Bagian Pertama
Pada 9 September tahun 1999, di Batam, sebuah stasiun radio gelap memulai siaran perdana. Menggunakan pemancar yang dibuat khusus oleh seorang guru yang mengajar elektronika di STM, radio tersebut mengudara di jalur FM dengan multi frekuensi. Pendirinya, seorang wanita cantik misterius bernama Ygga, menambahkan semacam amplifier khusus buatan Jerman untuk memperkuat sekaligus membuat frekuensi radio tersebut 'beranak' hingga enam saluran.
Jadi, jika kita secara iseng melakukan scanning (pada tuner digital) ataupun memutar tombol analog untuk menjelajah stasiun-stasiun, kita akan menemukan siaran tersebut sebanyak enam kali. Dua titik frekuensinya menimpa sebuah radio fm berbahasa India dari Singapura, dan satu lagi menimpa sebuah radio berita dari Malaysia. Di udara kota Batam, dalam alokasi frekuensi dari 87,5 hingga 108 MHz, kita bisa menemukan lebih dari 30-an stasiun, baik yang jernih dan stereo maupun yang tidak, jadi pilihannya memang cukup banyak.
Stasiun radio tersebut berada di salah satu bukit di pesisir pulau, dan akses ke sana hanya terdiri dari sebuah jalan aspal kecil mendaki. Konsep radionya sendiri easy listening, tidak ada penyiar yang cuap-cuap di antara lagu, hanya jingle singkat menarik yang berbunyi: "CHOS FM". Tidak disebutkan angka frekuensinya dalam jingle tersebut, karena alasan yang sudah jelas tadi.
Dengan segera radio gelap tersebut jadi populer, antara lain karena konsep easy listening tadi, dari sign-in pukul 6 pagi hingga sign-off pukul 00.00 hanya menyiarkan musik, musik dan musik. Pilihan musiknya adalah lagu-lagu kontemporer disertai klasik top 40.
Banyak orang bertanya-tanya dari mana asal siaran tersebut, tapi banyak juga yang tidak peduli dan hanya ingin menikmati siarannya. Tapi yang jelas waktu itu radio tanpa ijin tersebut menjadi trend, dan didengar oleh warga Batam, Singapura dan Johor Bahru.
Enam bulan kemudian, radio tersebut memiliki ijin resmi, dengan frekuensi resmi berada di titik 99.9 MHz. Anehnya, tidak ada siaran komersial sama sekali, seolah-olah stasiun tersebut adalah perusahaan non profit. Tidak ada iklan, sponsor, promo, dan tidak ada acara off-air, yang berarti tidak ada income. Namun radio tersebut tetap mengudara, hingga beberapa waktu kemudian ia tiba-tiba berhenti, menghilang dari udara, menyusul kejadian-kejadian aneh dan nyaris tak masuk akal, dan beberapa kecelakaan mengerikan, yang kisahnya sedikit banyak melibatkan aku dan seorang temanku.
Beginilah ceritanya.
Pada waktu itu aku sedang bekerja di sebuah hotel berbintang di kawasan Nagoya. Aku ingat waktu itu bulan Mei tahun 2000, euforia orang-orang setelah lolos dari bencana kiamat komputer (Y2K) sudah lama hilang, dan film Gladiator yang dibintangi Russel Crowe menjadi box office dan meraih Oscar untuk aktor, sutradara dan film terbaik. Aku menumpang mobil temanku sepulang nonton film tersebut di cineplex di Baloi Indah. Fausto, kawanku itu menghidupkan radio dan tune in ke frekuensi 99.9 MHz, sebuah lagu lama dari Rolling Stone yang berjudul Paint It Black pun terdengar, disusul jingle apik yang berbunyi "Chos FM".
"Aku suka radio ini," kata Fausto." Ada banyak frekuensi, tapi yang sembilan sembilan koma sembilan ini yang paling jernih suaranya."
"Aku dah lama suka, radio di kamarku juga tune in di situ," sahutku.
"Kenapa suaranya lebih bagus dari stasiun lainnya ya." kata Fausto lagi.
"Alatnya bagus mungkin."
"Kapan-kapan kita mesti ke sana, aku mau tahu di mana lokasinya. Katanya di Sekupang."
"Yang di Sekupang itu Ramako."tukasku.
"Ramako di Tanjung Pinggir. Chos FM mungkin tak jauh dari situ."
"Coba dengarkan pada waktu radionya signing off, mungkin disebutkan alamatnya."
"Sudah kudengarkan, tidak ada. Penyiarnya kan memang tidak pernah ngomong."
Tiba-tiba Fausto menghentikan mobilnya, jalan di depan macet. Banyak orang dan kendaraan menumpuk di depan Kafe La Fontha.
"Mungkin ada kecelakaan." kata Fausto. Ia meminggirkan mobil ke bahu jalan dan mematikan mesin.
"Mau ke mana? Kita tunggu aja, sebentar lagi juga jalan."
"Aku mau tahu ada apa di depan."
Akupun ikut turun mengikuti Fausto.
Di depan La Fontha ada keributan. Ada asap dan bau menyengat, dan orang-orang sibuk berteriak. Aku penasaran, tapi tidak mau mendekat. Fausto menghilang di antara kerumunan. Beberapa saat ia muncul lagi dan menarik lenganku.
"Ada orang dibakar massa."lapornya.
"Apaaaaa!?"
"Dia dikira pencopet, ada yang berteriak copet-copet, dan setelah ketangkap, ada yang berteriak bakar, bakar, lalu massa yang kesetanan membakar orang itu."
"Kasihan." kataku. Kalau memang dia copet, sungguh tak layak dia menerima hukuman main hakim sendiri seperti itu. Orang mencopet mungkin agar bisa bertahan hidup. Hmmm, massa yang kesetanan.
"Berarti sedang ada setan di sini," kataku ketus.
Setan di antara massa yang beringas, tinggal teriakkan kata "bakar", maka orang-orang yang tak terkendali ini bakalan gampang dihasut.
Akhir-akhir ini tingkat kriminalitas di Batam meningkat drastis. Ke mana-mana sudah tidak aman lagi. Peningkatan kejahatan yang terlalu tajam ini sebenarnya aneh, tapi orang-orang seperti tidak peduli. Seolah-olah dianggap sebagai hal yang jamak. Sementara itu kemaksiatan merajalela. Para pelacur berkeliaran di mana-mana di siang bolong, dengan handphone Alcatel, Ericsson dan Nokia menonjol di saku belakang celana mereka. Fasilitas judi bertebaran di penjuru kota, dalam bentuk permainan ketangkasan elektronik, tebak bola, dan lain-lain. Batam waktu itu ibarat Soddom dan Gomorah, yang menunggu waktu untuk dihancurkan.
Fausto menarikku ke tengah kerumunan. Lalu aku melihatnya, tubuh gosong sebagian, bau menyengat, wajah orang yang malang itu masih terlihat utuh, orang Flores. Tak sanggup aku melihatnya. Lalu Fausto mencuilku.
"Coba lihat orang pake kemeja jins biru di situ."kata Fausto.
Aku mengikuti arah telunjuk Fausto. Yang dimaksudkannya adalah lelaki tegap tampan, dengan rambut ikal, postur tinggi dan memakai kemeja jins biru tua.Tidak ada yang aneh dengan orang itu.
"Aku sering melihat dia." tambah Fausto lagi. "Di kerumunan seperti ini juga."
"Lantas kenapa?"
"Aku melihatnya dua apa tiga kali ya, pakaian yang sama, suasana yang sama."
"Itu dejavu. Terus?"
"Ada kecelakaan minggu lalu di arah Batu Aji, seorang guru STM korbannya, motornya ditabrak mobil. Di antara kerumunan yang melihat di lokasi kecelakaan, aku melihat orang itu."
Aku memperhatikan orang yang kami bicarakan. Pandangannya lurus ke arah korban yang gosong, ekspresi wajahnya tak bisa ditebak. Aku juga tidak bisa memastikan berapa umurnya.
"Dia selalu ada jika ada kecelakaan seperti ini."tambah Fausto.
"Kau baru melihatnya dua kali," kataku.
"Tiga kali."
"Yakin?"
"Yakin. Coba lihat penampilannya, terlalu mencolok kan. Tinggi menjulang seperti itu, tubuh tegap, dia gampang diingat."
"Tiga kali itu kebetulan, Fausto."
"Terlalu banyak untuk kebetulan."
"Hmmm. Lantas yang satu lagi apa?"
"Di Batam Center, kecelakaan. Aku tak ingat siapa yang kecelakaan, dia perempuan. Kira-kira tiga minggu yang lalu, kerumunannya pun seperti ini. Orang banyak menonton, bukan membantu. Dan di antara orang-orang, ada dia itu. Pakaiannya sama."
"Bagaimana kau bisa selalu ada di tempat tiga kecelakaan ini?"
"Sama seperti kejadian yang sekarang, kebetulan lewat."
"Nah diapun mungkin kebetulan lewat juga."
Kemudian, tiba-tiba suasana menggelap, aku jadi merinding. Rupanya awan tebal sedang menutupi matahari. Aku melihat orang yang disebut Fausto misterius itu. Pada saat itu, dia juga memandang ke arahku. Atau memandang Fausto, aku tak yakin. Tapi pandangannya sangat tajam menusuk. Aku lihat Fausto tertunduk. Aku sendiri masih merinding. Kemudian dia menoleh ke arah lain, mundur dari kerumunan orang-orang.
"Kita ikuti dia." Fausto mendorongku ke samping.
"Untuk apa?" protesku.
"Kau hari ini libur kan?"
