"Mandira, kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Rizvan Khan dengan kalut.
Di tengah amarah dan kesedihannya akan kehilangan putera tersayang, Mandira mengusir suaminya yang mengidap Asperger Syndrome (sejenis autis). Putera mereka, Sam, tewas terbunuh akibat prasangka rasial pasca tragedi 9/11. Mandira menyesal karena telah menikah dengan seorang muslim, karena nama Khan di belakang nama anaknya telah menyebabkan anaknya tewas dibunuh. Jika seandainya ia tidak menikah dengan Rizvan Khan, dan tidak memakai nama Khan sebagai nama keluarga mereka, bisa jadi anaknya masih hidup. Di tengah kemarahannya, Mandira berkata :
"Jumlah penduduk kota ini 30 ribu orang, setiap orang di sini membencimu. Katakan pada mereka, namamu Khan, dan kau bukan teroris. Katakan pada seluruh warga Amerika, namamu Khan, dan kau bukan teroris. Atau pergilah temui presiden Amerika, dan katakan padanya, namamu Khan, dan kau bukanlah teroris. Jika itu sudah kau lakukan, maka kembalilah, baru kita bisa bertemu lagi."
Maka pergilah Rizvan Khan, dengan membawa duka yang dalam, menjelajahi negara-negara bagian di Amerika, dengan mengikuti jadwal kampanye George Bush yang berpidato ke daerah-daerah. Ia berusaha menemui presiden Amerika untuk mengatakan satu kalimat : "My name is Khan, and I am not a terrorist."
My Name Is Khan bukan jenis film India biasa. Ini adalah film luarbiasa yang begitu mengharu biru perasaan. Ini film serius, dengan budget tinggi, skenario yang apik, dan akting yang aduhai dari Shah Rukh Khan (astaga, ternyata dia bisa berakting juga). Dalam memerankan penderita autis, aktingnya mengingatkan saya dengan Dustin Hoffman di film Rain Man. Sama sekali tidak over acting, bukan seperti akting Anjasmara yang aneh dan berlebihan seperti yang di sinetron itu. Bagi penggemar film Bollywood yang terbiasa dengan tari-tarian spektakuler yang memamerkan udel dan goyangan sensual dan nyanyian yang tak ada habis-habisnya, film ini sama sekali bukan jenis yang itu. Lagu-lagu India sebagai musik background nya tidak terdengar nyinyir, dan sangat menyatu dengan adegannya.
Film ini ibarat gabungan dari The Rain Man dan Forrest Gump. Dalam usahanya menemui presiden Amerika Serikat, perjalanan Rizvan Khan yang inspiratif mirip dengan yang dilakukan Forrest Gump setelah dia ditinggalkan oleh Jenny Curran. Dalam pengembaraannya, Rizvan Khan mengenakan sepatu olahraga yang tadinya dihadiahkan untuk anaknya. Sedangkan di film Forrest Gump, Forrest memakai sepatu olahraga yang dihadiahkan oleh Jenny Curran. Kejeniusan Rizvan Khan menebak puzzle dan memperbaiki barang-barang rusak, mirip dengan yang dilakukan oleh Raymond Babbit di film Rain Man.
Film ini berbicara tentang hal-hal universal dengan bahasa yang fasih. Kita bisa selalu menangkap pesannya di balik dialog-dialog yang bagus, lucu, dan sekaligus mengharukan. Kehidupan sulit umat muslim di Amerika pasca 9/11 digambarkan dengan lugas. Isu rasialisme, prasangka, paranoid dan sentimen keagamaan dipaparkan dengan jelas, tanpa bermaksud memihak salah satu agama, walaupun tokoh sentral di film ini beragama Islam. Kerusuhan Hindu-Islam di India pada tahun 1980-an juga diangkat, mirip dengan yang kita lihat di film Slumdog Millionaire. Adegan-adegan inspiratif ketika tokoh utamanya shalat di perhentian bus, ketika menolong jemaat gereja sebuah kota kecil dari amukan badai, dan ketika memaparkan opininya di sebuah masjid yang berisi orang-orang yang menyamakan Islam dengan kekerasan, sangat mengesankan.
Tadinya saya skeptis dengan film ini, antara lain karena pemerannya adalah Shah Rukh Khan, yang tadinya saya anggap aktor Bollywood yang hanya bisa memainkan drama sabun ala India. Seorang kawan, Syarifah E Rolam secara tak langsung merekomendasikan film ini untuk saya tonton. Dengan skeptis, saya sempatkan untuk menontonnya. Ternyata film ini sangat berkesan, bahkan bagi saya yang biasanya selalu meremehkan film-film India. Ternyata ini film kelas satu dengan akting kelas satu.
My name is Ferdy. And I am not a terrorist.
Di tengah amarah dan kesedihannya akan kehilangan putera tersayang, Mandira mengusir suaminya yang mengidap Asperger Syndrome (sejenis autis). Putera mereka, Sam, tewas terbunuh akibat prasangka rasial pasca tragedi 9/11. Mandira menyesal karena telah menikah dengan seorang muslim, karena nama Khan di belakang nama anaknya telah menyebabkan anaknya tewas dibunuh. Jika seandainya ia tidak menikah dengan Rizvan Khan, dan tidak memakai nama Khan sebagai nama keluarga mereka, bisa jadi anaknya masih hidup. Di tengah kemarahannya, Mandira berkata :
"Jumlah penduduk kota ini 30 ribu orang, setiap orang di sini membencimu. Katakan pada mereka, namamu Khan, dan kau bukan teroris. Katakan pada seluruh warga Amerika, namamu Khan, dan kau bukan teroris. Atau pergilah temui presiden Amerika, dan katakan padanya, namamu Khan, dan kau bukanlah teroris. Jika itu sudah kau lakukan, maka kembalilah, baru kita bisa bertemu lagi."
Maka pergilah Rizvan Khan, dengan membawa duka yang dalam, menjelajahi negara-negara bagian di Amerika, dengan mengikuti jadwal kampanye George Bush yang berpidato ke daerah-daerah. Ia berusaha menemui presiden Amerika untuk mengatakan satu kalimat : "My name is Khan, and I am not a terrorist."
My Name Is Khan bukan jenis film India biasa. Ini adalah film luarbiasa yang begitu mengharu biru perasaan. Ini film serius, dengan budget tinggi, skenario yang apik, dan akting yang aduhai dari Shah Rukh Khan (astaga, ternyata dia bisa berakting juga). Dalam memerankan penderita autis, aktingnya mengingatkan saya dengan Dustin Hoffman di film Rain Man. Sama sekali tidak over acting, bukan seperti akting Anjasmara yang aneh dan berlebihan seperti yang di sinetron itu. Bagi penggemar film Bollywood yang terbiasa dengan tari-tarian spektakuler yang memamerkan udel dan goyangan sensual dan nyanyian yang tak ada habis-habisnya, film ini sama sekali bukan jenis yang itu. Lagu-lagu India sebagai musik background nya tidak terdengar nyinyir, dan sangat menyatu dengan adegannya.
Film ini ibarat gabungan dari The Rain Man dan Forrest Gump. Dalam usahanya menemui presiden Amerika Serikat, perjalanan Rizvan Khan yang inspiratif mirip dengan yang dilakukan Forrest Gump setelah dia ditinggalkan oleh Jenny Curran. Dalam pengembaraannya, Rizvan Khan mengenakan sepatu olahraga yang tadinya dihadiahkan untuk anaknya. Sedangkan di film Forrest Gump, Forrest memakai sepatu olahraga yang dihadiahkan oleh Jenny Curran. Kejeniusan Rizvan Khan menebak puzzle dan memperbaiki barang-barang rusak, mirip dengan yang dilakukan oleh Raymond Babbit di film Rain Man.
Film ini berbicara tentang hal-hal universal dengan bahasa yang fasih. Kita bisa selalu menangkap pesannya di balik dialog-dialog yang bagus, lucu, dan sekaligus mengharukan. Kehidupan sulit umat muslim di Amerika pasca 9/11 digambarkan dengan lugas. Isu rasialisme, prasangka, paranoid dan sentimen keagamaan dipaparkan dengan jelas, tanpa bermaksud memihak salah satu agama, walaupun tokoh sentral di film ini beragama Islam. Kerusuhan Hindu-Islam di India pada tahun 1980-an juga diangkat, mirip dengan yang kita lihat di film Slumdog Millionaire. Adegan-adegan inspiratif ketika tokoh utamanya shalat di perhentian bus, ketika menolong jemaat gereja sebuah kota kecil dari amukan badai, dan ketika memaparkan opininya di sebuah masjid yang berisi orang-orang yang menyamakan Islam dengan kekerasan, sangat mengesankan.
Tadinya saya skeptis dengan film ini, antara lain karena pemerannya adalah Shah Rukh Khan, yang tadinya saya anggap aktor Bollywood yang hanya bisa memainkan drama sabun ala India. Seorang kawan, Syarifah E Rolam secara tak langsung merekomendasikan film ini untuk saya tonton. Dengan skeptis, saya sempatkan untuk menontonnya. Ternyata film ini sangat berkesan, bahkan bagi saya yang biasanya selalu meremehkan film-film India. Ternyata ini film kelas satu dengan akting kelas satu.
My name is Ferdy. And I am not a terrorist.
Baca selengkapnya di www.ferdy.mirrorz.com
Artikel Terkait : Slumdog Millionaire | The Last Supper | The Year Of Living Dangerously | Jiydref
Tidak ada komentar:
Posting Komentar