Kejadiannya di malam tahun baru, pergantian tahun 2004 ke 2005. Sekitar pukul 4 pagi seorang waiter yang bernama Rudy Natong yang bekerja di Fluid Lounge di Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) menagih bill pada seorang wanita bernama Novia Herdiana. Bersama Novia Herdiana yang juga dipanggil Tinul, ada seorang laki-laki. Ada masalah dengan kartu kredit milik Novia, sehingga waiter Rudy Natong mengusulkan agar pembayaran bill dilakukan cash. Selang beberapa saat, laki-laki yang bersama Novia mengeluarkan pistol revolver kaliber 22 mm, dan menembak Rudy Natong di bagian kepala.
Laki-laki yang sama juga pernah menambak keponakan musisi rock Ahmad Albar dan Camelia Malik pada bulan Oktober 2004.
Siapa laki-laki tersebut, dan apa hubungannya dengan aktris Dian Sastro Wardoyo? Dan di mana laki-laki tersebut sekarang?
Dia adalah Adiguna Sutowo, anak dari Ibnu Sutowo, seorang jenderal korup yang dipercaya Soeharto untuk memimpin Pertamina. Memimpin Pertamina dari tahun 1957 hingga 1976, saat kesalahan manajemen yang korup telah memungkinkan Ibnu Sutowo mengumpulkan kekayaan keluarga yang sangat besar dan hampir membuat perusahaan bangkrut, meskipun terjadi ledakan minyak global pada tahun 1970-an.
Adiguna Sutowo sendiri merupakan anak paling bungsu. Pada Oktober 2004, Adiguna mengancam akan membunuh David Reynaldo Titawono (saat itu 22), keponakan musisi rock Achmad Albar dan penyanyi Camelia Malik. Insiden tersebut terjadi di Kemang, Jakarta Selatan, dilaporkan di properti pemilik waralaba KFC Indonesia Ricardo Gelael, yang merupakan suami dari mantan istri Achmad Albar, Rini S. Bono. Adiguna, yang ditemani oleh pengawalnya, menembak David melalui atau dekat telinganya. Setelah kejadian tersebut, polisi mencabut izin senjata api Adiguna dan menyita senjata api yang menembakkan peluru karet. Ricardo Gelael tidak melaporkan kejadian tersebut ke polisi, namun keluarga Achmad Albar yang melaporkannya. Adiguna dan Ricardo kemudian diperiksa di Polda Metro Jaya, namun kasus tersebut kemudian diselesaikan oleh kedua keluarga dan pihak keluarga Achmad Albar mencabut laporan polisi tersebut.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya dinihari tanggal 1 Januari 2005, setelah merayakan tahun baru, Adiguna bersama Novia Herdiana alias Tinul minum-minum di bar Fluid Lounge Hotel Hilton. Tinul memesan vodka tonik untuk Adiguna dan leci martini untuk dirinya sendiri. Dia bertanya kepada waiter yang bernama Rudy Natong apakah minuman itu bisa dibebankan ke kamarnya. Rudy mengatakan itu tidak mungkin, maka Tinul melunasi tab Rp150.000 dengan kartu Visa HSBC miliknya.
Adiguna kemudian memesan lagi dua minuman yang sama dan berusaha untuk membayar dengan kartu debit BCA . Rudy mengambil kartu tersebut dan bertanya kepada kasir Hari Suprasto apakah bisa digunakan. Hari menjawab mesin tidak tersedia. Rudy kemudian mengembalikan kartu tersebut kepada Tinul, yang kemudian diberikan kepada Adiguna.
Rudy menjelaskan, kartu tersebut tidak dapat diterima karena bar tersebut tidak memiliki mesin yang dapat memprosesnya. Penolakan itu membuat Tinul kesal. “Apa kau tidak tahu siapa dia? Dia pemegang saham terbesar hotel ini! ” katanya, menunjuk ke arah Adiguna, yang duduk di sebelahnya.
Ponco Sutowo, saudara kandung Adiguna saat itu memang menguasai saham terbesar Hotel Hilton, di mana kawasan di situ memang dikelola oleh perusahaan milik keluarga Sutowo.
Kemudian Adiguna ikut marah. "Dia bertanya kenapa..., kenapa. Gue tembak juga lu," katanya. Adiguna lalu mengeluarkan pistol kaliber Smith & Wesson .22 dari pinggangnya, dan menempelkannya di jidat Rudy. Rudy, yang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, tersenyum kecut. Dia mengira si tamu bercanda. Lalu terdengar suara klik dua kali, dan dor, Rudy terkapar. Kepalanya berlubang. Dua bartender, Daniel dan Cut Nina, yang berada di sampingnya berusaha menolong. Pemuda Flores ini akhirnya tewas di rumah sakit.Adiguna kemudian menyeka gagang senjata, menyerahkan pistol kepada disc jockey Werner Saferna alias Wewen, yang berdiri sekitar satu meter jauhnya. Adiguna kemudian meninggalkan klub.
Polda Metro Jaya menetapkan Adiguna sebagai tersangka. Kamar hotelnya, Kamar 1564, berisi 19 peluru jenis yang sama yang telah membunuh Rudy. Peluru itu disembunyikan di toilet. Laporan media, mengutip temuan awal polisi, berdasarkan tes urine, mengatakan Adiguna telah mengkonsumsi metamfetamin dan alkohol pada saat pembunuhan itu.
Meskipun penembakan tersebut disaksikan banyak orang, di tengah suara musik yang keras dan hiruk pikuk, Adiguna membantah menembak Rudy. Dia mengatakan kepada polisi bahwa dia hanya melewati Fluid Club untuk mencari kerabatnya. Dia membantah duduk di bar. Dia membantah berbicara dengan Tinul. Dia membantah membawa pistol. Dia mengaku telah membantu menggendong Rudy, yang menyebabkan darah mengucur di bajunya. Namun, pengacaranya mengatakan darah di baju itu berasal dari Adiguna dan bukan dari Rudy.
DJ Wewen yang telah menerima senjata pembunuh dari Adiguna, menyimpan pistolnya di rumahnya selama lima hari sebelum menyerahkannya kepada polisi dan memberikan pernyataan.
Pemeriksaan balistik polisi menemukan kecocokan antara pistol dengan peluru yang ditembakkan ke kepala Rudy. Kepala Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung Sudjono pada Januari 2005 mengatakan sampel darah dan urin Adiguna positif mengandung obat-obatan terlarang: sabu dan fenmetrazin. Pengacaranya membantah Adiguna menggunakan narkotika.
Pada awal Februari 2005, polisi mengatakan mereka masih mengumpulkan bukti dan menunggu hasil untuk menuntut Adiguna dengan pelanggaran narkotika, terpisah dari tuduhan pembunuhan dan senjata api. Polisi kemudian mengklaim bahwa tes berikutnya pada kuku dan sampel rambut Adiguna negatif, sehingga tuduhan narkoba ditarik. Kepala Detektif Polisi Suyitno Landung, yang kemudian dipenjara karena menerima suap dari keluarga Sutowo, menolak menjelaskan mengapa hasil tes darah dan urine berbeda.
Korban berusia 25 tahun, Rudy Natong, berasal dari keluarga berpenghasilan rendah di pulau Flores di provinsi Nusa Tenggara Timur dan telah bekerja paruh waktu di Hilton untuk mendukung studi hukumnya di Universitas Bung Karno Jakarta. Dia juga menghidupi kedua adiknya. Ia dijadwalkan lulus tahun 2005. Orangtuanya semula diberi tahu bahwa ia ditembak mati dalam protes terhadap kenaikan harga BBM di Jakarta.
Sebelum persidangan Adiguna dimulai, saudara laki-lakinya Pontjo Sutowo melakukan perjalanan ke Flores, di mana ia menghadiahi keluarga Rudy dengan isyarat belasungkawa tradisional berupa kepala sapi. Dia juga menyerahkan sejumlah uang yang dirahasiakan. Ayah Rudy menulis surat, kemudian dibawa ke pengadilan, meminta hakim memberikan hukuman yang ringan kepada Adiguna Sutowo.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara bagi Adiguna Sutowo. Maaf dari keluarga korban dianggap meringankan hukuman.Majelis hakim menyatakan, Adiguna terbukti membunuh Johannes Chaerudy Natong alias Rudy di Fluid Bar, Hotel Hilton, Jakarta pada 1 Januari 2005. Karena itu, Adiguna dinyatakan terbukti melanggar pasal 338 KUHP dan pasal 1 ayat 1 UU nomor 12 tahun 1951. Putusan majelis hakim yang dipimpin Lilik Mulyadi ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yang meminta hakim menghukum terdakwa seumur hidup. Majelis menganggap, sikap keluarga korban yang sudah memaafkan terdakwa sebagai hal yang meringankan. Terdakwa juga diringankan karena "merupakan tokoh publik, sopan dalam persidangan, masih muda, dan merupakan kepala keluarga yang di kemudian hari bisa menjadi panutan keluarga, serta belum pernah dihukum.
Setelah ditangkap, Adiguna awalnya ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. Dia kemudian dipindahkan ke penjara Salemba Jakarta, di mana dia tinggal di Blok K, yang disebut sebagai "sayap eksekutif". Narapidana terkenal lainnya di Blok K pada saat itu termasuk Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan taipan Partai Golkar Nurdin Halid.
Pengacara Amir Karyatim mengatakan Adiguna bisa tertawa di dalam penjara Salemba dan bisa memesan kopi dari Starbucks dan nasi padang.
Adiguna kemudian dibebaskan dua tahun kemudian. Mirip bukan dengan Jaksa Pinangki, yang hanya dibui dua tahun padahal divonis 7 tahun penjara? Pesta diskon masa tahanan ini selalu ada di Indonesia, siapapun pemimpin negaranya.
Adiguna memiliki seorang anak laki-laki bernama Maulana Indraguna Sutowo. Pada tahun 2010, Maulana menikah dengan aktris Dian Sastro Wardoyo. Adiguna Sutowo sendiri meninggal bulan April tahun lalu, di Jakarta.
Tinul, alias Novia Herdiana, terakhir masih bekerja sebagai Senior Director of Sales di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta.
Baca juga: Orang Pendek | Kasus Pembunuhan Munir | Perjalanan Ke Baduy Dalam | Ngopi Yuk