"Iya."
"Kita ikuti orang itu, anggap saja iseng."
Aku pikir Fausto sedang ingin bermain-main ala film Hollywood. Tapi apa salahnya, toh aku tidak memiliki kegiatan lain sore itu.
Aku melihat orang yang dimaksud sedang menuju ke arah mobil yang diparkir, sebuah Mazda Astina warna biru tua. Kami bergegas ke mobil Fausto dan bersiap-siap mengikuti mobil tersebut.
Membuntuti sebuah mobil dalam kota yang padat lalu lintasnya ternyata tak segampang seperti di film-film. Beberapa kali kami ketinggalan, seolah-olah Mazda Astina itu lenyap di telan bumi. Namun kami berhasil menemukannya lagi begitu Fausto menambah kecepatan. Mobil yang kami kuntit melaju kencang ke arah Tiban, lalu berbelok ke Sekupang.
Aku suka suasana Sekupang, jalan-jalannya teduh dengan pohon-pohon tua yang rindang. Lalu lintasnya juga tidak begitu ramai. Ada beberapan telaga yang indah tempat orang mancing ikan. Perbukitannya, terutama daerah Patam, sangat asri, sejuk dan tenang, dan ada sedikit kesan misterius pada suasananya.
Mazda Astina itu berbelok ke kanan, melewati Guesthouse Otorita, melewati gedung Lembaga Pemantau Gelombang Radio, lalu masuk ke jalan kecil dengan tanda verboden di sampingnya. Ada tulisan kecil bertuliskan "Yang tidak berkepentingan di larang memasuki jalan ini."
Fausto menghentikan mobilnya.
"Bagaimana ini? Apa kita terus?"
"Ini lahan pribadi kayaknya, tak semua orang diijinkan."
"Kita masuk aja ya."
"Jangan, suara mobilmu kedengaran."
Fausto memutar mobil, lalu parkir di depan gedung Lembaga Pemantau Gelombang Radio. Kami memutuskan untuk jalan kaki.
Jalan aspal kecil tersebut mendaki, lalu mendatar. Di sebelah kanannya ada rumah besar dari kayu dengan atap yang aneh, bentuknya seperti daun yang besar, terbuat dari sirap. Di depan rumah tersebut hanya terparkir sebuah jip tua, tidak ada Mazda Astina. Jalan di depan makin sempit, dinaungi pohon-pohon akasia yang ujung daunnya saling beradu. Kemudian jalannya melebar, turun ke bawah, bercabang menjadi 3 arah. Ada rumah besar di salah satu sudut jalan, dan kami melihat mobil Mazda Astina di balik pagar besi. Di samping rumah tersebut terdapat tower berwarna biru putih yang tingginya kira-kira 30 meter. Di kejauhan terlihat laut biru, dan kapal-kapal tanker yang sedang berlabuh di perairan Sekupang. Gedung-gedung pencakar langit di Singapura terlihat samar-samar di latar belakang.
Suasana sepi seperti kuburan. Tidak ada suara burung, hanya desau angin sore yang membuatku kedinginan. Kami memutar ke arah pintu gerbang rumah tersebut. Sebuah plang merk yang besar membuat kami terhenyak.
"PT. (Radio) Cakrawala Hades Omega Sheol"
CHOS FM - 99.9 MHz
Stasiun Radio itu!
Tapi kok sepi? Tidak ada suara apapun, dan hanya terlihat satu kendaraan diparkir di situ. Kami punya alasan untuk masuk ke sini, sebagai fans. Fausto pun mendorong pintu gerbang yang ternyata tidak dikunci dan kami masuk ke dalam. Suasananya terlalu sunyi untuk sebuah stasiun radio swasta. Tidak terlihat siapa-siapa, kami melewati semacam ruang tamu yang bersih dan rapi. Di dinding terlihat poster-poster iklan kosmetik dari Procter & Gamble, poster Jimi Hendrix, Elvis Presley, Led Zeppelin, Queen, dan poster aneh bergambar bintang segi lima. Ada juga sebuah poster bergambar bulan sabit dan bintang dengan posisi terbalik, sebuah lambang palang merah dengan sisi yang tegak berlebih ke atas, mirip salib terbalik.
Di ujung ruang tamu ada tiga pintu, satu bertuliskan Music Director, satu bertuliskan Studio dan lampu neon hijau bertulisan On Air, dan satu lagi pintu bertuliskan Conference Room.
Hmmm, seharusnya meeting room, pikirku.
Ada jendela kaca di ruang studio, kami menengok ke dalam, tidak ada siapa-siapa di situ, hanya peralatan siaran yang sedang hidup, sebuah komputer desktop, dan sebuah lemari besar penuh dengan cd. Tidak ada yang sedang siaran, tapi dari dalam studio tersebut sayup-sayup terdengar suara musik. Kami menuju ruang Music Director, tapi ternyata terkunci. Lalu kami berdua berjalan ke arah Conference Room yang pintunya ternyata tidak dikunci. Aku terbelalak.
Betul lah ini conference room, karena lumayan luas. Ada jejeran puluhan kursi, mungkin ratusan. Di ujung ruangan terdapat semacam panggung kecil, ada keyboard di situ, ada layar untuk proyektor, dan dari langit-langit tergantung patung berbentuk bulan sabit dan bintang terbalik, dan salib terbalik. Langit-langitnya berwarna hitam dengan jejeran lampu downlight yang cahayanya redup. Samar-samar di sudut ruang aku melihat sebuah gong berwarna keemasan. Untuk apa tempat seperti ini ada di sebuah stasiun radio? Pada saat bertanya-tanya dalam hati begitu, aku lihat Fausto memandang ke arahku seperti terperanjat, dia berteriak,
"Awas!!!"
Lalu semuanya gelap.
Lalu aku melayang di kegelapan, tanpa gravitasi. Kepalaku sakit dan tubuhku berputar-putar tak tentu arah, lalu kulihat cahaya yang menyilaukan di depan, dan telingaku berdenging. Tiba-tiba aku merasa terhempas.
Pada saat aku siuman, kulihat Fausto berdiri memandangku dengan tatapan kuatir. Aku duduk di kursi dalam sebuah ruangan berwarna abu-abu, tanpa hiasan apapun. Ada jendela dari kaca nako, bohlam kuning di langit-langit, dan di lantai ada sepasang sepatu yang terasa familiar. Sepatuku. Kenapa sepatuku dilepas? Akupun lalu bangkit dari kursi, namun tak bisa. Ternyata kedua tangan dan kakiku terikat di kursi dengan kawat tembaga yang cukup tebal.
Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Fausto, tapi tidak ada suara yang keluar. Mulutku bergerak-gerak mengucapkan sesuatu tanpa suara. Fausto memandangku kuatir lalu berkata,
"Maafkan aku kawanku. Aku terpaksa melakukan ini."
Aku masih tak mengerti. Lalu aku mendengar suara di belakangku, suara yang berat, merdu dan berwibawa.
"Halo, selamat datang ke Chos FM."
Aku berusaha menoleh, tapi leherku sakit. Rupanya bagian belakang kepalaku telah dipukul hingga aku pingsan. Sumber suara tersebut berjalan memutar, dan kali ini ia tepat di depanku, di samping Fausto.
Dia adalah laki-laki yang kami buntuti tadi. Tinggi, ganteng, berkemeja biru, dan bersuara berat. Dia tersenyum ke arahku.
"Oke, langsung saja ya, " katanya lagi." Pasti kau bertanya-tanya apa yang sedang terjadi sekarang. Namaku Mammon. Dan kau ada di sini karena kau adalah teman Fausto. Fausto adalah fans Chos FM yang pertama kali berhasil menemukan studio kami, dan dia adalah jemaat kami."
"Oh, maaf," katanya lagi. Lalu ia mengusap leherku. Akupun berteriak, dan kali ini suaraku keluar. Aku memaki-maki, menyumpah-nyumpah dan mengancam, lalu aku kecapean sendiri.
"Fausto, tolong lepaskan aku." kataku.
Mammon tersenyum memandang Fausto, lalu ia menepuk-nepuk pundak Fausto. "Sudah kubilang ia jemaat kami."
"Jemaat?"tanyaku
"Ya, anggota Chos. Anggota kami di Batam sudah 400-an, Fausto adalah anggota pertama."
Seberapa jauh aku mengenal Fausto, yang bernama asli Farid Arius Ardito, (ia lebih suka namanya disingkat jadi Fausto)? Aku ingat aku baru mengenalnya setahun terakhir ini.
"Kalian ini siapa?" tanyaku.
Mammon lagi-lagi tersenyum. Ia berkata," Fausto yang menjelaskan, atau aku?" Fausto diam saja, maka Mammon berkata lagi. "Chos itu sebenarnya singkatan dari Church of Satan." Kemudian Mammon diam menunggu reaksiku.
Tentu saja aku terkejut. Aku pernah membaca artikel mengenai Church of Satan atau Gereja Setan. Sebutannya bisa apa saja, karena organisasi ini lahir di Amerika dan orang-orang di sana lebih mengenal gereja sebagai tempat ibadah, maka organisasi ini memakai istilah gereja. Yang jelas jika mesjid, gereja, atau tempat ibadah lain adalah tempat memuja Tuhan, di Church of Satan tentu saja mereka menyembah setan. Aku ingat samar-samar pengantar di situs resmi mereka, yang beralamat di www.churchofsatan.com . Didirikan tanggal 30 April 1966 oleh Anton Szandor Lavey, organisasi ini menyatakan diri sebagai "the first above-ground organization in history openly dedicated to the acceptance of Man’s true nature—that of a carnal beast, living in a cosmos which is permeated and motivated by the Dark Force which we call Satan." Website tersebut baru saja diluncurkan tahun 1999 yang lalu. Itu tahun yang sama dengan siaran perdana radio ini.
"Ya, kami mau buka cabang di sini. Di Manado dan Medan juga. Tapi tentu saja kami tak bisa terang-terangan kalau di Indonesia. Apa jadinya kalau di depan bangunan ini tertulis Church of Satan atau Gereja Setan? Makanya kami samarkan dengan stasiun radio, Cakrawala Hades Omega Sheol FM." kata Mammon.
Aku ingat Hades dalam literatur Yunani adalah penjaga neraka, dan Sheol sendiri artinya neraka.
"Langkah kami adalah buka cabang dan rekrut anak-anak muda sebanyak-banyaknya. Radio adalah sarana yang tepat, karena anak-anak muda suka musik. Kami tak bisa mengharapkan orang-orang tua sebagai anggota kami, sebentar lagi mereka toh mati. Kelangsungan organisasi ini ada di tangan anak-anak muda yang masih fresh pikirannya, mereka adalah pemimpin masa depan.“
„Kau belum bertemu Ygga, dia pendiri stasiun radio ini. Dia mengimpor perangkat siaran khusus dan amplifier dari Jerman. Kami bisa mengirim pesan-pesan tertentu melalui frekuensi tertentu lewat pemancar kami. Sudah pernah dengar istilah efek Mozart? Kami mempengaruhi kalian, para pendengar, melalui musik, dengan frekuensi tertentu kami sampaikan pesan-pesan Church of Satan ke benak kalian, yang tak menyadari bahwa di balik musik-musik populer yang kami siarkan, terdapat pesan tersembunyi. Pesan-pesan yang merusak, yang tertanam di benak menunggu untuk dimunculkan. Terekam dalam alam bawah sadar kalian, bahwa kalian akan melakukan tindakan-tindakan destruktif. Tidakkah kau menyadari hal ini berhasil, bukankah tingkat kejahatan di kota ini meningkat akhir-akhir ini?"
"Kenapa Batam? Kenapa tidak tempat lain?" tanyaku.
Mammon tertawa. "Batam memiliki tingkat aborsi yang tinggi."
Sebelum aku sempat memikirkan apa hubungannya tingkat aborsi dengan segala hal ini, tiba-tiba pintu terbuka. Cahaya dari luar pintu terang benderang, membentuk siluet seorang wanita tinggi semampai, terlihat bentuk rambutnya yang lurus panjang, namun wajahnya belum kelihatan.
Kulihat Mamon tersenyum, lalu bergerak ke arah siluet hitam itu. Dia menggumamkan sesuatu kepada wanita tersebut, lalu menyingkir ke pinggir. Wanita itu maju mendekatiku.
Belum pernah aku melihat wanita secantik itu. Rambutnya halus agak kepirangan, wajahnya bening bagaikan porselen cina, matanya berwarna cokelat di sebelah kiri, dan hitam kebiruan di sebelah kanan. Hidungnya mancung, dagu berbelah dan senyumnya sungguh luar biasa. Aku serasa pernah melihat senyum seperti itu sebelumnya, tapi tak ingat kapan dan di mana.
"Aku Ygga. Aku pemilik stasiun radio ini," katanya dengan suara yang lembut. Belum pernah aku mendengar suara semerdu itu sebelumnya.
"Kenapa aku diikat,"tanyaku. "Aku mau kalian apakan?"
"Fausto ingin membuktikan kesetiaannya pada kami. Ia kami jamin hidupnya sampai usianya berakhir. Namun ia harus menyerahkan sahabatnya."
Aku memandang Fausto dengan sengit. "Aku bukan sahabatnya. Dia cuma kenalan biasa,"kataku.
Ygga tersenyum lagi. Aku harap aku tidak pingsan melihat senyum menawan itu."Tidak begitu menurut Fausto. Hmm, acaranya masih beberapa jam lagi, tepat tengah malam, tepat setelah siaran radio dihentikan untuk hari ini. Kalian berdua kutinggal dulu di sini. Fausto, berilah sahabatmu makan dan minum, beberapa jam lagi aku dan Mammon kembali."
Ygga dan Mammon meninggalkan ruangan. Tinggalah aku dan Fausto. Aku langsung memaki-maki Fausto dengan segala macam sumpah serapah yang bisa aku ingat, aku juga menyebutkan beberapa penghuni kebun binatang, dan kulihat Fausto diam saja dengan pandangan khawatir. Dalam beberapa jam selanjutnya, lama setelah aku puas memaki-maki yang akhirnya kusadari tak ada gunanya, Fausto kemudian memberikan penjelasan.
Ia menemukan stasiun radio Chos FM secara tak sengaja di akhir bulan September 1999. Waktu itu ia sedang mencari lokasi memancing yang baru. Kendaraannya mogok persis di depan bangunan ini, jadi ia mengetuk pintu untuk minta bantuan. Yang membukakan pintu adalah Ygga, dan serta merta Fausto jatuh hati kepadanya. Menurut Fausto Ygga adalah orang Filipina, namun bisa berbahasa Indonesia dengan fasih, dan ternyata Ygga memang menguasai lebih dari 5 bahasa di luar bahasa Indonesia dan Tagalog. Kemungkinan besar Ygga keturunan Spanyol, demikian menurut Fausto.
Karena tertarik pada Ygga, Fausto jadi sering berkunjung ke stasiun radio tersebut, saat statusnya masih sebagai radio tak berijin. Lama-lama ia merasa makin akrab hingga Ygga pun mulai berterus terang padanya. Mammon sejak semula ada di situ, namun tak jelas apa hubungan atau status Mammon. Ygga dan Mammon kemudian memberitahu Fausto siapa mereka sebenarnya, dan kemudian Fausto diberi dua pilihan, bergabung dan membantu mereka, atau mati. Fausto tidak ingin mati. Karena ia terkagum-kagum pada Ygga, Fausto selalu menurut pada apapun yang dikatakan Ygga.
Church of Satan adalah organisasi resmi dan diakui di Amerika Serikat. Ia adalah organisasi pertama yang terang-terangan mendedikasikan tujuannya untuk mengembalikan fitrah manusia sebagai satu-satunya makhluk manusia yang hidup di kosmos ini yang dipengaruhi oleh kekuatan gelap, yaitu setan itu sendiri. Pendirinya, Anton Lavey, merupakan selebritis yang terkenal di kalangan tertentu di Hollywood dan sering menjadi penasehat teknis untuk film-film horror. Salah satu film di mana ia terlibat aktif adalah The Devil's Rain yang dibintangi sang TJ Hooker, William Shatner, dan merupakan film pertamanya John Travolta.
Lambang Gereja Setan adalah bintang segi lima, atau pentagram, yang sudut-sudutnya membentuk kepala kambing bertanduk (Baphomet). Ritual-ritual pagan sejak dulu selalu memakai simbol pentagram yang ditulis atau diukir pada permukaan kayu.
Salah satu anggota aktifnya adalah pemilik saham terbesar dari perusahaan multinasional Procter & Gamble, yang memproduksi household merk-merk terkenal seperti Wella, Zest, Rejoice, Pantene, Pampers, Mr. Clean, Head & Shoulders dan lain-lain. Tak heran beredar rumor bahwa perusahaan korporat tersebut milik Gereja Setan.
Untuk Indonesia, mereka membuka cabang di Batam dan Manado. Yang dimaksud dengan tingkat aborsi yang tinggi tadi adalah karena dalam beberapa ritual mereka, organ bayi selalu diperlukan. Dalam sebuah daerah yang penduduknya hidup bebas maka tingkat aborsinya akan tinggi, dengan demikian akan banyak mayat bayi di mana-mana, termasuk bayi-bayi prematur. Penggunaan bayi ini dimaksudkan sebagai perlambang kelahiran kembali manusia sebagai dirinya sendiri, di mana secara naluriah memiliki sifat kebinatangan yang alami.
“Di Muka Kuning ada bukit kecil, di mana bayi-bayi hasil aborsi banyak dibuang.”kata Fausto.
Fausto dengan sukarela bergabung, dan karena ia adalah rekrutan pertama, maka ia mendapatkan posisi istimewa, tentu saja dengan beberapa syarat. Ia harus ikut membantu Mammon melakukan tiga pembunuhan, dan pembunuhannya tersebut harus dilakukan sedemikian rupa sehingga orang-orang akan melihatnya sebagai kecelakaan.
Korban sebelum ini adalah Sudartato, seorang guru Sekolah Teknik Menengah yang sangat jenius. Ia piawai merakit pemancar radio FM berkekuatan 300 Watt. Mammon membayar Sudartato dengan mahal untuk mendapatkan pemancar tersebut, yang kemudian diintegrasikan dengan peralatan yang dibawa Ygga dari Jerman. Sudartato lama-lama tahu bahwa kliennya bukanlah pemilik stasiun radio biasa, Ygga pun mengajak Sudartato untuk bergabung. Sudartato menolak, dan ingin mengembalikan uangnya dan meminta kembali pemancar hasil karyanya. Ygga berjanji akan mengembalikan pemancar tersebut, namun Sudartato tetap boleh menyimpan uangnya.
Maka Mammonpun mengatur kecelakaan untuk Sudartato. Ia naik mobil dengan nomor plat yang sudah diganti dan mengikuti Sudartato yang naik motor ke arah sekolah. Tepat di persimpangan yang ramai di Batu Aji, dengan kecepatan tinggi mobil Mammon menyenggol setang kanan Sudartato. Sudartatopun oleng dan menabrak pembatas jalan di tengah, tubuhnya terpental dan helmnya terhempas, dan ia tewas seketika. Mammon memutar mobilnya ke sebuah jalan sempit tak beraspal, di mana Fausto sudah menunggu dengan plat nomor cadangan. Fausto mengganti plat nomor tersebut, kemudian naik mobilnya sendiri bersama Mammon, dan kembali ke lokasi kecelakaan untuk memastikan. Fausto dan Mammonpun turun ke tengah kerumunan orang dan menunggu hingga ambulans datang dan jenazah Sudartato di bawa ke rumah sakit. Kemudian Fausto mengantar Mammon mengambil mobil yang diparkir di jalan tak beraspal tadi. Itu adalah pembunuhan yang rapi, tak seorangpun mencurigai bahwa itu bukan kecelakaan.
Korban sebelumnya lagi adalah wanita paruh baya tukang bersih-bersih. Ia juga digaji mahal untuk bekerja sebagai pembantu di stasiun radio tersebut, dan diwanti-wanti agar tutup mulut jika ia melihat hal-hal yang aneh. Wanita paruh baya kebanyakan suka menggosip, dan suatu hari wanita malang itu terlepas omong di hadapan Ygga, bahwa ia telah melihat upacara aneh di conference room pada waktu ia datang terlalu subuh. Ygga memutuskan wanita itu tak dapat dipercaya, maka ia menyuruh Mammon dan Fausto untuk menyingkirkannya.
Jadi tiga minggu yang lalu, terjadi sebuah kecelakaan di Batam Center, di mana seorang wanita paruh baya yang menyeberang jalan ditabrak lari oleh sebuah sedan berwarna hitam, dan wanita itupun tewas seketika. Dengan modus yang sama, Mammon dan Fausto kembali ke lokasi kecelakaan untuk melihat hasil perbuatan mereka.
Sementara itu Fausto diingatkan agar ia melakukan persembahan dalam ritual selanjutnya. Ia harus mencari korban, sedapat mungkin adalah orang dekatnya, bisa sedarah bisa tidak. Dan Fausto memutuskan akulah orangnya, maka ia mengajakku nonton, tepat di hari yang sama Mammon melakukan pembunuhan terencana kepada Maros, seorang penjaga malam keturunan Flores.
Maros sudah lama menjadi penjaga malam di kawasan sekitar stasiun radio tersebut. Namun ia jarang mendekati bangunan studio, karena ia malas menapaki jalan yang mendaki. Ia lebih senang duduk di posnya, yang lokasinya sekitar 800 meter di bawah stasiun radio. Suatu malam Mamon mendekati Maros dan mengajaknya mengobrol. Tentu saja Mamon mengajak Maros untuk bergabung, dan mengiming-imingi uang dan kesejahteraan bagi keluarga Maros. Maros langsung mengiyakan dan tanpa malu menanyakan uangnya. Mamon bilang bahwa masalah uang itu gampang, yang penting Maros bergabung dulu. Seperti diduga, Maros hanya menginginkan uangnya tanpa niat bergabung. Malah ia sudah membayangkan akan mendapat semacam jatah bulanan karena sudah terlanjur mengetahui rahasia keberadaan Gereja Setan di Batam. Lama-lama Mamon mulai curiga dengan Maros, apalagi setelah sebuah gramofon keemasan inventaris stasiun radio hilang, dan Mamon curiga gramofon tersebut dicuri oleh Maros.
Jadi pagi itu Maros naik motor ke kawasan Aviari untuk menjual gramofon curian, dan Mamon mengikuti dari belakang. Di Aviari, Maros berhasil menjual gramofon antik tersebut dengan harga tinggi. Karena sukacita, Maros bermaksud untuk minum-minum sebentar. Siang itu ia minum dan sedikit mabuk di Kafe La Fontha, kemeja yang ia kenakan pun lusuh karena berbaring di kursi dan ketumpahan minuman. Mamon melihat Maros ke luar dari kafe La Fontha dan mendorongnya dari belakang, Maros pun tersungkur. Maros menoleh dan melihat siapa yang mendorongnya, iapun ketakutan dan lari. Mamon berteriak "maliiing, copeet, tangkap, tangkap" dan seketika itu juga massa yang ada segera mengejar Maros. Karena mabuk, ia tak bisa lari jauh, malah ia memutar balik ke arah La Fontha dan disitulah ia tersungkur lagi, dan massa yang geram mulai memukulinya habis-habisan. Saat itulah ada yang berteriak "bakar, bakar". Salah satu dari orang yang memukul Maros mengambil jerigen entah dari mana, dan menyiramkannya ke tubuh Maros. Orang yang lain lagi melemparkan puntung rokok ke tubuh Maros. Marospun terbakar.
Aku bertanya pada Fausto apa yang akan terjadi pada diriku malam ini.
"Hmmm matamu akan ditutup, dan tepat tengah malam kau ikut kami melakukan upacara. Kau akan diikat dan disuruh berdiri, lalu pada saat ritual pengorbanan dimulai, seseorang akan menyumpal mulutmu, dan sebuah belati akan ditancapkan ke nadi lehermu. Darah akan mengalir melalui belati itu dan akan ditampung dalam sebuah cawan. Cawan berisi darahmu akan diminum bergantian secara berkeliling. Dan kau akan mati kehabisan darah."
"Kalian gila. Kau gila, Fausto. Kau raja tega."
"Maafkan aku kawan,"kata Fausto.
"Mana bisa aku memaafkanmu, kau ingin membunuhku."
"Aku tak bisa apa-apa. Aku sendiri juga terancam dan tak punya pilihan lain. Jadi aku harus terus. Mereka ini bukan organisasi sembarangan. Penyandang dananya adalah orang-orang keturunan Yahudi superkaya pemilik bank di AS. Mereka punya rencana besar untuk dunia ini. Mereka harus mengalahkan kaum mayoritas di dunia, pemeluk agama besar seperti Islam dan Kristen. Terutama Islam. Islam adalah musuh mereka, mereka punya plot dan rencana besar untuk mendiskreditkan Islam. Rencananya tahun depan, sekitar bulan September, mereka akan melakukan sesuatu yang efeknya jangka panjang."
Yang dimaksud Fausto betul betul terjadi tahun berikutnya. Dunia mengutuk orang-orang Islam karena peristiwa itu, padahal operasi tersebut asal muasal dananya berasal dari Yahudi. Tak heran dari sekian banyak korban, tidak ada satupun orang Yahudi yang tewas. Dan sejak peristiwa itu pendiskreditan Islam mencapai puncaknya. Perlawanan-perlawanan muncul, dan Islam dikaitkan dengan terorisme. Fitnah dan provokasi besar ini akan berhasil dalam jangka waktu 30 tahunan. Perhatian dunia akan teralihkan dengan persengketaan antara sebuah negara besar dengan Islam. Sementara itu, sang dalang, kekuatan besar di balik layar, dengan sumber dana yang tak pernah kering, hanya tinggal memantau. Ini merupakan salah satu rencana awal dari Church of Satan. Mereka ingin menguasai dunia.
"Fausto, aku ingin pipis."
"Pipislah di celana."
Jawaban Fausto dengan serta merta membuat aku emosi. Aku mencoba bangkit dari kursi, namun kursinya ikut terangkat. Lalu kursinya kuhempaskan, kuangkat lagi, lalu kuhempaskan lagi. Kuangkat lagi, lalu kuhempaskan lagi. Bunyinya ribut dan kulihat Fausto mulai terganggu. Akhirnya ia mengalah, dan mulai melepaskan ikatanku dari kursi. Aku berdiri tegak, dengan tangan terikat.
'Ikut aku,"kata Fausto. Iapun melangkah ke pintu. Aku meraih kursi dengan kedua tanganku yang terikat, mengangkatnya sejajar bahu, lalu kuhantamkan kursi itu ke arah belakang kepala Fausto. Salah satu kaki kursi patah, dan Fausto terjerembab jatuh. Fausto mengerang, dan mencoba bangkit. Aku menendang kepalanya dengan kakiku yang bebas. Ia terjerembab lagi. Begitu aku melangkahinya dan membuka pintu, tangannya tiba-tiba mencengkeram kakiku dengan kuat, dan akupun terjatuh menimpa tangannya. Ia mengerang kesakitan. Aku bangkit berdiri lagi, dan keluar dari ruangan sialan itu. Ruang tamu lampunya terang benderang, tapi tidak terdengar suara apapun. Aku mencari-cari pintu keluar dan menemukannya. Pintu itupun tak terkunci. Di luar gelap, tidak ada siapa-siapa. Aku berlari menuju gerbang, dan begitu sampai di sana, aku terkesiap.
Tadinya aku tidak melihat apapun, selain kegelapan malam dan bentuk-bentuk hitam pepohonan. Aku tertegun di gerbang karena merasa ada yang sedang mengawasiku. Samar-samar kulihat dalam batas cahaya lampu stasiun radio, sosok-sosok kecil di atas tanah, di jalan aspal, dan di sekitar pepohonan. Kemudian bulan muncul dari balik awan, dan apa yang kulihat membuat sekujur tubuhku merinding. Di depanku, puluhan pasang mata berukuran kecil memandang tajam ke arahku. Mereka menyeringai, diam tak bergerak, tidak melakukan apapun kecuali memandangku. Dari mana datangnya monyet-monyet ini? Mereka ada yang bergerombol, ada yang terpisah-pisah, semuanya duduk di aspal, di tanah, di rerumputan, ada yang ekornya saling terkait satu sama lain. Monyet-monyet ini tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dan semuanya, seperti yang kubilang tadi, menatap tajam ke arahku.
(Bersambung ke Bagian Dua)
Baca lebih lengkap tulisan ini dan tulisan lainnya di www.ferdot.com
Jadi, jika kita secara iseng melakukan scanning (pada tuner digital) ataupun memutar tombol analog untuk menjelajah stasiun-stasiun, kita akan menemukan siaran tersebut sebanyak enam kali. Dua titik frekuensinya menimpa sebuah radio fm berbahasa India dari Singapura, dan satu lagi menimpa sebuah radio berita dari Malaysia. Di udara kota Batam, dalam alokasi frekuensi dari 87,5 hingga 108 MHz, kita bisa menemukan lebih dari 30-an stasiun, baik yang jernih dan stereo maupun yang tidak, jadi pilihannya memang cukup banyak.
Stasiun radio tersebut berada di salah satu bukit di pesisir pulau, dan akses ke sana hanya terdiri dari sebuah jalan aspal kecil mendaki. Konsep radionya sendiri easy listening, tidak ada penyiar yang cuap-cuap di antara lagu, hanya jingle singkat menarik yang berbunyi: "CHOS FM". Tidak disebutkan angka frekuensinya dalam jingle tersebut, karena alasan yang sudah jelas tadi.
Dengan segera radio gelap tersebut jadi populer, antara lain karena konsep easy listening tadi, dari sign-in pukul 6 pagi hingga sign-off pukul 00.00 hanya menyiarkan musik, musik dan musik. Pilihan musiknya adalah lagu-lagu kontemporer disertai klasik top 40.
Banyak orang bertanya-tanya dari mana asal siaran tersebut, tapi banyak juga yang tidak peduli dan hanya ingin menikmati siarannya. Tapi yang jelas waktu itu radio tanpa ijin tersebut menjadi trend, dan didengar oleh warga Batam, Singapura dan Johor Bahru.
Enam bulan kemudian, radio tersebut memiliki ijin resmi, dengan frekuensi resmi berada di titik 99.9 MHz. Anehnya, tidak ada siaran komersial sama sekali, seolah-olah stasiun tersebut adalah perusahaan non profit. Tidak ada iklan, sponsor, promo, dan tidak ada acara off-air, yang berarti tidak ada income. Namun radio tersebut tetap mengudara, hingga beberapa waktu kemudian ia tiba-tiba berhenti, menghilang dari udara, menyusul kejadian-kejadian aneh dan nyaris tak masuk akal, dan beberapa kecelakaan mengerikan, yang kisahnya sedikit banyak melibatkan aku dan seorang temanku.
Beginilah ceritanya.
Pada waktu itu aku sedang bekerja di sebuah hotel berbintang di kawasan Nagoya. Aku ingat waktu itu bulan Mei tahun 2000, euforia orang-orang setelah lolos dari bencana kiamat komputer (Y2K) sudah lama hilang, dan film Gladiator yang dibintangi Russel Crowe menjadi box office dan meraih Oscar untuk aktor, sutradara dan film terbaik. Aku menumpang mobil temanku sepulang nonton film tersebut di cineplex di Baloi Indah. Fausto, kawanku itu menghidupkan radio dan tune in ke frekuensi 99.9 MHz, sebuah lagu lama dari Rolling Stone yang berjudul Paint It Black pun terdengar, disusul jingle apik yang berbunyi "Chos FM".
"Aku suka radio ini," kata Fausto." Ada banyak frekuensi, tapi yang sembilan sembilan koma sembilan ini yang paling jernih suaranya."
"Aku dah lama suka, radio di kamarku juga tune in di situ," sahutku.
"Kenapa suaranya lebih bagus dari stasiun lainnya ya." kata Fausto lagi.
"Alatnya bagus mungkin."
"Kapan-kapan kita mesti ke sana, aku mau tahu di mana lokasinya. Katanya di Sekupang."
"Yang di Sekupang itu Ramako."tukasku.
"Ramako di Tanjung Pinggir. Chos FM mungkin tak jauh dari situ."
"Coba dengarkan pada waktu radionya signing off, mungkin disebutkan alamatnya."
"Sudah kudengarkan, tidak ada. Penyiarnya kan memang tidak pernah ngomong."
Tiba-tiba Fausto menghentikan mobilnya, jalan di depan macet. Banyak orang dan kendaraan menumpuk di depan Kafe La Fontha.
"Mungkin ada kecelakaan." kata Fausto. Ia meminggirkan mobil ke bahu jalan dan mematikan mesin.
"Mau ke mana? Kita tunggu aja, sebentar lagi juga jalan."
"Aku mau tahu ada apa di depan."
Akupun ikut turun mengikuti Fausto.
Di depan La Fontha ada keributan. Ada asap dan bau menyengat, dan orang-orang sibuk berteriak. Aku penasaran, tapi tidak mau mendekat. Fausto menghilang di antara kerumunan. Beberapa saat ia muncul lagi dan menarik lenganku.
"Ada orang dibakar massa."lapornya.
"Apaaaaa!?"
"Dia dikira pencopet, ada yang berteriak copet-copet, dan setelah ketangkap, ada yang berteriak bakar, bakar, lalu massa yang kesetanan membakar orang itu."
"Kasihan." kataku. Kalau memang dia copet, sungguh tak layak dia menerima hukuman main hakim sendiri seperti itu. Orang mencopet mungkin agar bisa bertahan hidup. Hmmm, massa yang kesetanan.
"Berarti sedang ada setan di sini," kataku ketus.
Setan di antara massa yang beringas, tinggal teriakkan kata "bakar", maka orang-orang yang tak terkendali ini bakalan gampang dihasut.
Akhir-akhir ini tingkat kriminalitas di Batam meningkat drastis. Ke mana-mana sudah tidak aman lagi. Peningkatan kejahatan yang terlalu tajam ini sebenarnya aneh, tapi orang-orang seperti tidak peduli. Seolah-olah dianggap sebagai hal yang jamak. Sementara itu kemaksiatan merajalela. Para pelacur berkeliaran di mana-mana di siang bolong, dengan handphone Alcatel, Ericsson dan Nokia menonjol di saku belakang celana mereka. Fasilitas judi bertebaran di penjuru kota, dalam bentuk permainan ketangkasan elektronik, tebak bola, dan lain-lain. Batam waktu itu ibarat Soddom dan Gomorah, yang menunggu waktu untuk dihancurkan.
Fausto menarikku ke tengah kerumunan. Lalu aku melihatnya, tubuh gosong sebagian, bau menyengat, wajah orang yang malang itu masih terlihat utuh, orang Flores. Tak sanggup aku melihatnya. Lalu Fausto mencuilku.
"Coba lihat orang pake kemeja jins biru di situ."kata Fausto.
Aku mengikuti arah telunjuk Fausto. Yang dimaksudkannya adalah lelaki tegap tampan, dengan rambut ikal, postur tinggi dan memakai kemeja jins biru tua.Tidak ada yang aneh dengan orang itu.
"Aku sering melihat dia." tambah Fausto lagi. "Di kerumunan seperti ini juga."
"Lantas kenapa?"
"Aku melihatnya dua apa tiga kali ya, pakaian yang sama, suasana yang sama."
"Itu dejavu. Terus?"
"Ada kecelakaan minggu lalu di arah Batu Aji, seorang guru STM korbannya, motornya ditabrak mobil. Di antara kerumunan yang melihat di lokasi kecelakaan, aku melihat orang itu."
Aku memperhatikan orang yang kami bicarakan. Pandangannya lurus ke arah korban yang gosong, ekspresi wajahnya tak bisa ditebak. Aku juga tidak bisa memastikan berapa umurnya.
"Dia selalu ada jika ada kecelakaan seperti ini."tambah Fausto.
"Kau baru melihatnya dua kali," kataku.
"Tiga kali."
"Yakin?"
"Yakin. Coba lihat penampilannya, terlalu mencolok kan. Tinggi menjulang seperti itu, tubuh tegap, dia gampang diingat."
"Tiga kali itu kebetulan, Fausto."
"Terlalu banyak untuk kebetulan."
"Hmmm. Lantas yang satu lagi apa?"
"Di Batam Center, kecelakaan. Aku tak ingat siapa yang kecelakaan, dia perempuan. Kira-kira tiga minggu yang lalu, kerumunannya pun seperti ini. Orang banyak menonton, bukan membantu. Dan di antara orang-orang, ada dia itu. Pakaiannya sama."
"Bagaimana kau bisa selalu ada di tempat tiga kecelakaan ini?"
"Sama seperti kejadian yang sekarang, kebetulan lewat."
"Nah diapun mungkin kebetulan lewat juga."
Kemudian, tiba-tiba suasana menggelap, aku jadi merinding. Rupanya awan tebal sedang menutupi matahari. Aku melihat orang yang disebut Fausto misterius itu. Pada saat itu, dia juga memandang ke arahku. Atau memandang Fausto, aku tak yakin. Tapi pandangannya sangat tajam menusuk. Aku lihat Fausto tertunduk. Aku sendiri masih merinding. Kemudian dia menoleh ke arah lain, mundur dari kerumunan orang-orang.
"Kita ikuti dia." Fausto mendorongku ke samping.
"Untuk apa?" protesku.
"Kau hari ini libur kan?"
"Iya."
"Kita ikuti orang itu, anggap saja iseng."
Aku pikir Fausto sedang ingin bermain-main ala film Hollywood. Tapi apa salahnya, toh aku tidak memiliki kegiatan lain sore itu.
Aku melihat orang yang dimaksud sedang menuju ke arah mobil yang diparkir, sebuah Mazda Astina warna biru tua. Kami bergegas ke mobil Fausto dan bersiap-siap mengikuti mobil tersebut.
Membuntuti sebuah mobil dalam kota yang padat lalu lintasnya ternyata tak segampang seperti di film-film. Beberapa kali kami ketinggalan, seolah-olah Mazda Astina itu lenyap di telan bumi. Namun kami berhasil menemukannya lagi begitu Fausto menambah kecepatan. Mobil yang kami kuntit melaju kencang ke arah Tiban, lalu berbelok ke Sekupang.
Aku suka suasana Sekupang, jalan-jalannya teduh dengan pohon-pohon tua yang rindang. Lalu lintasnya juga tidak begitu ramai. Ada beberapan telaga yang indah tempat orang mancing ikan. Perbukitannya, terutama daerah Patam, sangat asri, sejuk dan tenang, dan ada sedikit kesan misterius pada suasananya.
Mazda Astina itu berbelok ke kanan, melewati Guesthouse Otorita, melewati gedung Lembaga Pemantau Gelombang Radio, lalu masuk ke jalan kecil dengan tanda verboden di sampingnya. Ada tulisan kecil bertuliskan "Yang tidak berkepentingan di larang memasuki jalan ini."
Fausto menghentikan mobilnya.
"Bagaimana ini? Apa kita terus?"
"Ini lahan pribadi kayaknya, tak semua orang diijinkan."
"Kita masuk aja ya."
"Jangan, suara mobilmu kedengaran."
Fausto memutar mobil, lalu parkir di depan gedung Lembaga Pemantau Gelombang Radio. Kami memutuskan untuk jalan kaki.
Jalan aspal kecil tersebut mendaki, lalu mendatar. Di sebelah kanannya ada rumah besar dari kayu dengan atap yang aneh, bentuknya seperti daun yang besar, terbuat dari sirap. Di depan rumah tersebut hanya terparkir sebuah jip tua, tidak ada Mazda Astina. Jalan di depan makin sempit, dinaungi pohon-pohon akasia yang ujung daunnya saling beradu. Kemudian jalannya melebar, turun ke bawah, bercabang menjadi 3 arah. Ada rumah besar di salah satu sudut jalan, dan kami melihat mobil Mazda Astina di balik pagar besi. Di samping rumah tersebut terdapat tower berwarna biru putih yang tingginya kira-kira 30 meter. Di kejauhan terlihat laut biru, dan kapal-kapal tanker yang sedang berlabuh di perairan Sekupang. Gedung-gedung pencakar langit di Singapura terlihat samar-samar di latar belakang.
Suasana sepi seperti kuburan. Tidak ada suara burung, hanya desau angin sore yang membuatku kedinginan. Kami memutar ke arah pintu gerbang rumah tersebut. Sebuah plang merk yang besar membuat kami terhenyak.
"PT. (Radio) Cakrawala Hades Omega Sheol"
CHOS FM - 99.9 MHz
Stasiun Radio itu!
Tapi kok sepi? Tidak ada suara apapun, dan hanya terlihat satu kendaraan diparkir di situ. Kami punya alasan untuk masuk ke sini, sebagai fans. Fausto pun mendorong pintu gerbang yang ternyata tidak dikunci dan kami masuk ke dalam. Suasananya terlalu sunyi untuk sebuah stasiun radio swasta. Tidak terlihat siapa-siapa, kami melewati semacam ruang tamu yang bersih dan rapi. Di dinding terlihat poster-poster iklan kosmetik dari Procter & Gamble, poster Jimi Hendrix, Elvis Presley, Led Zeppelin, Queen, dan poster aneh bergambar bintang segi lima. Ada juga sebuah poster bergambar bulan sabit dan bintang dengan posisi terbalik, sebuah lambang palang merah dengan sisi yang tegak berlebih ke atas, mirip salib terbalik.
Di ujung ruang tamu ada tiga pintu, satu bertuliskan Music Director, satu bertuliskan Studio dan lampu neon hijau bertulisan On Air, dan satu lagi pintu bertuliskan Conference Room.
Hmmm, seharusnya meeting room, pikirku.
Ada jendela kaca di ruang studio, kami menengok ke dalam, tidak ada siapa-siapa di situ, hanya peralatan siaran yang sedang hidup, sebuah komputer desktop, dan sebuah lemari besar penuh dengan cd. Tidak ada yang sedang siaran, tapi dari dalam studio tersebut sayup-sayup terdengar suara musik. Kami menuju ruang Music Director, tapi ternyata terkunci. Lalu kami berdua berjalan ke arah Conference Room yang pintunya ternyata tidak dikunci. Aku terbelalak.
Betul lah ini conference room, karena lumayan luas. Ada jejeran puluhan kursi, mungkin ratusan. Di ujung ruangan terdapat semacam panggung kecil, ada keyboard di situ, ada layar untuk proyektor, dan dari langit-langit tergantung patung berbentuk bulan sabit dan bintang terbalik, dan salib terbalik. Langit-langitnya berwarna hitam dengan jejeran lampu downlight yang cahayanya redup. Samar-samar di sudut ruang aku melihat sebuah gong berwarna keemasan. Untuk apa tempat seperti ini ada di sebuah stasiun radio? Pada saat bertanya-tanya dalam hati begitu, aku lihat Fausto memandang ke arahku seperti terperanjat, dia berteriak,
"Awas!!!"
Lalu semuanya gelap.
Lalu aku melayang di kegelapan, tanpa gravitasi. Kepalaku sakit dan tubuhku berputar-putar tak tentu arah, lalu kulihat cahaya yang menyilaukan di depan, dan telingaku berdenging. Tiba-tiba aku merasa terhempas.
Pada saat aku siuman, kulihat Fausto berdiri memandangku dengan tatapan kuatir. Aku duduk di kursi dalam sebuah ruangan berwarna abu-abu, tanpa hiasan apapun. Ada jendela dari kaca nako, bohlam kuning di langit-langit, dan di lantai ada sepasang sepatu yang terasa familiar. Sepatuku. Kenapa sepatuku dilepas? Akupun lalu bangkit dari kursi, namun tak bisa. Ternyata kedua tangan dan kakiku terikat di kursi dengan kawat tembaga yang cukup tebal.
Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Fausto, tapi tidak ada suara yang keluar. Mulutku bergerak-gerak mengucapkan sesuatu tanpa suara. Fausto memandangku kuatir lalu berkata,
"Maafkan aku kawanku. Aku terpaksa melakukan ini."
Aku masih tak mengerti. Lalu aku mendengar suara di belakangku, suara yang berat, merdu dan berwibawa.
"Halo, selamat datang ke Chos FM."
Aku berusaha menoleh, tapi leherku sakit. Rupanya bagian belakang kepalaku telah dipukul hingga aku pingsan. Sumber suara tersebut berjalan memutar, dan kali ini ia tepat di depanku, di samping Fausto.
Dia adalah laki-laki yang kami buntuti tadi. Tinggi, ganteng, berkemeja biru, dan bersuara berat. Dia tersenyum ke arahku.
"Oke, langsung saja ya, " katanya lagi." Pasti kau bertanya-tanya apa yang sedang terjadi sekarang. Namaku Mammon. Dan kau ada di sini karena kau adalah teman Fausto. Fausto adalah fans Chos FM yang pertama kali berhasil menemukan studio kami, dan dia adalah jemaat kami."
"Oh, maaf," katanya lagi. Lalu ia mengusap leherku. Akupun berteriak, dan kali ini suaraku keluar. Aku memaki-maki, menyumpah-nyumpah dan mengancam, lalu aku kecapean sendiri.
"Fausto, tolong lepaskan aku." kataku.
Mammon tersenyum memandang Fausto, lalu ia menepuk-nepuk pundak Fausto. "Sudah kubilang ia jemaat kami."
"Jemaat?"tanyaku
"Ya, anggota Chos. Anggota kami di Batam sudah 400-an, Fausto adalah anggota pertama."
Seberapa jauh aku mengenal Fausto, yang bernama asli Farid Arius Ardito, (ia lebih suka namanya disingkat jadi Fausto)? Aku ingat aku baru mengenalnya setahun terakhir ini.
"Kalian ini siapa?" tanyaku.
Mammon lagi-lagi tersenyum. Ia berkata," Fausto yang menjelaskan, atau aku?" Fausto diam saja, maka Mammon berkata lagi. "Chos itu sebenarnya singkatan dari Church of Satan." Kemudian Mammon diam menunggu reaksiku.
Tentu saja aku terkejut. Aku pernah membaca artikel mengenai Church of Satan atau Gereja Setan. Sebutannya bisa apa saja, karena organisasi ini lahir di Amerika dan orang-orang di sana lebih mengenal gereja sebagai tempat ibadah, maka organisasi ini memakai istilah gereja. Yang jelas jika mesjid, gereja, atau tempat ibadah lain adalah tempat memuja Tuhan, di Church of Satan tentu saja mereka menyembah setan. Aku ingat samar-samar pengantar di situs resmi mereka, yang beralamat di www.churchofsatan.com . Didirikan tanggal 30 April 1966 oleh Anton Szandor Lavey, organisasi ini menyatakan diri sebagai "the first above-ground organization in history openly dedicated to the acceptance of Man’s true nature—that of a carnal beast, living in a cosmos which is permeated and motivated by the Dark Force which we call Satan." Website tersebut baru saja diluncurkan tahun 1999 yang lalu. Itu tahun yang sama dengan siaran perdana radio ini.
"Ya, kami mau buka cabang di sini. Di Manado dan Medan juga. Tapi tentu saja kami tak bisa terang-terangan kalau di Indonesia. Apa jadinya kalau di depan bangunan ini tertulis Church of Satan atau Gereja Setan? Makanya kami samarkan dengan stasiun radio, Cakrawala Hades Omega Sheol FM." kata Mammon.
Aku ingat Hades dalam literatur Yunani adalah penjaga neraka, dan Sheol sendiri artinya neraka.
"Langkah kami adalah buka cabang dan rekrut anak-anak muda sebanyak-banyaknya. Radio adalah sarana yang tepat, karena anak-anak muda suka musik. Kami tak bisa mengharapkan orang-orang tua sebagai anggota kami, sebentar lagi mereka toh mati. Kelangsungan organisasi ini ada di tangan anak-anak muda yang masih fresh pikirannya, mereka adalah pemimpin masa depan.“
„Kau belum bertemu Ygga, dia pendiri stasiun radio ini. Dia mengimpor perangkat siaran khusus dan amplifier dari Jerman. Kami bisa mengirim pesan-pesan tertentu melalui frekuensi tertentu lewat pemancar kami. Sudah pernah dengar istilah efek Mozart? Kami mempengaruhi kalian, para pendengar, melalui musik, dengan frekuensi tertentu kami sampaikan pesan-pesan Church of Satan ke benak kalian, yang tak menyadari bahwa di balik musik-musik populer yang kami siarkan, terdapat pesan tersembunyi. Pesan-pesan yang merusak, yang tertanam di benak menunggu untuk dimunculkan. Terekam dalam alam bawah sadar kalian, bahwa kalian akan melakukan tindakan-tindakan destruktif. Tidakkah kau menyadari hal ini berhasil, bukankah tingkat kejahatan di kota ini meningkat akhir-akhir ini?"
"Kenapa Batam? Kenapa tidak tempat lain?" tanyaku.
Mammon tertawa. "Batam memiliki tingkat aborsi yang tinggi."
Sebelum aku sempat memikirkan apa hubungannya tingkat aborsi dengan segala hal ini, tiba-tiba pintu terbuka. Cahaya dari luar pintu terang benderang, membentuk siluet seorang wanita tinggi semampai, terlihat bentuk rambutnya yang lurus panjang, namun wajahnya belum kelihatan.
Kulihat Mamon tersenyum, lalu bergerak ke arah siluet hitam itu. Dia menggumamkan sesuatu kepada wanita tersebut, lalu menyingkir ke pinggir. Wanita itu maju mendekatiku.
Belum pernah aku melihat wanita secantik itu. Rambutnya halus agak kepirangan, wajahnya bening bagaikan porselen cina, matanya berwarna cokelat di sebelah kiri, dan hitam kebiruan di sebelah kanan. Hidungnya mancung, dagu berbelah dan senyumnya sungguh luar biasa. Aku serasa pernah melihat senyum seperti itu sebelumnya, tapi tak ingat kapan dan di mana.
"Aku Ygga. Aku pemilik stasiun radio ini," katanya dengan suara yang lembut. Belum pernah aku mendengar suara semerdu itu sebelumnya.
"Kenapa aku diikat,"tanyaku. "Aku mau kalian apakan?"
"Fausto ingin membuktikan kesetiaannya pada kami. Ia kami jamin hidupnya sampai usianya berakhir. Namun ia harus menyerahkan sahabatnya."
Aku memandang Fausto dengan sengit. "Aku bukan sahabatnya. Dia cuma kenalan biasa,"kataku.
Ygga tersenyum lagi. Aku harap aku tidak pingsan melihat senyum menawan itu."Tidak begitu menurut Fausto. Hmm, acaranya masih beberapa jam lagi, tepat tengah malam, tepat setelah siaran radio dihentikan untuk hari ini. Kalian berdua kutinggal dulu di sini. Fausto, berilah sahabatmu makan dan minum, beberapa jam lagi aku dan Mammon kembali."
Ygga dan Mammon meninggalkan ruangan. Tinggalah aku dan Fausto. Aku langsung memaki-maki Fausto dengan segala macam sumpah serapah yang bisa aku ingat, aku juga menyebutkan beberapa penghuni kebun binatang, dan kulihat Fausto diam saja dengan pandangan khawatir. Dalam beberapa jam selanjutnya, lama setelah aku puas memaki-maki yang akhirnya kusadari tak ada gunanya, Fausto kemudian memberikan penjelasan.
Ia menemukan stasiun radio Chos FM secara tak sengaja di akhir bulan September 1999. Waktu itu ia sedang mencari lokasi memancing yang baru. Kendaraannya mogok persis di depan bangunan ini, jadi ia mengetuk pintu untuk minta bantuan. Yang membukakan pintu adalah Ygga, dan serta merta Fausto jatuh hati kepadanya. Menurut Fausto Ygga adalah orang Filipina, namun bisa berbahasa Indonesia dengan fasih, dan ternyata Ygga memang menguasai lebih dari 5 bahasa di luar bahasa Indonesia dan Tagalog. Kemungkinan besar Ygga keturunan Spanyol, demikian menurut Fausto.
Karena tertarik pada Ygga, Fausto jadi sering berkunjung ke stasiun radio tersebut, saat statusnya masih sebagai radio tak berijin. Lama-lama ia merasa makin akrab hingga Ygga pun mulai berterus terang padanya. Mammon sejak semula ada di situ, namun tak jelas apa hubungan atau status Mammon. Ygga dan Mammon kemudian memberitahu Fausto siapa mereka sebenarnya, dan kemudian Fausto diberi dua pilihan, bergabung dan membantu mereka, atau mati. Fausto tidak ingin mati. Karena ia terkagum-kagum pada Ygga, Fausto selalu menurut pada apapun yang dikatakan Ygga.
Church of Satan adalah organisasi resmi dan diakui di Amerika Serikat. Ia adalah organisasi pertama yang terang-terangan mendedikasikan tujuannya untuk mengembalikan fitrah manusia sebagai satu-satunya makhluk manusia yang hidup di kosmos ini yang dipengaruhi oleh kekuatan gelap, yaitu setan itu sendiri. Pendirinya, Anton Lavey, merupakan selebritis yang terkenal di kalangan tertentu di Hollywood dan sering menjadi penasehat teknis untuk film-film horror. Salah satu film di mana ia terlibat aktif adalah The Devil's Rain yang dibintangi sang TJ Hooker, William Shatner, dan merupakan film pertamanya John Travolta.
Lambang Gereja Setan adalah bintang segi lima, atau pentagram, yang sudut-sudutnya membentuk kepala kambing bertanduk (Baphomet). Ritual-ritual pagan sejak dulu selalu memakai simbol pentagram yang ditulis atau diukir pada permukaan kayu.
Salah satu anggota aktifnya adalah pemilik saham terbesar dari perusahaan multinasional Procter & Gamble, yang memproduksi household merk-merk terkenal seperti Wella, Zest, Rejoice, Pantene, Pampers, Mr. Clean, Head & Shoulders dan lain-lain. Tak heran beredar rumor bahwa perusahaan korporat tersebut milik Gereja Setan.
Untuk Indonesia, mereka membuka cabang di Batam dan Manado. Yang dimaksud dengan tingkat aborsi yang tinggi tadi adalah karena dalam beberapa ritual mereka, organ bayi selalu diperlukan. Dalam sebuah daerah yang penduduknya hidup bebas maka tingkat aborsinya akan tinggi, dengan demikian akan banyak mayat bayi di mana-mana, termasuk bayi-bayi prematur. Penggunaan bayi ini dimaksudkan sebagai perlambang kelahiran kembali manusia sebagai dirinya sendiri, di mana secara naluriah memiliki sifat kebinatangan yang alami.
“Di Muka Kuning ada bukit kecil, di mana bayi-bayi hasil aborsi banyak dibuang.”kata Fausto.
Fausto dengan sukarela bergabung, dan karena ia adalah rekrutan pertama, maka ia mendapatkan posisi istimewa, tentu saja dengan beberapa syarat. Ia harus ikut membantu Mammon melakukan tiga pembunuhan, dan pembunuhannya tersebut harus dilakukan sedemikian rupa sehingga orang-orang akan melihatnya sebagai kecelakaan.
Korban sebelum ini adalah Sudartato, seorang guru Sekolah Teknik Menengah yang sangat jenius. Ia piawai merakit pemancar radio FM berkekuatan 300 Watt. Mammon membayar Sudartato dengan mahal untuk mendapatkan pemancar tersebut, yang kemudian diintegrasikan dengan peralatan yang dibawa Ygga dari Jerman. Sudartato lama-lama tahu bahwa kliennya bukanlah pemilik stasiun radio biasa, Ygga pun mengajak Sudartato untuk bergabung. Sudartato menolak, dan ingin mengembalikan uangnya dan meminta kembali pemancar hasil karyanya. Ygga berjanji akan mengembalikan pemancar tersebut, namun Sudartato tetap boleh menyimpan uangnya.
Maka Mammonpun mengatur kecelakaan untuk Sudartato. Ia naik mobil dengan nomor plat yang sudah diganti dan mengikuti Sudartato yang naik motor ke arah sekolah. Tepat di persimpangan yang ramai di Batu Aji, dengan kecepatan tinggi mobil Mammon menyenggol setang kanan Sudartato. Sudartatopun oleng dan menabrak pembatas jalan di tengah, tubuhnya terpental dan helmnya terhempas, dan ia tewas seketika. Mammon memutar mobilnya ke sebuah jalan sempit tak beraspal, di mana Fausto sudah menunggu dengan plat nomor cadangan. Fausto mengganti plat nomor tersebut, kemudian naik mobilnya sendiri bersama Mammon, dan kembali ke lokasi kecelakaan untuk memastikan. Fausto dan Mammonpun turun ke tengah kerumunan orang dan menunggu hingga ambulans datang dan jenazah Sudartato di bawa ke rumah sakit. Kemudian Fausto mengantar Mammon mengambil mobil yang diparkir di jalan tak beraspal tadi. Itu adalah pembunuhan yang rapi, tak seorangpun mencurigai bahwa itu bukan kecelakaan.
Korban sebelumnya lagi adalah wanita paruh baya tukang bersih-bersih. Ia juga digaji mahal untuk bekerja sebagai pembantu di stasiun radio tersebut, dan diwanti-wanti agar tutup mulut jika ia melihat hal-hal yang aneh. Wanita paruh baya kebanyakan suka menggosip, dan suatu hari wanita malang itu terlepas omong di hadapan Ygga, bahwa ia telah melihat upacara aneh di conference room pada waktu ia datang terlalu subuh. Ygga memutuskan wanita itu tak dapat dipercaya, maka ia menyuruh Mammon dan Fausto untuk menyingkirkannya.
Jadi tiga minggu yang lalu, terjadi sebuah kecelakaan di Batam Center, di mana seorang wanita paruh baya yang menyeberang jalan ditabrak lari oleh sebuah sedan berwarna hitam, dan wanita itupun tewas seketika. Dengan modus yang sama, Mammon dan Fausto kembali ke lokasi kecelakaan untuk melihat hasil perbuatan mereka.
Sementara itu Fausto diingatkan agar ia melakukan persembahan dalam ritual selanjutnya. Ia harus mencari korban, sedapat mungkin adalah orang dekatnya, bisa sedarah bisa tidak. Dan Fausto memutuskan akulah orangnya, maka ia mengajakku nonton, tepat di hari yang sama Mammon melakukan pembunuhan terencana kepada Maros, seorang penjaga malam keturunan Flores.
Maros sudah lama menjadi penjaga malam di kawasan sekitar stasiun radio tersebut. Namun ia jarang mendekati bangunan studio, karena ia malas menapaki jalan yang mendaki. Ia lebih senang duduk di posnya, yang lokasinya sekitar 800 meter di bawah stasiun radio. Suatu malam Mamon mendekati Maros dan mengajaknya mengobrol. Tentu saja Mamon mengajak Maros untuk bergabung, dan mengiming-imingi uang dan kesejahteraan bagi keluarga Maros. Maros langsung mengiyakan dan tanpa malu menanyakan uangnya. Mamon bilang bahwa masalah uang itu gampang, yang penting Maros bergabung dulu. Seperti diduga, Maros hanya menginginkan uangnya tanpa niat bergabung. Malah ia sudah membayangkan akan mendapat semacam jatah bulanan karena sudah terlanjur mengetahui rahasia keberadaan Gereja Setan di Batam. Lama-lama Mamon mulai curiga dengan Maros, apalagi setelah sebuah gramofon keemasan inventaris stasiun radio hilang, dan Mamon curiga gramofon tersebut dicuri oleh Maros.
Jadi pagi itu Maros naik motor ke kawasan Aviari untuk menjual gramofon curian, dan Mamon mengikuti dari belakang. Di Aviari, Maros berhasil menjual gramofon antik tersebut dengan harga tinggi. Karena sukacita, Maros bermaksud untuk minum-minum sebentar. Siang itu ia minum dan sedikit mabuk di Kafe La Fontha, kemeja yang ia kenakan pun lusuh karena berbaring di kursi dan ketumpahan minuman. Mamon melihat Maros ke luar dari kafe La Fontha dan mendorongnya dari belakang, Maros pun tersungkur. Maros menoleh dan melihat siapa yang mendorongnya, iapun ketakutan dan lari. Mamon berteriak "maliiing, copeet, tangkap, tangkap" dan seketika itu juga massa yang ada segera mengejar Maros. Karena mabuk, ia tak bisa lari jauh, malah ia memutar balik ke arah La Fontha dan disitulah ia tersungkur lagi, dan massa yang geram mulai memukulinya habis-habisan. Saat itulah ada yang berteriak "bakar, bakar". Salah satu dari orang yang memukul Maros mengambil jerigen entah dari mana, dan menyiramkannya ke tubuh Maros. Orang yang lain lagi melemparkan puntung rokok ke tubuh Maros. Marospun terbakar.
Aku bertanya pada Fausto apa yang akan terjadi pada diriku malam ini.
"Hmmm matamu akan ditutup, dan tepat tengah malam kau ikut kami melakukan upacara. Kau akan diikat dan disuruh berdiri, lalu pada saat ritual pengorbanan dimulai, seseorang akan menyumpal mulutmu, dan sebuah belati akan ditancapkan ke nadi lehermu. Darah akan mengalir melalui belati itu dan akan ditampung dalam sebuah cawan. Cawan berisi darahmu akan diminum bergantian secara berkeliling. Dan kau akan mati kehabisan darah."
"Kalian gila. Kau gila, Fausto. Kau raja tega."
"Maafkan aku kawan,"kata Fausto.
"Mana bisa aku memaafkanmu, kau ingin membunuhku."
"Aku tak bisa apa-apa. Aku sendiri juga terancam dan tak punya pilihan lain. Jadi aku harus terus. Mereka ini bukan organisasi sembarangan. Penyandang dananya adalah orang-orang keturunan Yahudi superkaya pemilik bank di AS. Mereka punya rencana besar untuk dunia ini. Mereka harus mengalahkan kaum mayoritas di dunia, pemeluk agama besar seperti Islam dan Kristen. Terutama Islam. Islam adalah musuh mereka, mereka punya plot dan rencana besar untuk mendiskreditkan Islam. Rencananya tahun depan, sekitar bulan September, mereka akan melakukan sesuatu yang efeknya jangka panjang."
Yang dimaksud Fausto betul betul terjadi tahun berikutnya. Dunia mengutuk orang-orang Islam karena peristiwa itu, padahal operasi tersebut asal muasal dananya berasal dari Yahudi. Tak heran dari sekian banyak korban, tidak ada satupun orang Yahudi yang tewas. Dan sejak peristiwa itu pendiskreditan Islam mencapai puncaknya. Perlawanan-perlawanan muncul, dan Islam dikaitkan dengan terorisme. Fitnah dan provokasi besar ini akan berhasil dalam jangka waktu 30 tahunan. Perhatian dunia akan teralihkan dengan persengketaan antara sebuah negara besar dengan Islam. Sementara itu, sang dalang, kekuatan besar di balik layar, dengan sumber dana yang tak pernah kering, hanya tinggal memantau. Ini merupakan salah satu rencana awal dari Church of Satan. Mereka ingin menguasai dunia.
"Fausto, aku ingin pipis."
"Pipislah di celana."
Jawaban Fausto dengan serta merta membuat aku emosi. Aku mencoba bangkit dari kursi, namun kursinya ikut terangkat. Lalu kursinya kuhempaskan, kuangkat lagi, lalu kuhempaskan lagi. Kuangkat lagi, lalu kuhempaskan lagi. Bunyinya ribut dan kulihat Fausto mulai terganggu. Akhirnya ia mengalah, dan mulai melepaskan ikatanku dari kursi. Aku berdiri tegak, dengan tangan terikat.
'Ikut aku,"kata Fausto. Iapun melangkah ke pintu. Aku meraih kursi dengan kedua tanganku yang terikat, mengangkatnya sejajar bahu, lalu kuhantamkan kursi itu ke arah belakang kepala Fausto. Salah satu kaki kursi patah, dan Fausto terjerembab jatuh. Fausto mengerang, dan mencoba bangkit. Aku menendang kepalanya dengan kakiku yang bebas. Ia terjerembab lagi. Begitu aku melangkahinya dan membuka pintu, tangannya tiba-tiba mencengkeram kakiku dengan kuat, dan akupun terjatuh menimpa tangannya. Ia mengerang kesakitan. Aku bangkit berdiri lagi, dan keluar dari ruangan sialan itu. Ruang tamu lampunya terang benderang, tapi tidak terdengar suara apapun. Aku mencari-cari pintu keluar dan menemukannya. Pintu itupun tak terkunci. Di luar gelap, tidak ada siapa-siapa. Aku berlari menuju gerbang, dan begitu sampai di sana, aku terkesiap.
Tadinya aku tidak melihat apapun, selain kegelapan malam dan bentuk-bentuk hitam pepohonan. Aku tertegun di gerbang karena merasa ada yang sedang mengawasiku. Samar-samar kulihat dalam batas cahaya lampu stasiun radio, sosok-sosok kecil di atas tanah, di jalan aspal, dan di sekitar pepohonan. Kemudian bulan muncul dari balik awan, dan apa yang kulihat membuat sekujur tubuhku merinding. Di depanku, puluhan pasang mata berukuran kecil memandang tajam ke arahku. Mereka menyeringai, diam tak bergerak, tidak melakukan apapun kecuali memandangku. Dari mana datangnya monyet-monyet ini? Mereka ada yang bergerombol, ada yang terpisah-pisah, semuanya duduk di aspal, di tanah, di rerumputan, ada yang ekornya saling terkait satu sama lain. Monyet-monyet ini tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dan semuanya, seperti yang kubilang tadi, menatap tajam ke arahku.
(Bersambung ke Bagian Dua)
Baca lebih lengkap tulisan ini dan tulisan lainnya di www.ferdot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar