30 Oktober 2010

Debu

Seorang pemimpin masjid Lakemba di Sydney, Australia, mengatakan: Tuhan memang Mahakuasa, tapi ”selama tsunami mengikuti hukum fisika”, kita tak bisa menyalahkan bencana itu kepada-Nya."

Jika tak ada intervensi Tuhan dalam hukum fisika, bisa dikatakan juga tak ada campur tangan-Nya dalam kebrutalan manusia. Tapi dengan begitu bukankah Ia akan tampil tidak sebagai pelaku, atau sebagai Ia yang tak peduli, seperti letusan Merapi yang ganas yang tanpa pandang bulu meluluhlantakkan manusia, baik manusia yang sholeh maupun yang kafir?

Imam tersebut tak hendak mengatakan bahwa Tuhan sudah tidak peduli pada manusia.

Bahwa Ebiet G. Ade juga bersyair bahwa "mungkin Tuhan telah mulai bosan melihat tingkah kita", belum tentu memang demikianlah hakikat yang tersirat dari syair lagu tersebut, karena itulah, Ebiet menggunakan kata "mungkin".

Perkataan imam masjid di Sydney tersebut, dan syair Ebiet, menunjukkan bahwa tak ada yang benar-benar memahami Tuhan, bahkan orang-orang yang merasa atau mengklaim dekat kepadaNya.

Dalam keadaan tak bisa memahami tersebut, maka manusia menggunakan pemahaman yang didasarkan pada sifatnya sendiri. Bahwa Tuhan telah bosan, sebagaimana manusia bisa bosan. Bahwa Tuhan itu adil ketika sebuah negeri mendapat rahmat, dan adil tersebut adalah adilnya ukuran manusia. Dan ketika sebuah negeri tertimpa bencana, kitapun tidak bisa mengatakan apa-apa lagi kecuali kalimat berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Tak ada yang berani bilang bahwa Tuhan tidak adil. Di hadapan kekuatan alam yang dahsyat dan membinasakan tersebut, kita bisa merasakan betapa tak pedulinya alam pada manusia.

Sejarah panjang kehidupan manusia memang penuh bencana. Dalam kitab-kitab suci, dikisahkan betapa Tuhan menghukum suatu kaum yang durhaka dengan bencana alam. Kaum Nuh diberi banjir besar, kaum Luth, di mana mayoritas penduduknya gay dan lesbian, diberi gempa "yang membolak balikkan tanah, yang atas menjadi di bawah, dan yang bawah menjadi di atas", sementara orang-orang Mesir diberi wabah belalang dan sungai Nilpun merah darah.

Pada letusan Merapi dan tsunami di Mentawai baru-baru ini, bisakah kita mengatakan bahwa para korban Merapi tersebut adalah kaum yang durhaka, sehingga Tuhan menimpakan azab dan bencana kepada mereka? Tsunami di akhir tahun 2005 yang menewaskan hampir jutaan manusia, bisakah kita mengatakan bahwa orang-orang di Aceh secara pukul rata adalah orang-orang durhaka yang patut binasa?

Pada saat inilah, banyak yang menyadari, bahwa manusia, umatNya, benar-benar tidak sanggup memahami Sang Maha Kuasa. Tak bisa kita nilai tindakan Yang Maha Kuasa tersebut berdasarkan nilai-nilai manusia, setinggi apapun harkat dan derajat manusia tersebut. Tak bisa kita nilai dengan konsep crime and punishment ala manusia. Jika terjadi bencana, barulah manusia, para khafilah di muka bumi, merasa takluk, takjub, dan tak kuasa menghadap Sang Pencipta. Barulah rasa kecil, tak bernilai laksana debu, muncul ke permukaan. Dalam keadaan 'laksana debu' tersebut, mungkin, barulah kita menyadari bahwa Tuhan itu tidak terukur, bahwa Tuhan sungguh tak terpermanai.

Mungkin kesadaran laksana debu inilah yang tak sempat hadir dalam hati sanubari para perusak alam, yang membabat hutan dan membakarnya demi sebuah perusahaan pengolah sawit yang bernama Wilmar Group. Juga tak sempat hadir dalam hati sanubari para politikus, yang jadi raja di dunia fana ini dan menindas dan menipu orang-orang kecil. Juga tak sempat hadir di hati sanubari para pemimpin bangsa, yang sibuk mengelola dan meningkatkan citra dirinya di hadapan publik daripada mengelola kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana ia telah diamanatkan.

Juga tak sempat hadir di hati sanubari pejabat yang berwenang, yang kealpaan dan keserakahannya menyebabkan Mentawai tidak memiliki alat pendeteksi tsunami.

Sebagaimana kata bang Iswanda Asmara, tak peduli betapa dahsyat dan menakutkannya bencana tersebut, itu hanyalah sentilan. Namun sentilan tersebut telah meluluhlantakkan debu tadi sehingga beterbangan.

Saya dan anda, kita semua, hanyalah debu. 
(Batam, 30 Oktober 2010) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar