Lewat Djam Malam adalah film produksi tahun 1954 yang disutradarai oleh Usmar Ismail, dan merupakan film pertama yang memperoleh penghargaan film terbaik pada FFI pertama pada tahun 1955. Skenarionya ditulis oleh sastrawan Asrul Sani, berlatar belakang keadaan Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Saya ingat pernah menonton film ini waktu kecil, jauh sebelum film Janur Kuning (yang terkontaminasi dengan propaganda heroisme tokoh Order Baru, Soeharto) menjadi hits dan menjadi tontonan 'wajib' buat anak sekolah.
Lewat Djam Malam tidak begitu keras gaungnya, antara lain karena film ini diproduksi pada masa Orde Lama, dan karena ceritanya tidak begitu populer. Sementara film-film berikutnya seperti 6 Djam Di Jogja, Janur Kunir dan Serangan Fajar lebih banyak dikenal antara lain (mungkin) karena film-film tersebut lebih kental unsur action dan heroisme nya. Lagipula, film-film belakangan sudah berwarna.
Namun dari segi plot, nilai artistik, dan narasi, Lewat Djam Malam jauh lebih baik. Ini bahkan diakui oleh Martin Scorsese, sutradara kawakan yang telah menelurkan The Goodfellas, Shutter Island, Hugo, The Departed, Casino, dan Raging Bull.
Yang menarik adalah, film ini diputar ulang di Festifal Film Cannes di Perancis baru-baru ini, dan kabarnya mendapat sambutan antusias dari penonton yang hadir. Adalah atas jasa beberapa lembaga luar negeri yang membuat film ini bisa direstorasi sehingga format digitalnya bisa dirilis ulang. Lewat yayasan World Cinema Foundation yang didirikan Martin Scorsese, film ini mendapat bantuan dana untuk proyek restorasi yang berlangsung sejak akhir 2010, dengan biaya sekitar Rp1,5 milyar. Biaya sebanyak itu dinilai wajar, karena film ini dianggap harta karun, dan dianggap sebagai salah satu dari sedikit film Indonesia yang terbaik.
Di antara penonton yang terkesan oleh film ini adalah Alexander Payne, sutradara peraih Oscar 2011 untuk filmnya George Clooney yang berjudul The Descendants. Payne yang juga anggota dewan juri Festival Film Cannes menyatakan bahwa film Lewat Djam Malam adalah film yang sangat bagus, dan merupakan harta karun tak ternilai yang berhasil menggambarkan keadaan Indonesia di jaman pasca proklamasi.
Kisahnya sendiri tentang seorang mantan tentara bernama Iskandar (diperankan oleh A.N. Alcaff) , yang kembali ke masyarakat setelah perang berakhir. Iskandar mengalami trauma, karena telah melakukan pembunuhan terhadap seorang wanita dan keluarganya atas perintah komandannya pada masa perang. Harta wanita itu dirampas, untuk kemudian dijadikan modal usaha oleh temannya setelah perang berakhir.
Pada masa itu, tentara masih berusaha menguasai keadaan dan menyelenggarakan jam malam di Bandung. Iskandar memutuskan untuk memulai kehidupan baru sebagai penduduk sipil dengan meminta pertolongan kekasihnya yang bernama Norma (diperankan oleh Netty Herawati) beserta keluarganya. Akan tetapi, ketika ia berusaha mengontak mantan kawan-kawannya dari dinas ketentaraan untuk mencari pekerjaan, dia baru mengetahui bahwa korupsi telah merajalela dengan mengatasnamakan perjuangan mereka. (Hal yang sama terjadi saat ini pada eks aktifis-aktifis reformasi yang kini duduk di pemerintahan, ketika dulu memperjuangkan reformasi untuk Indonesia yang bebas KKN, sekarang, secara ironis merekalah pelaku-pelaku korupsi).
Iskandar kebetulan bertemu dengan temannya, Puja, yang telah beralih profesi menjadi seorang germo, juga mantan atasannya, Gunawan, yang telah menjadi seorang kontraktor perusahaan yang selalu melakukan korupsi dalam setiap pekerjaannya. Gunawan inilah yang merampas harta wanita yang telah dibunuhnya untuk dijadikan modal usaha.
Melihat hal itu, Iskandar marah bukan main sehingga ia menyekap Gunawan sebagai seorang tawanan. Pada saat itu ia memaksa Gunawan untuk mengakui kesalahannya akan korupsi yang telah dilakukan dan Iskandar melihatnya sebagai usaha untuk menegakkan keadilan dan kemurnian perjuangan yang telah mereka raih dengan susah payah.
Gunawan menolak mengaku dan tidak menganggapi ancaman Iskandar dengan serius walaupun Iskandar telah menodongnya dengan senapan. Saking kesalnya, Iskandar menekan pelatuk senapan tersebut sehingga Gunawan tewas tertembak. Terkejut oleh tindakannya sendiri, Iskandar bingung dan lupa akan jam malam yang telah ditetapkan dan di antara desing peluru, kembali ke rumah Norma dalam keadaan linglung.
Film ini menggambarkan dengan gamblang, betapa terkadang idealisme harus berhadapan langsung dengan kenyataan. Dari film ini juga kita mendapat tahu, bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme memang sudah lama berurat dan berakar di republik kita yang tercinta ini.
Menonton film ini dapat membuka mata kita, bahwa film-film Indonesia jaman dahulu ternyata jauh lebih bagus kualitasnya daripada film-film sekarang, dan tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan film-film garapan produser-produser India yang selama ini merusak perfilman Indonesia dengan film-film hantu, pocong, kuntilanak dan para dedemit lainnya, terutama yang baru-baru ini mengklaim filmnya dibintangi oleh seniman kesohor asal Inggris itu.
Kapan kita bisa menonton film sekaliber Lewat Djam Malam lagi? Dalam waktu sangat dekat, tentu saja. Film ini akan diedarkan ulang minggu depan, tepatnya mulai tanggal 18 Juni, serentak melalui jaringan cineplex 21 dan Blitzmegaplex. Sementara DVD nya akan beredar beberapa bulan ke depan, yang akan dirilis oleh Jive Entertainment. (ferdy)
(Originally posted on www.ferdot.com)
Artikel terkait : The Year of Living Dangerously | Psycho | Sang Pemimpi | Benang Merah Artificial Intelligence | Atheis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar