02 Mei 2008

Doea Tanda Mata

Tata artistik dan sinematografi apik yang tidak kita temui dalam film-film Indonesia saat ini, telah dicapai dengan gemilang oleh film Doea Tanda Mata, yang diproduksi tahun 1984. Film yang dibesut oleh Teguh Karya ini meraih penghargaan Film Terbaik dan Fotografi Terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik tahun 1986. Di dalam negeri, film ini meraih Piala Citra untuk kategori aktor terbaik (Alex Komang), fotografi terbaik, tata artistik terbaik, dan tata musik terbaik. Bahkan, posternya mendapat penghargaan disain tertinggi dan mendapat hadiah S. Toetoer, tahun 1985.
Setelah kecewa dengan Nagabonar Jadi 2 yang tata artistiknya tidak beda dengan gambar-gambar yang ada di sinetron, belum ada film Indonesia yang mampu menyaingi keindahan gambar-gambar dalam Doea Tanda Mata, yang fotografinya dipegang oleh George Kamarullah. Mungkin Ca Bau Kan bisa mendekati, tapi tidak menandingi. Ekspedisi Madewa boleh dibilang kesia-siaan, karena walaupun budgetnya lumayan besar, film ini gagal mencapai nilai artistik yang tinggi.
Kisah filmnya sendiri sangat bagus, tidak menjual romantisme kepahlawanan yang berlebihan. Tokohnya, Gunadi, memiliki karakter manusia apa adanya, tidak menjadi pahlawan kesiangan seperti dalam film Lebak Membara, film perjuangan yang terjebak menjadi film laga. Film yang berlatar belakang tahun 1930-an ini menceritakan ketika Indonesia masih disebut sebagai Hindia Belanda. Karena pembunuhan politik temannya, Gunadi (Alex Komang), yang meninggalkan istrinya yang guru untuk bergabung dengan gerakan perlawanan menentang pemerintah Hindia Belanda.
Gunadi dan rekan-rekan sesama perjuangan menyebarkan selebaran-selebaran dan berita perjuangan dari sebuah percetakan yang merangkap tempat hiburan panggung (stamboel). Karena suatu insiden, Gunadi merencanakan pembunuhan politik terhadap seorang Komisioner Belanda yang terlibat. Tetapi ketika dia jatuh cinta terhadap Ining (Jenny Rachman), penyanyi stamboel yang juga saudara perempuan dari temannya yang terbunuh, Gunadi menjadikan tujuannya menjadi balas dendam.
Nasionalisme memang menjadi tema sentral film ini, tapi film ini juga dengan santun mempertanyakan kemurnian perjuangan. Dengan intensitas kisah yang terjaga dan akhir cerita yang penuh dengan ironi, film ini mendapat sambutan yang luar biasa, dan waktu itu menjadikan film Indonesia diperhitungkan di manca negara. Sineas-sineas Indonesia saat ini bolehlah berhenti memproduksi film hantu, dan belajar dari para pendahulunya bagaimana membuat film yang tidak hanya indah dari segala segi, tapi juga sukses.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar