunnya menghabiskan waktu, makan buah sawo, kelapa muda, jeruk, main rakit batang pisang, main perang-perangan, dan lain-lain.

Pada waktu itu dia tidak pernah bilang mau pindah. Kami masih anak-anak, jalan pikiran kami tentu berbeda dengan orang yang lebih dewasa. Bagi Umri, mungkin dia berpikir tak perlu memberitahu  saya soal rencana kepindahannya.

Padahal kami berdua adalah sahabat karib. Dan sejak naik ke kelas 5 itu saya tak pernah melihatnya lagi.

Pertengahan tahun 90-an, gara-gara mengantarkan seorang veteran perang dunia ke 2 bernama Gerald Martin yang kelaparan ke sebuah restoran steakhouse di Batam, saya berkenalan dengan Endang Pujowati. Nona manis ini punya wawasan yang luas tentang berbagai jenis steak, dan merupakan teman yang enak diajak ngobrol.

Saya jatuh hati dengannya, dan sering menghabiskan waktu di Steakhouse. Jika ada duit, saya makan steak, jika lagi cekak, saya cuma makan kentang goreng. Yang penting saya ketemu dengan Endang Pujowati. Sayapun sering mengajaknya keluar, nonton, makan-makan, ke danau, ke pantai. Kamipun berpacaran. Setahun kemudian, kami menikah.

Acaranya diadakan di Batam. Pada saat akad nikah dilaksanakan, dari pihak keluarga istri saya, ada seorang laki-laki pemalu yang terus menerus memandang saya. Sayapun merasa pernah melihatnya sebelumnya, tapi tak ingat di mana atau kapan.  Jadi sayapun bertanya pada istri saya, siapa laki-laki itu.

Istri saya bilang laki-laki itu adalah sepupunya, dan namanya adalah Umri Zukhairi. 
 
Ada berapa orang yang bernama Umri Zukhairi di dunia ini? Bagi saya itu adalah nama yang langka, dan pemiliknya hanyalah satu orang, yaitu sahabat saya waktu kecil. 

Jadi kamipun bertemu lagi, setelah sekian lama. Dulu kami bertemu saat masih jadi anak-anak yang nakal, sekarang kami bertemu di saat sudah dewasa.


Rupanya tante dari istri saya menikah dengan pamannya Umri, dan disinilah kami bertemu. Waktu itu saya hampir menangis terharu, mungkin karena waktu itu suasananya terasa sakral, dan saya tidak saja mendapatkan seorang istri, tapi juga mendapatkan kembali sahabat lama yang dulu hilang.


(Karena hal inilah, saya percaya dengan teori Six Degrees of Separation atau Fenomena Dunia Kecil,  yang pernah saya tulis di blog ini beberapa waktu yang lalu).

Sungguh misterius bagaimana sesuatu bisa terjadi, dan Tuhan punya jalannya sendiri untuk mempertemukan orang-orang.
--------------------------------------------------