04 November 2015

Madihin

Madihin (berasal dari kata madah dalam bahasa Arab yang berarti "nasihat", tapi bisa juga berarti "pujian") adalah sebuah genre puisi dari suku Banjar. Madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan perspektif dan khasanah di luar kultur Banjar. Tajuddin Noor Ganie (2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai berikut: puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan penampilan fisik dan mental tertentu sesuai dengan konsep yang berlaku secara khusus dalam khasanah budaya Banjar.

Bentuk fisik Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola sajaknya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal :
a/a/
a/a 
a/a/b/b 
a/b/a/b. 

Contoh:
Laki bagawi iringi dua rastu 
supaya bagawi kada taganggu 
bulik ka rumah kira-kira pukul satu 
jaga di pintu wan bari sanyum dahulu 

(Suami bekerja, iringi doa restu
supaya bekerja tidak terganggu
pulang ke rumah kira-kira jam satu
jaga di pintu dan beri senyum dahulu)

Amun balajar jangan angin-anginan 
bahanu rancak, bahanu kada mangaruwan 
Buku mambuku pina bahilangan 
bahimad balajar bila handak ulangan 
pikiran kalut awak gagaringan 
bulik ka rumah disariki kuitan 

(kalau belajar jangan angin-anginan
kadang sering, kadang tidak karuan
buku-buku sering kehilangan
rajin belajar jika mau ulangan
pikiran kalut, badan sakit-sakitan
pulang ke rumah, di marahi orang tua)

Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Melayu) dan semua baitnya saling berkaitan secara tematis. Madihin dituturkan di depan publik dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4 orang seniman Madihin. 

Tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar: Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526. Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat yang digelar dalam
rangka memperintai hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar). 

Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur Madihin disebut Pamadihinan, seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamadihinan, yakni: 

  1. keahlian mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan secara stereotype 
  2. keahlian mengolah tema dan amanat Madihin yang dituturkannya 
  3. keahlian olah vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik 
  4. keahlian mengolah lagu dan irama ketika menuturkan Madihin 
  5. keahlian mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang Madihin), 
  6. keahlian mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik. 
Tidak hanya di tempat asalnya, Kalimantan Selatan, Madihin juga menjadi sarana hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman etnis Banjar di luar daerah seperti di Tembilahan, Indragiri Hilir, di Kuala Tungkal, Jambi, atau bahkan di luar negeri seperti di Malaysia dan Singapura. Namanya juga tetap Madihin. 

Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), kuntaw (seni bela diri), tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan. Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar masih belum begitu akrab dengan sistem pembayaran menggunakan uang, imbalan jasa bagi seorang Pamadihinan diberikan dalam bentuk Pinduduk. Pinduduk terdiri dari sebatang jarum dan segumpal benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. 

Madihin tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di daerah bersuku Banjar saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan pertunjukan Madihin yang penuh humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota
Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon Tralala.

Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi dirinya dengan bantuan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datuk Madihin. Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan. Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya hingga ke tingkat yang paling kreatif. Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar dapat menekuni profesi sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya. Datuk Madihin yang menjadi sumber asal-usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep tradisonal etnis Banjar purba. Datuk Madihin diyakini sebagai orang pertama yang menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar. 

Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Dalam ritual tersebut konon Datuk Madihin diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datuk Madihin yang merasukinya ketika itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datuk Madihin. Tidak ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin.

Kesenian tradisional seni bertutur Madihin di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, terancam punah karena tidak adanya regenerasi baru seni tersebut. Pemain Madihin di Indragiri Hilir, Ahmad Alatas pernah menyatakan kebimbangannya bahwa seni tradisional tersebut bakal punah karena langkanya penutur. Menurut dia, Madihin merupakan seni yang telah menjadi ikon Kabupaten Indragiri Hilir yang dibawa masyarakat Banjar. "Seni Madihin ini juga tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah untuk melestarikannya," ungkap Ahmad.

Ia mengatakan, tidak adanya perhatian dan bantuan dari pemerintah ini membuat mereka kesulitan melakukan pembinaan bagi generasi muda yang tertarik menekuni dan belajar Madihin. "Perhatian pemerintah daerah Inhil terhadap seni Madihin ini tidak ada sama sekali, bahkan kami pernah meminta bantuan pakaian seragam dan gendang tidak dibantu. Padahal kalau sanggar tari, Pemda Inhil sanggup memberangkatkannya sampai ke Perancis," ungkapnya.

Para pemain Madihin yang tersebar di Kecamatan Tembilahan, Tembilahan Hulu, Batang Tuaka dan Kempas selama ini hanya mengandalkan orderan dari peminat seni ini, yang biasanya digelar saat ada hajatan perkawinan, terutama di kalangan masyarakat suku Banjar. Kadang-kadang juga menerima tawaran pementasan saat ada acara pengukuhan paguyuban.

"Selama ini kami menerima tawaran manggung dari masyarakat yang tertarik dengan seni Madihin, seperti pada hajatan perkawinan. Kami pernah manggung sampai ke Batam, Kepulauan Riau, Jambi, Palu (Sulut), bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura," sebutnya.

Biasanya ia mempertunjukkan seni Madihin ini bersama rekan wanitanya, Masniah dan juga rekannya Abdurrahman.

Bayaran atas pementasan Madihin, dihitung berdasarkan jauh atau dekatnya tempat pementasan. Kalau masih dalam kota biasanya mereka dibayar Rp 300 sampai 400 ribu untuk sekitar 2-3 jam pementasan. Sedangkan jika keluar kota biaya carterannya Rp2,5 sampai Rp3 juta.

"Biaya yang kita tawarkan tergantung jauh dekatnya tempat manggung, kalau masih didalam kota biasanya Rp300 ribu masih kita terima. Kalau jauh, seperti Kuala Enok, Kecamatan Tanah Merah Rp2 juta, Kuala Tungkal, Jambi Rp3 juta, Tanjung Pinang, Kepri Rp4 juta, ini diluar ongkos keberangkatan dan akomodasi kita," imbuh Ahmad Alatas.

Saat ini kesenian bertutur yang positif ini makin tenggelam di tengah maraknya kultur digital dan ketertarikan generasi muda pada budaya Korea, Jepang dan Barat.