20 Juni 2012

Hikayat Sebuah Mustika



Jagat negeri Gemah Ripah lagi gonjang ganjing. Di seantero negeri, orang-orang sedang berkeluh kesah, banyak yang mengumpat, banyak yang mengancam, banyak yang memaki. Sebagian besar warga kerajaan Gemah Ripah sedang mengekspresikan emosinya.

Rakyat mendesak para petinggi negeri untuk segera melakukan sesuatu. Para vokalis dan oportunis memanfaatkan situasi untuk mendiskreditkan Raja Selamba dan para pembantu dekatnya. Diamnya sang Raja dalam persoalan yang sedang gonjang ganjing ini dianggap sebuah kelemahan. Rakyat merasa, harga diri dan martabat bangsa sedang dipertaruhkan, dan rakyat lebih suka jika Raja menunjukkan respon nya, Raja diharapkan murka. Raja diharapkan menunjukkan taringnya. Raja boleh emosi. Demi martabat bangsa itu tadi.

Yang membuat sebagian besar warga Kerajaan Gemah Ripah sumpek adalah ulah yang dilakukan negeri tetangga, kerajaan makmur bernama Negeri Junjung Awan, yang dulunya, dulu sekali, merupakan satu kerajaan yang sama dengan Negeri Gemah Ripah, sebelum dipecah oleh sejarah invasi yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan negeri seberang. Petinggi Negeri Junjung Awan membuat statemen kontroversial, mengenai rencana mereka untuk mengambil Mustika milik negeri Gemah Ripah. Negeri Junjung Awan merasa, mereka berhak memiliki mustika tersebut karena mereka berasal dari kerajaan induk yang sama dengan Negeri Gemah Ripah. Paling tidak, Negeri Junjung Awan merasa berhak untuk berbagi kepemilikan atas mustika tersebut dengan Negeri Gemah Ripah.

Sontak wacana dari Negeri Junjung Awan tersebut menimbulkan kehebohan. Seperti yang saya kisahkan di awal tadi, rakyat Gemah Ripah langsung resah, emosi, bahkan tak kurang ada yang berkeinginan untuk menyerang Negeri Junjung Awan dan memaklumkan perang. Banyak yang menyarankan petinggi negeri untuk segera memobilisasi angkatan perang, unjuk kekuatan, dengan perahu-perahu layar yang canggihnya hampir menyamai kecanggihan dan keanyaran perahu-perahu layar milik Negeri Junjung Awan.

Tidak mau dianggap lemah oleh rakyat, maka para wakil-wakil rakyat, hulubalang, menteri dan para pembantu dekat Raja Selamba pun membuat sidang darurat. Semuanya berkumpul di balairung megah (yang konstruksinya di atas kertas cukup untuk bertahan 100 tahun, akan tetapi secara teknis hanya cukup untuk 30 tahun). Pemimpin sidang, Yang Mulia Sang Raja Selamba, pun membuka rapat.

"Saudara-saudara sebangsa, yang sedang gerah dan sumpek akibat ulah negeri tetangga. Apa yang harus kita lakukan terhadap ulah Kerajaan Junjung Awan?"

Seorang petinggi berpakaian kebangsawanan berwarna biru tua menjawab. "Paduka, Raja Selamba yang kami hormati. Tentu saja kita tidak bisa tinggal diam, tindakan Negeri Junjung Awan itu sama saja dengan menghina marwah bangsa. Sesuatu harus dilakukan, saya yakin rakyat setuju."

Lalu seorang bangsawan berpakaian kuning menimpali. "Mereka tak ubahnya pencuri, yang sejak dulu ingin selalu merampok harta benda kita. Kali ini mereka menginginkan mustika kita."

Seorang penasihat yang sudah sepuh, bernama Ki Sambal Lado, ikut merespon. "Kita harus berjuang mempertahankan mustika tersebut Paduka. Adakah hadirin sidang ini yang tau, di mana sekarang keberadaan mustika kita tersebut?"

Para hadirin dan hadirat tiba-tiba diam. Saling berpandangan.

"Kalau tidak salah, adanya di timur negeri ini, Paduka." seseorang di sudut barat ruangan menjawab.

"Bukan, berita yang saya dengar terakhir, mustika tersebut masih aman di sebelah utara negeri." sahut seseorang di sudut selatan.

"Setahu saya, sejak dulu mustika tersebut berada di barat, paduka. Tidak seorangpun yang memindahkannya kemanapun." seorang mentri yang duduk di sebelah timur ikut menimpali.

"Di selatan, pasti. Dulu hulubalang dari kampung saya pernah berkunjung ke selatan dan melihat mustika itu." sambar seseorang yang duduk di sudut utara ruangan.

"Baiklah kalau begitu, siapakah yang sekarang sedang menjaga mustika itu?"tanya sang Raja.

Yang hadir kembali terdiam dan berpandang-pandangan.

Ki Sambal Lado buka suara. "Kami tidak tahu Paduka. Sepertinya tidak seorangpun yang menjaganya, karena selama ini mustika tersebut aman-aman saja."

Sang Raja geleng-geleng kepala. "Jadi mustika itu tidak ada yang menjaganya?"

"Dulu selalu ada yang menjaganya Paduka, entah yang di timur, selatan, utara maupun barat. Tapi yang dulu selalu menjaganya sekarang sudah tua. Sudah tidak kuat untuk menjaga mustika tersebut paduka."

"Lantas?," kata Raja Selamba, " apakah tugas untuk menjaga mustika itu tidak diturunkan ke anak-anaknya, yang lebih muda?"

Ki Sambal Lado menjawab," Kami tidak tahu, Yang Mulia. Entah anak-anaknya yang tidak mau ditugaskan menjaga mustika tersebut, atau si penjaganya yang tidak sempat meneruskan tugasnya ke anak-anaknya."

"Apakah itu tugas turun temurun?" tanya Sang Raja kembali.

"Benar paduka, itu tugas turun-temurun. Penjagaan mustika tersebut diwariskan ke generasi berikutnya."

Sang Raja lalu bertanya pada bangsawan berbaju biru. " Apakah kamu tahu, bagaimana bentuknya mustika tersebut?"

Dengan gelagapan, yang ditanya menjawab," Maaf Paduka, saya tidak ingat bentuknya bagaimana. Sudah lama sekali saya tidak melihatnya."

"Saya bahkan tidak pernah melihatnya Paduka,"timpal hulubalang berbaju kebesaran merah meriah.

Sang Raja manggut manggut seperti semut yang lagi cemberut. Lalu menggeleng-gelengkan kepala, kali ini seperti sapi. Lalu ia berpaling pada sosok tua berjubah putih, beralismata putih, berkumis putih, berjanggut putih, dan bertakujeng putih. Orangtua tersebut bernama Begawan Intiro-Paksi. Raja Selamba lalu bertanya pada Sang Begawan Intiro-Paksi. "Bagaimana pendapatmu, wahai Ayahanda Penjaga Negara?"

Sang begawan, sebelum menjawab, menghela napas panjang lebih dahulu, lalu sambil mengelus-elus takujeng nya, berdehem dua kali, kemudian berkata,

"Itulah anak-anakku. Barang apapun yang tidak dijaga, akan mengundang orang untuk mengambilnya. Apalagi itu barang berharga. Ingatkah dulu, ada sebuah pulau kecil di utara kerajaan kita, tidak ada yang peduli pada pulau kecil itu. Tidak ada yang mau bertandang ke situ, untuk melihat apakah hasil buminya ada, apakah pulau itu makmur, atau gersang. Tidak ada. Karena pulau itu tidak kelihatan uangnya. Itu pulau yang tidak pernah kita pedulikan, tidak pernah kita anggap ada. Yang tahu keberadaan pulau tersebut hanya segelintir orang. Tapi di seberang pulau itu, ada negeri makmur bernama Junjung Langit. Rakyatnya menghargai setiap jengkal tanahnya, maka daripada pulau itu tidak ada yang mengurus, seperti tidak bertuan, mereka datang ke situ dan mengambilnya. Mereka periksa setiap jengkal tanah pulau tersebut, mereka uruskan dan kelola. 

Pada saat kita sadar, segalanya sudah terlambat. Kita hanya bisa teriak-teriak, marah-marah. Menuding dan mengancam, dan mulai menggerakkan otot-otot kita. Tapi mereka di Junjung Langit, tiada lain tiada bukan, tidak suka menggunakan otot, mereka itu cerdik cendikia, licik tiada tandingnya. Mereka maju dalam perundingan, dengan cerdik cendikiawan, orang-orang pandai yang tahu hukum-hukum antar kerajaan, dan lepaslah pulau itu dari kita, yang selama ini tidak kita pedulikan."

Begawan Intiro Paksi menghela nafas lagi, lalu berkata.

"Samalah adanya dengan mustika yang kita ributkan ini. Adakah anak cucu kita yang menjaga mustika tersebut? Ada tetapi sedikit sekali. Kita sibuk menjaga mustika-mustika dari negeri antah berantah, mustika-mustika dari seberang lautan yang tidak cocok dengan alam kita. Sedangkan mustika kita sendiri, apapun bentuknya itu, entah sawah ladang entah hutan, alih-alih menjaganya, kita hanya pandai memakai dan merusaknya, demi beberapa ketip dan keping uang. 

Mustika yang tengah kita ribut dan runsingkan ini, banyak yang tahu nama tapi tak tahu bentuknya. Banyak yang tak peduli untuk menjaganya. Orang dari negeri lain tahu bahwa mustika kita begitu berharga, dan mereka tahu kita tidak pandai menjaganya, tentulah mereka mau ambil, mau mereka anggap punya mereka, mau mereka jaga sebagai milik mereka. Sekarang kita penuh dengan amarah, karena terkejut dengan serta merta. Semua manusia pun begitu. Ada barang berharga yang tidak dijaga dan tidak dipakai, kita pasti mau mengambilnya. Kitapun begitu juga, kita ambil negeri kecil bernama Timurun lalu kita lepas lagi. Kita ambil juga negeri Papurasna di sebelah timur itu, tapi rakyatnya kita biarkan sengsara, sementara hasil buminya kita bagi tak sama rata dengan orang-orang dari negeri antah berantah. Untuk pulau yang sudah jadi milik kitapun, kita tidak pandai mengelolanya.

Akan tetapi tenang sajalah anak-anakku. Mustika tersebut darah daging kita, bagian dari ruh kita, dia takkan hilang asal kita selalu menjaga dan melestarikannya. Bolehlah orang dari negeri Junjung Langit atau negeri hantu belawu lain mau ambil, mau rampas, mau sebut itu mustika punya dia, tapi asal kita menjaganya betul-betul, kita lestarikan, kita suruh semua rakyat mengenali dan tahu bentuknya, dan mempelajarinya, dan menyebarkannya, maka mustika itu takkan pernah hilang dari negeri kita.

Itu adalah anugerah dari Sang Maha Pencipta, dan seluruh semestapun tahu, mustika tersebut milik kita, jadi janganlah takut ya anak-anakku, simpan saja amarah dan dendam, mari kita gunakan lebih banyak akal pikiran, dan melakukan sesuatu dengan perbuatan, bukan dengan perkataan belaka."

Hadirin dan hadirat yang menghadiri sidang tersebut pun terdiam. Dalam pikir mereka, ada betulnya juga perkataan Begawan Intiro Paksi itu. Maka tak menunggu waktu terbuang, keputusanpun diambil, bahwa mustika tersebut harus diperlakukan dengan lebih baik lagi, dan dijaga sebagai harta karun, dipelajari sebagai ruh yang berjiwa, sebagai anugerah tak ternilai dari Sang Maha Pencipta, yang harus dilestarikan tidak dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata. (Kuta, 20 Juni 2012 - by Ferdiansyah Syamhir)

Ditulis pertama kali pada www.ferdot.com 

Artikel terkait: Radio | Debu | Boya | Jiydref | Menunggu Godot | Jambul 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar