22 April 2010

Psycho

Saya pernah menulis di blog ini bahwa untuk dapat mengapresiasi film klasik, kita tidak bisa menggunakan ukuran-ukuran jaman sekarang. Tidak saja karena situasi yang melatarbelakangi film tersebut jauh berbeda, juga karena perkembangan film telah begitu pesatnya. Jaman sekarang, tidak ada adegan yang tidak bisa difilmkan berkat teknologi CGI, tinggal seberapa tinggi imajinasi dan visi kreator film tersebut.

Yang harus diperhatikan juga adalah masalah genre. Waktu saya bilang bahwa kita tidak bisa menggunakan kriteria film action untuk menilai sebuah film drama, banyak yang bilang, "tentu saja, tidak mungkinlah.." Tapi tetap saja kemudian ada komentar begini : "Wah filmnya jelek banget, adegannya ngomong melulu, tidak ada mobil meledak atau tembak menembak." Tanpa sadar yang bersangkutan telah memakai kriteria film action untuk mengapresiasi film drama.

Jadi untuk menilai film Casablanca misalnya, kita harus tahu film tersebut dibuat tahun berapa dan bagaimana keadaan dunia pada waktu itu. Juga film 2001: A Space Odyssey, The Wizard Of Oz, Doea Tanda Mata, dan lain-lain. Termasuk juga film klasik karya master of suspense Alfred Hitchcock: Psycho.

Menonton ulang film Psycho yang diputar di salah satu channel berlangganan membuat saya tambah respek dengan sutradaranya. Film itu dibuat tahun 1960. Keadaan dunia jauh berlainan dengan sekarang, cara lembaga sensor menyensor film juga berbeda. Hitchcock sengaja membuat film ini hitam putih, dengan dua alasan: budget dan sensor. Teknologi film berwarna sudah ada pada waktu itu, film Hitchcock sebelumnya, Vertigo (1958), dibuat berwarna. Psycho dibuat hitam putih selain budgetnya sengaja dibatasi, juga agar film ini lolos sensor. Lembaga Sensor waktu itu tidak senang film yang terlalu 'berdarah'. Film hitam putih membuat darah terlihat hitam, dengan demikian mengurangi efek kengerian penonton. (Bagi yang pernah menonton film Kill Bill Volume 1 karya Quentin Tarantino tentu ingat adegan Uma Thurman mengamuk di Lotus House, dengan pedangnya dia melawan ratusan orang, dan darah di mana-mana. Tarantino membuat adegan tersebut hitam putih agar lulus sensor). Tapi film Psycho ini adalah film terakhir Alfred Hitchcock yang dishoot hitam putih, selanjutnya dia selalu menggunakan teknologi film berwarna.

Beda dengan jaman sekarang, film-film slasher dengan vulgarnya mengumbar darah merah di mana-mana,dan lembaga sensor sekarang sangat longgar. Hal lain yang akan disensor waktu itu adalah adegan toilet di-flush. Di film Psycho, Hitchcock dengan cerdiknya menyelipkan adegan flushing toilet yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan adegan sebelumnya. Inilah film pertama waktu itu yang menampilkan adegan toilet disiram. Sebelumnya tidak ada scene apapun dari film-film jaman itu yang dibuat di toilet.

Karakter yang diperankan Janet Leigh, Marion Crane, di awal film memakai underwear putih atau pakaian bernuansa putih, bahkan tas tangannya juga putih. Kemudian pada saat Marion Crane melarikan uang perusahaan, pakaian yang dikenakannya, termasuk underwear dan tas tangan, selalu berwarna gelap atau hitam. Ini merupakan isyarat Hitchcock menggambarkan transformasi dari bidadari baik menjadi jahat (from angelic to evil), karena Marion telah melakukan tindakan kriminal.

Tokoh yang kita ikuti nasibnya dari awal, dengan demikian sedikit banyaknya kita menaruh simpati dengan tokoh tersebut, dengan mengejutkan mati di tengah film. Uang perusahaan yang dicurinya terkubur bersamanya di rawa yang gelap. Di tahun 60-an, plot seperti itu belum ada yang berani membuatnya, karena takut kisahnya akan kehilangan daya tarik. (Toh tokoh utamanya mati di tengah film, apalagi yang mau ditonton?) .

Adegan pembunuhannya baru (pada waktu itu) dan tak terlupakan. Marion Crane, pada saat mandi, ditusuk berkali-kali dengan pisau dapur, pembunuhnya datang dari balik tirai mandi. Efeknya menggiriskan. Musik latar dari Bernard Hermann membuat adegannya intens. Sebagaimana sumur menjadi tidak populer gara-gara film The Ring, dikabarkan banyak penonton wanita yang beberapa hari jadi takut ke kamar mandi gara-gara adegan tersebut. Adegan kamar mandi (shower scene) tersebut menjadi terkenal dan banyak ditiru. Padahal, karena itu film hitam putih, tim efek menggunakan sirup cokelat sebagai darah.

Bagaimana dengan si pembunuh? Karakternya, Norman Bates, diperankan oleh Anthony Perkins. Pembunuh psikopat tak perlu digambarkan seram. Norman Bates adalah pemuda tampan kesepian yang menjalankan motel keluarga. Inilah untuk pertama kalinya pembunuh psikopat berdarah dingin digambarkan berperangai sopan dan halus sekaligus brutal, memiliki kepribadian terbelah,  dan digambarkan transvestite. Penjelasan psikiater pada akhir film akhirnya menjelaskan segalanya. (Psikiater apa psikolog, saya kurang jelas. Saya juga tak tahu persis apa beda psikiater dengan psikolog, ada yang bisa bantu di sini?)

Pada akhir film, Norman Bates digambarkan berdialog dengan ibunya, lalu dia tersenyum menatap kamera, pada saat itu wajahnya sekilas fading menjadi gambar tengkorak.

Pada waktu itu, belum ada yang membuat film suspense seperti ini, mencekam sekaligus cerdas, dan tidak begitu vulgar. Dengan budget 'hanya' US$800.000,- film ini meraih keuntungan US$40 juta (waktu itu). Majalah Entertainment Weekly menempatkan film ini sebagai 'the seventh scariest film of all time'. Tahun 2007, American Film Institute menempatkan Psycho sebagai "the #14 greatest movie of all time" dan menempati ranking nomor 1 dalam 100 Best Thrills Film.

Film Psycho dibuat remakenya tahun 1998 oleh Gus Van Sant, dengan aktor Vince Vaughn, Julianne Moore dan Anne Heche. Tentu saja tidak begitu menggreget seperti versi originalnya. Film Psycho juga dibuat sekuelnya, yaitu Psycho II hingga Psycho IV. Bagi pencinta film pada umumnya, dan pencinta suspense trhiller, film ini harus masuk dalam daftar tonton. (Pertama kali saya ketemu dan menonton film ini pada waktu kelas 6 SD, dari salah satu koleksi bapak saya yang direntalkan dengan format betamax. )


Baca selengkapnya di sini: www.ferdy.mirrorz.com