26 November 2010

Atheis

Tahun 1945 itu Hasan, seorang pegawai Jawatan Air Kotapraja Bandung, akhirnya tewas disiksa Kenpetai. Tubuhnya yang lemah dan sakit karena TBC itu tak mampu lagi menahan tekanan batin dan fisik. Malam sebelumnya kakinya ditembak karena ia terlihat mencurigakan berlari di jalan raya kota Bandung, padahal waktu itu berlaku jam malam.

Hasan tewas disiksa Jepang bukan karena ia pejuang. Ia juga bukanlah pelawan, apalagi pahlawan. Ia adalah karakter yang paling peragu dan pengecut yang pernah digambarkan dalam sastra Indonesia. Lahir di tengah keluarga yang fanatik Islam, ia lalu menjadi atheis, dan sebelum hari-hari terakhirnya, menjadi Islam lagi.

Namun walau demikian, kita tetap bersimpati padanya. Karakternya yang peragu, bimbang, cengeng, dan gampang berubah ini merupakan hasil dari perubahan jaman yang mengguncang Indonesia pada masa 30-an dan 40-an. Bagaimana seorang anak keturunan ningrat, putra seorang haji yang sejak kecil diajarkan untuk beriman dan mengikuti perintah agama tanpa reserve, bisa menjadi gamang dan berubah haluan di tengah derasnya arus pemikiran-pemikiran baru yang waktu itu sedang trend di tanah air.

Inilah novel (atau roman?) brilian yang benar-benar sukses menggambarkan keadaan sosial Indonesia di tahun 1930-an hingga 1940-an. Ditulis oleh sastrawan Achdiat K. Mihardja, novel ini terbit pada tahun 1949, telah beberapa kali dicetak ulang, dan kisahnya sungguh tak terlupakan. Dan saya sudah lama ingin menulis sesuatu tentang novel berharga ini. Saya anggap berharga karena ini adalah yang satu-satunya berani mengupas masalah atheisme dan marxisme yang dulu memang banyak merasuk di pikiran pemuda di era itu.

"Sebagai anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan takut akan neraka," demikian tuturnya. Dan dari orangtua dan para pembantunya ia sering mendapatkan kisah-kisah siksa neraka, betapa Tuhan tidak digambarkan sebagai Maha Pengasih, tapi sebagai zat yang mengancam dan menakutkan, hingga iapun melancarkan ritual-ritual keagamaan bukan karena pengertiannya akan hakekat agama, atau kerinduannya akan Sang Maha Pencipta, melainkan karena takut neraka, takut disiksa, dan sebagai semacam proteksi bagi dirinya yang kuper itu. Iman dan Islamnya adalah rasa waswas, agama jadi garis pembatas bagi dirinya dengan dunia luar. Ia bukanlah karakter yang bebas, tapi menjadi orang yang tersisih dan terasing dari hidup.

Itulah sebabnya ia jadi rapuh ketika berhubungan dengan dunia di luar garis tersebut. Dan dunia luar tersebut diwakili oleh seorang wanita modern nan cantik rupawan, bernama Kartini.

Hasan bertemu dengan kawan lamanya sejak kecil, Rusli, di kantor jawatan air. Rusli datang bersama Kartini, wanita cantik dengan dandanan modern, merokok, dan bersikap bebas. Hasan takjub dan terpesona dengan gadis itu, lalu jatuh cinta. Ia rikuh, salah tingkah, bengong, dan tak mampu berkata banyak jika berada di dekat Kartini.

Maka Hasanpun masuk ke dalam lingkungan pergaulan Rusli, Kartini, Anwar, dan Kang Parta. Mereka ini sering mengadakan rapat-rapat tak resmi di rumah Rusli, berdebat dan berdiskusi mengenai permasalahan sosial, saling memaki, tertawa-tawa, merokok, dan menyumpah Tuhan. Merekalah orang yang merasa mewakili masa depan, kaum modern yang yakin, seperti yang diucapkan Kang Parta, "bahwa tekniklah Tuhan kita." Tokoh Anwar, seniman radikal yang anarkis, selalu mengutip ucapan Karl Marx, bahwa agama adalah "candu bagi manusia".

Mereka adalah orang-orang pintar. Rusli dan Parta adalah orang pergerakan. Mereka bersekolah di luar negeri, kebanyakan di Eropa, sementara kita ketahui di Eropa lah tempat lahirnya pemikiran-pemikiran baru seperti Marxisme, Leninisme, atheisme, komunisme dan isme-isme lainnya. Pemikiran-pemikiran baru tersebut pada waktu itu sudah merasuk ke benak pemuda-pemuda Indonesia, termasuk juga di antara orang-orang pergerakan. Tak heran ide komunis dulu begitu mudahnya meluas.

Hasan tak mampu menghadapi atau menangkis argumen seperti itu, karena ia memang tak pernah bergulat dengan pertanyaan dan keraguan tentang iman dan agamanya.Tak terbiasa jadi diri yang merdeka dalam hati dan pikiran, ia akhirnya mengikut saja pandangan Rusli yang menyatakan diri ”atheis”. Tapi pergeseran pandangannya lebih didorong oleh rasa tertariknya kepada Kartini ketimbang keyakinan yang timbul—keyakinan sebagai hasil renungan yang digeluti dan menggelutinya.

Maka Hasanpun menikah dengan Kartini, tapi seperti yang sudah diduga, Hasan yang peragu, bimbang dan curiga tak pernah bisa berbahagia dengan Kartini yang berjiwa bebas, meskipun wanita itu setia. Hasan memasuki neraka yang ditakutinya sendiri, bukan di alam lain, tapi di dunia tempat hidupnya.

Maka, sampai akhir ceritanya, ia terombang-ambing antara memilih untuk mengingkari Tuhan dan kembali ke ajaran agamanya. Ia segan disebut ”atheis” bukan karena ia tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi karena, sekali lagi, ia takut siksa neraka. Hasan ibarat Hamlet dalam drama William Shakespeare, yang selalu terombang ambing dalam pilihan-pilihan, namun ia sebenarnya lebih pengecut dari Hamlet.
 

Novel ini juga penuh berisi argumen-argumen yang bagus, istilah-istilah yang waktu itu sedang trend seperti perbedaan kelas, borjuis, proletar, pemikiran-pemikiran Marx, Freud, Engelst dan lain-lain. Sebuah novel klasik yang memberikan kita sumbangan wawasan yang besar, penggambaran realita sosial yang penuh detail, dengan latar belakang sejarah yang tak akan kita dapat dari buku teks sejarah manapun.

 Dan ini ditulis lebih dari setengah abad yang lalu.
(Batam, 26 November 2010) 

Originally posted at www.ferdot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar