"You're not change anything.."
Demikian ujar si pejuang gaek John Rambo ketika dimintai tolong oleh sejumlah sukarelawan medis untuk mengantarkan mereka ke desa kecil di perbatasan Burma. Setelah film terakhir (Rambo III, 1988) yang berlokasi di Afghanistan, Rambo menetap di pedalaman Thailand dan menjadi tukang pompong (perahu motor kayu yang kecepatannya seperti kura-kura dipasangi mesin turbo). Entah mengapa dia tidak pulang ke kampung halamannya di Amerika, dan entah apa pula yang dicarinya di pedalaman Asia Tenggara.
Jadi ketika kelompok sukarelawan medis itu kemudian diculik setelah pembantaian mengerikan di sebuah desa, tentu Rambo punya alasan untuk beraksi seperti yang penonton harapkan, dan alasan kenapa film genre perang yang sudah basi ini dibuat lagi menjadi jelas. Tentu saja Rambo bukanlah Rambo yang dulu, baju kaos nya tak pernah dibuka, dan dia dibantu oleh sekelompok tentara bayaran.
Stallone sendiri yang jadi sutradaranya, dan di tangannya film ini menjadi lebih dahsyat dan lebih banyak adegan sadis. Saya jadi bingung kenapa sampai ada ibu-ibu berjilbab membawa dua anaknya yang masih kecil untuk menonton film yang adegan perangnya dibuat serealistis mungkin ini. Adegan pembantaian penduduk desa sungguh adegan yang super sadis, dan membuat bergidik, mungkin memang hal itulah yang terjadi jika ada perang, misalnya pembasmian PKI oleh regim Soeharto, perang saudara di negara-negara Afrika, dan genocide di Serbia, Birma dan Kamboja dulu di bawah regim Pol Pot dengan Khmer Merah nya.
Fimnya dibuat singkat, dan plotnya sederhana. Ini proyek comeback Stallone yang kedua setelah Rocky Balboa (Rocky VI) tahun lalu. Tapi please, jangan ada sekuel lagi untuk kedua film tersebut. Biarlah masa-masa jaya film seperti Rambo dan Rocky kita kenang sebagai bagian dari film-film klasik masa lalu.
Artikel Terkait: Quantum Of Solace: Bond 22 There's Something About Mr. Brooks Casablanca Serendipity Negeri Hantu
Demikian ujar si pejuang gaek John Rambo ketika dimintai tolong oleh sejumlah sukarelawan medis untuk mengantarkan mereka ke desa kecil di perbatasan Burma. Setelah film terakhir (Rambo III, 1988) yang berlokasi di Afghanistan, Rambo menetap di pedalaman Thailand dan menjadi tukang pompong (perahu motor kayu yang kecepatannya seperti kura-kura dipasangi mesin turbo). Entah mengapa dia tidak pulang ke kampung halamannya di Amerika, dan entah apa pula yang dicarinya di pedalaman Asia Tenggara.
Jadi ketika kelompok sukarelawan medis itu kemudian diculik setelah pembantaian mengerikan di sebuah desa, tentu Rambo punya alasan untuk beraksi seperti yang penonton harapkan, dan alasan kenapa film genre perang yang sudah basi ini dibuat lagi menjadi jelas. Tentu saja Rambo bukanlah Rambo yang dulu, baju kaos nya tak pernah dibuka, dan dia dibantu oleh sekelompok tentara bayaran.
Stallone sendiri yang jadi sutradaranya, dan di tangannya film ini menjadi lebih dahsyat dan lebih banyak adegan sadis. Saya jadi bingung kenapa sampai ada ibu-ibu berjilbab membawa dua anaknya yang masih kecil untuk menonton film yang adegan perangnya dibuat serealistis mungkin ini. Adegan pembantaian penduduk desa sungguh adegan yang super sadis, dan membuat bergidik, mungkin memang hal itulah yang terjadi jika ada perang, misalnya pembasmian PKI oleh regim Soeharto, perang saudara di negara-negara Afrika, dan genocide di Serbia, Birma dan Kamboja dulu di bawah regim Pol Pot dengan Khmer Merah nya.
Fimnya dibuat singkat, dan plotnya sederhana. Ini proyek comeback Stallone yang kedua setelah Rocky Balboa (Rocky VI) tahun lalu. Tapi please, jangan ada sekuel lagi untuk kedua film tersebut. Biarlah masa-masa jaya film seperti Rambo dan Rocky kita kenang sebagai bagian dari film-film klasik masa lalu.
Artikel Terkait: Quantum Of Solace: Bond 22 There's Something About Mr. Brooks Casablanca Serendipity Negeri Hantu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar