Umri adalah seorang anak laki-laki yang saya temui pada awal tahun 1980, sewaktu saya baru masuk SD Muhammadyah Tembilahan. Nama lengkapnya adalah Umri Zukhairi. Kami bersahabat. Sejak kelas 1 hingga kelas 4 saya sebangku dengan dia. Pada waktu naik ke kelas 5, dia menghilang.
Dia pindah sekolah ke Pekanbaru.
Tentu saja saya kehilangan. Saya sering main ke rumahnya, atau dia main ke rumah saya. Keluarganya termasuk keluarga yang rajin beribadah dan saya sering diajak mengaji atau sholat berjamaah di rumahnya.
Keluarga Umri punya kebun yang luas di luar kota dan setiap Jumat siang kami ke kebunnya menghabiskan waktu, makan buah sawo, kelapa muda, jeruk, main rakit batang pisang, main perang-perangan, dan lain-lain.
Pada waktu itu dia tidak pernah bilang mau pindah. Kami masih anak-anak, jalan pikiran kami tentu berbeda dengan orang yang lebih dewasa. Bagi Umri, mungkin dia berpikir tak perlu memberitahu saya soal rencana kepindahannya.
Padahal kami berdua adalah sahabat karib. Dan sejak naik ke kelas 5 itu saya tak pernah melihatnya lagi.
Pertengahan tahun 90-an, gara-gara mengantarkan seorang veteran perang dunia ke 2 bernama Gerald Martin yang kelaparan ke sebuah restoran steakhouse di Batam, saya berkenalan dengan Endang Pujowati. Nona manis ini punya wawasan yang luas tentang berbagai jenis steak, dan merupakan teman yang enak diajak ngobrol.
Saya jatuh hati dengannya, dan sering menghabiskan waktu di Steakhouse. Jika ada duit, saya makan steak, jika lagi cekak, saya cuma makan kentang goreng. Yang penting saya ketemu dengan Endang Pujowati. Sayapun sering mengajaknya keluar, nonton, makan-makan, ke danau, ke pantai. Kamipun berpacaran. Setahun kemudian, kami menikah.
Acaranya diadakan di Batam. Pada saat akad nikah dilaksanakan, dari pihak keluarga istri saya, ada seorang laki-laki pemalu yang terus menerus memandang saya. Sayapun merasa pernah melihatnya sebelumnya, tapi tak ingat di mana atau kapan. Jadi sayapun bertanya pada istri saya, siapa laki-laki itu.
Istri saya bilang laki-laki itu adalah sepupunya, dan namanya adalah Umri Zukhairi.
Dia pindah sekolah ke Pekanbaru.
Tentu saja saya kehilangan. Saya sering main ke rumahnya, atau dia main ke rumah saya. Keluarganya termasuk keluarga yang rajin beribadah dan saya sering diajak mengaji atau sholat berjamaah di rumahnya.
Keluarga Umri punya kebun yang luas di luar kota dan setiap Jumat siang kami ke kebunnya menghabiskan waktu, makan buah sawo, kelapa muda, jeruk, main rakit batang pisang, main perang-perangan, dan lain-lain.
Pada waktu itu dia tidak pernah bilang mau pindah. Kami masih anak-anak, jalan pikiran kami tentu berbeda dengan orang yang lebih dewasa. Bagi Umri, mungkin dia berpikir tak perlu memberitahu saya soal rencana kepindahannya.
Padahal kami berdua adalah sahabat karib. Dan sejak naik ke kelas 5 itu saya tak pernah melihatnya lagi.
Pertengahan tahun 90-an, gara-gara mengantarkan seorang veteran perang dunia ke 2 bernama Gerald Martin yang kelaparan ke sebuah restoran steakhouse di Batam, saya berkenalan dengan Endang Pujowati. Nona manis ini punya wawasan yang luas tentang berbagai jenis steak, dan merupakan teman yang enak diajak ngobrol.
Saya jatuh hati dengannya, dan sering menghabiskan waktu di Steakhouse. Jika ada duit, saya makan steak, jika lagi cekak, saya cuma makan kentang goreng. Yang penting saya ketemu dengan Endang Pujowati. Sayapun sering mengajaknya keluar, nonton, makan-makan, ke danau, ke pantai. Kamipun berpacaran. Setahun kemudian, kami menikah.
Acaranya diadakan di Batam. Pada saat akad nikah dilaksanakan, dari pihak keluarga istri saya, ada seorang laki-laki pemalu yang terus menerus memandang saya. Sayapun merasa pernah melihatnya sebelumnya, tapi tak ingat di mana atau kapan. Jadi sayapun bertanya pada istri saya, siapa laki-laki itu.
Istri saya bilang laki-laki itu adalah sepupunya, dan namanya adalah Umri Zukhairi.
Ada berapa orang yang bernama Umri Zukhairi di dunia ini? Bagi saya itu adalah nama yang langka, dan pemiliknya hanyalah satu orang, yaitu sahabat saya waktu kecil.
Jadi kamipun bertemu lagi, setelah sekian lama. Dulu kami bertemu saat masih jadi anak-anak yang nakal, sekarang kami bertemu di saat sudah dewasa.
Rupanya tante dari istri saya menikah dengan pamannya Umri, dan disinilah kami bertemu. Waktu itu saya hampir menangis terharu, mungkin karena waktu itu suasananya terasa sakral, dan saya tidak saja mendapatkan seorang istri, tapi juga mendapatkan kembali sahabat lama yang dulu hilang.
(Karena hal inilah, saya percaya dengan teori Six Degrees of Separation atau Fenomena Dunia Kecil, yang pernah saya tulis di blog ini beberapa waktu yang lalu).
Sungguh misterius bagaimana sesuatu bisa terjadi, dan Tuhan punya jalannya sendiri untuk mempertemukan orang-orang.
--------------------------------------------------
Artikel terkait : Six Degrees of Separation | Menunggu Godot | Mata Hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar