22 Juni 2007

eBook

Harga buku (bermutu) di Indonesia masih sangat mahal, jenis kertasnya berat. Taruh 3 buah novel di dalam tas dan tas itu akan terasa sangat membebani punggung. Bayangkan jika salah satu buku tersebut adalah versi hardcover dari Tom Clancy, misalnya Executive Order, atau masterpiece nya Dan Brown yang kontroversial, Da Vinci Code. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk membelinya. Untuk fiksi saya punya koleksi Agatha Christie, John Grisham, Tom Clancy, Michael Crichton, dan tentu saja keempat novel Dan Brown, belum lagi buku-buku lain. Bayangkan betapa makan tempatnya buku-buku itu.

Entah saya ketinggalan jaman, atau saya lelet, setelah bertahun-tahun surfing dan browsing (apa sih bedanya surfing sama browsing) baru saja saya sadar bahwa di dunia ini sudah lama ada yang namanya eBook, itupun rekan saya yang mengingatkan. Rekan yang bernama Harnata Simanjuntak ini sudah lama berburu eBook di internet dan koleksinya gila-gilaan, mulai dari literatur lamanya Victor Hugo, Rudyard Kipling, naskah-naskah William Shakespeare, sastra Indonesia, kumpulan resep masakan, filsafat, buku-buku IT, fiksi populer, hingga ke novel silat Ko Ping Ho. Kalau dicetak menjadi buku fisik, eBook2 itu bisa jadi makan tempat 3 lantai gedung perpustakaan di tingkat kabupaten (atau kotamadya).

Ini hal baru bagi saya (yang ketinggalan jaman ini). Kenapa tidak dari dulu 'gitu low'. Tentu saja banyak biaya dan tempat yang bisa dihemat. Konsep buku fisik/cetakan menjadi buku digital adalah konsep yang luarbiasa kalo dipikir. eBook novel Da Vinci Code misalnya, hanya berukuran 500-an Kilobyte. Jadi dalam satu flashdisk standar ukuran 256 MB bisa kita isi dengan ratusan eBook, ini suatu hal yang revolusioner. Menurut saya lo.

Di mana mendapatkan eBook-eBook tersebut? Bisa di sini , di sini, atau juga di sini. Banyak lagi situs-situs yang menyediakan eBook, ada yang berbayar, banyak juga yang geratiz, bah! Dan untuk membaca eBook-eBook tersebut bisa pakai Adobe (Acrobat) Reader, bisa pake MS Reader dan bisa juga pake iSilo. Ada juga eBook yang berbentuk file executable tapi hati-hati dengan jenis file ini karena bisa ditunggangi pilus. (Virus, maksudnya!) Yep, selamat bereBook ria.

15 Juni 2007

Puteri Gunung Ledang

Kerajaan Demak hendak menyerang Majapahit. Untuk mencegah hal itu terjadi, raja Majapahit Adipati Handaya Ningrat menawarkan adiknya Gusti Putri Retno Dumilah untuk dikawinkan dengan Raja Demak, tapi sang adik sudah berlayar duluan untuk menemui kekasihnya Hang Tuah, di Gunung Ledang, Kerajaan Melaka. Nah lo, ada nggak hal ini ditulis dalam sejarah?

Tapi inilah inti cerita film produksi Malaysia yang pemainnya antara lain Dian Sastrowardoyo, Alex Komang dan Christine Hakim. Film produksi tahun 2004 ini dikirim untuk dinilai dalam ajang Academy Award (Oscar) tapi tidak mendapat penghargaan apapun, juga di Asian Film Festival di Bangkok (2005). Tau sebabnya kenapa? Riset sejarahnya kurang cermat. Bangunan istana ada yang memakai batu bata, sedangkan pada masa dulu di jaman Hang Tuah, batu bata beginian belum ada. Hal-hal kecil begini lah yang bisa bikin tersandung, padahal jalinan ceritanya memikat dan bisa membuat film ini tersanjung.

DVD/VCD nya cuma diproduksi di Malaysia, Indonesia tidak atau belum ada. Kalau mau beli mesti (untuk koleksi) mesti menyeberang dulu.

12 Juni 2007

Collateral Damage

Dua hari yang lalu, di sebuah hotel saya bertemu dengan seorang laki-laki Amerika berusia 72 tahun, berasal dari Denver, Colorado, sangat lancar berbahasa Indonesia. Setelah berkenalan, kami berbincang, mulai dari yang ringan. Setelah 20 menit, entah mengapa dia bilang kalau dia itu pernah bertugas di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta sekitar tahun 60-an. Mantan diplomat dong. Sambil mengedipkan mata, dia mengatakan suatu hal yang mungkin akan membuat sebagian pihak terkejut. Tapi sebenarnya hal yang disebutkannya itu adalah suatu rahasia umum. Bahwa hampir sebagian besar diplomat Amerika yang bertugas di Jakarta pada masa itu adalah anggota CIA.
Mau tak mau, obrolan pun menjangkau tragedi yang disebut G30S itu. Waktu saya bertanya apakah benar CIA terlibat dalam peristiwa berdarah itu, dia mengangguk dengan mantap. Dia bilang kalau di suatu negara pada masa itu (60-an) ada gejolak antara kelompok komunis dan lawannya, sudah dipastikan CIA terlibat. CIA dan Amerika dan blok kapitalis lainnya punya kepentingan besar untuk menghentikan laju pertumbuhan komunis. Pada masa itu memang kekuatan komunis di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Mereka ada di semua lini, dan harus ada skenario untuk menghentikannya, skenario yang disukai tentu saja memancing suatu peristiwa agar pihak yang dianggap pelaku peristiwa itu kemudian tersingkirkan. Nah, tentu saja hal ini sudah banyak yang tau.
Tapi si Mister bilang, yang disesalkan kemudian adalah collateral damage nya. Saya kebetulan baru saja menonton film The Last King of Scotland, biopik Idi Amin dari kacamata Barat. Di situ Idi Amin digambarkan sebagai rezim yang haus darah, semua lawan politiknya dibantai. Klaim yang menyatakan bahwa 300ribu rakyat Uganda mati di tangannya membuat saya bergidik. Bandingkan dengan peristiwa penumpasan PKI yang dimulai sejak 1 Oktober 1965. Antara 400ribu hingga 1 juta jiwa orang Indonesia, termasuk di dalamnya orang-orang tak bersalah, habis dibantai dalam rangka penumpasan organisasi tersebut. Orangtua rekan saya yang berasal dari Jawa Timur bercerita bahwa dulu di Sungai Brantas berhari-hari orang bisa melihat mayat-mayat korban penumpasan terbawa arus yang melewati Mojokerto, Malang, Blitar dan Kediri.
Memang sekarang PKI sudah tidak ada, atau mungkin sudah tidak ada. Si Mister (yang tidak mau disebutkan namanya) tadi bilang, memang hasilnya sungguh bagus, komunis ditumpas habis (mungkin sampai ke akarnya seperti iklan obat panu), tapi jangan dilupakan pula pembantaian masal yang merenggut hingga jutaan orang sekitar tahun 1965-1966, yang berjalan singkat (Nazi membutuhkan bertahun-tahun untuk membantai orang-orang Yahudi pada masa perang dunia kedua), yang karena kekuatan Orde Baru, tak pernah sempat diketahui oleh generasi saya dalam pelajaran Sejarah Nasional di sekolah-sekolah. Memang buku sejarah perlu direvisi. Dan Dan Brown dalam dwilogi novelnya (Da Vinci Code, Angels and Demons) mengatakan bahwa sejarah ditulis oleh orang-orang yang memenangkan keadaan pada masa itu.
Tangan para pemimpin kita memang berlumuran darah.

11 Juni 2007

It's a bright June afternoon.

Masih ingat dengan lagu lama Roxette yang berjudul June Afternoon? Pada refrain lagu tersebut ada lirik yang bikin penasaran: I't's a bright June afternoon, it's never gets dark wah wah, here comes the sun.."

Saya pernah berdebat dengan rekan saya mengenai lirik lagu tersebut. Apa benar pada bulan Juni hari gak pernah gelap. Well karena Roxette adalah duo Swedia, hal tersebut mungkin saja di sana. Bulan Juni adalah musim panas di negara itu, dan memang hampir tidak pernah gelap. Di utara Swedia pada bulan Juni, matahari terbenam setelah lewat tengah malam, tapi tidak menyebabkan cuaca gelap gulita, dua jam kemudian matahari muncul kembali. Benar-benar siang yang panjang, dan orang bisa bisa beraktifitas lebih lama. Hal ini sudah dikonfirmasi oleh rekan saya Olaf Hemingsson, yang tinggal di Stockholm.

Dia bilang Roxette said it correctly. Aduh kapan saya bisa sampai ke sana, ya. (Mimpi)

05 Juni 2007

Lugu Ligu


Tiba-tiba saya teringat dengan permainan masa kecil. Bagi yang mengalami masa kecil era 70-an dan 80-an di Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau, pasti ingat dengan permainan yang bernama lugu atau ligu. Ligu terbuat dari tempurung kelapa (pohon kelapa banyak tumbuh di daerah ini) yang dibentuk menjadi semacam perisai atau segitiga kecil, atau berbentuk hati, dengan ukuran kira-kira sebesar telapak tangan anak kecil. Lugu-lugu itu dijejerkan sebaris di tanah, kemudian ditembak dengan lugu lain, dengan cara diungkit menggunakan tongkat kecil. Anak-anakpun berkreasi dengan lugu masing-masing. Ada yang diberi warna, ada yang dibentuk macam-macam, ada yang diasapi biar lebih kuat dan tampilannya bagus, lalu sambil tebak-tebak buah manggis, lugu itu dipamerkan sebelum permainan dimulai.

Wah, jaman dulu mau having fun tidak perlu susah-susah ngeluarkan biaya besar. Cukup dengan permainan yang bahannya kreasi sendiri dan anak-anak kecil satu gang bisa ngumpul, bergaul dan bersosialisasi . Makanya anak-anak dulu lebih kreatif. Kalo sekarang semuanya terpaku di depan layar teve, main PS. Semuanya tinggal beli, kalo dulu mobil-mobilan cukup puas bikin sendiri dari kayu, sekarang semuanya harus beli (battery's not included). Kreatifitas pun jadi mandek dan semuanya jadi pemalas.

If I just can turn back time.

04 Juni 2007

Negeri Hantu

Indonesia penuh dengan hantu. Setidaknya itulah persepsi orang jika melihat film-film nasional beberapa tahun belakangan ini. Komersialisasi hantu ini membuat beberapa artis dan produser menjadi lebih kaya. Berbagai macam jenis hantu udah mejeng di layar lebar, sebutlah misalnya kuntilanak, pocong, suster ngesot, jaelangkung, leak, hantu cermin, hantu jeruk purut, hantu lukisan, hantu terowongan Casablanca, hantu mabok de el el.

Jadi dulu ada satu orang yang memulai, yang saya ingat itu film Jaelangkung, setelah film itu populer dan menguntungkan, tentu saja ada pihak lain yang pengen kebagian rejeki dari hantu. Muncullah pocong, tusuk jaelangkung dsb. Nah, yang lain ikut-ikutan latah. Alhasil sekarang sudah ada puluhan film hantu, satupun tidak ada yang berbobot. Datanglah ke bioskop, yang ada cuma cuplikan-cuplikan adegan kaget-kagetan dan orang-orang yang berteriak kaget bahkan sebelum hantunya nongol di layar. Saya perkirakan latah film-film hantu ini akan berlanjut hingga 2 tahun mendatang, setelah itu mudah-mudahan penonton jadi bosan dan sadar bahwa film-film hantu ini takkan membawa kita ke mana-mana selain lebih jelas dan confirmed bahwa hantu memang menakutkan. Dan moga-moga tak ada lagi produser yang cukup idiot untuk mengangkat tema instan-dangkal-dan-pasti-bikin-penonton-terkaget-kaget tersebut. Toh tak ada satupun film-film itu yang diadaptasi oleh insan perfilman negara lain. Beda dengan The Ring, The Grudge, The Dark Water yang membuat Hollywood tertarik membuat adaptasinya.

Di antara banjir film-film hantu tersebut, untunglah masih ada yang mencoba bikin film berbobot seperti Berbagi Suami, Nagabonar Jadi Dua, Daun Di Atas Bantal, Ekspedisi Madewa. Untuk pihak-pihak yang membuat film-film di atas, saya haturkan terimakasih sedalam-dalamnya.

Tema-tema dangkal cukup untuk sinetron aja. Sebaiknya produser-produser film yang uangnya banyak mencoba bikin film-film bermutu. Film-film jelek dan sampah cukup hanya dibuat oleh keluarga dan kroni si penjahat seni Raam Punjabi. Yang lain cobalah berusaha setidaknya film kita mendapat perhatian serius di festival film semacam Cannes, Toronto atau Berlin, seperti yang dilakukan Garin Nugroho.

Tak ada rotan, ram punjabi.

PS Coba baca tulisan tentang Daun Di Atas Bantal di blog milik Puri Kencana Putri di SINI