Saya sangat jarang ke salon. Untuk urusan potong rambut, saya pergi ke barber, yang biasanya judulnya : Pangkas Rambut Suasana, Pangkas Rambut Surya, Pangkas Rambut RapiJali, Pangkas Rambut Atasbawah. Banyak alasan saya untuk tidak pergi ke salon, antara lain kesannya mahal, sering ada bencongnya, tidak ada pisau cukur, pelayanan lama, dan lain-lain. Lagipula, saya cuma mau potong rambut. Bukan mau cuci muka, keramas, hair masking, creambath atau apalah. Bagi saya, salon itu tempat wanita. Dan saya ini maunya serba cepat, begitu selesai potong rambut, bayar, terus pergi.
Kalau istri saya lagi mood, dia mau memotong rambut saya, sebelumnya memang kepala saya ini jadi lahan eksperimen dia untuk latihan motong rambut. Terakhir telinga saya jadi korban, luka kena gunting. Dia cuma bilang: "Abis mas item sih, jadi saya susah bedakan mana rambut, mana kuping."
Demikianlah, pada suatu sore saya mampir ke mall. Di luar hujan lebat, seperti rambut saya yang juga sedang lebat. Kebetulan saya lewat di sebuah salon, cukup mentereng juga salonnya. Karena hujan tadi saya belum bisa pulang sementara besok mungkin saya tidak punya waktu lagi untuk potong rambut, maka iseng-iseng sayapun mulai mendekati salon itu. Dari luar kelihatan yang jaga laki-laki semua, dan pelanggannya cuma dua atau tiga orang. Yang jaga counterpun laki-laki, dengan kumis garang dan brewok samar-samar. Maka sayapun membuka pintu, lalu masuk.
Begitu saya mendekati counter, si mas berkumis itu langsung ngomong:
"Selamat soree, mau diapain mas?"katanya dengan gaya kemayu. Anjir, bencong ternyata. Lalu kumis tebal itu buat apa?
Tadinya saya mau keluar saja, kabur. Tapi karena sudah terlanjur di dalam dan semua mata kelihatannya memandang saya, jadi kepalang basah, sayapun ngomong:
"Cuma mau potong rambut."
"Ouhhh, "timpal si kumis itu lagi. "Ngga sekalian cuci muka, dan creambath?"
"Nggak, cuma mau potong rambut."
"Sekalian cuci muka dong ya," kata si kumis, gayanya makin kenes.
"Nggak, potong rambut aja."
"Paketnya dengan cuci muka lo mas."
"Tapi saya cuma mau potong rambut."
"Oke dehhhh.." kata si kumis dengan mendesah genit. "Silakan ke mari." katanya sambil menunjuk kursi di ujung.
Cowok yang akan memotong rambut saya kelihatannya normal, karena gayanya agak kaku. Setelah saya duduk, dia berkata:
"Sekalian cuci muka mas?" suaranya sengau. Hayah, bencong lagi.
"Potong rambut aja mb... eh.. mas."kata saya.
Lalu proses pemotongan rambut sayapun dimulai. Benar, tidak ada pisau cukur seperti yang ada di barber. Tidak ada mesin cukur, yang ada gunting dan sisir. Setelah seselai, ternyata cukup rapi juga. Bolehlah.
"Silakan bayar di kasir, mas. Beneran ga mau cuci muka?" kata si sengau.
"Tidak, makasih." sayapun mendekati kasir. "Berapa mas?"
Si kumis mengutak-atik mesin cash register, lalu bilang:
"Lima puluh lima ribu mas."
"Lima puluh lima rib.....?!" berharap moga-moga si kumis salah ngomong.
"Iya, lima puluh lima ribu. Kan sudah saya bilang, paketnya dengan cuci muka atau cuci rambut. Mahal ya mas, memang segini harganya, yang murah itu salonpas." kata si kumis lagi dengan gaya kenesnya.
Ya sudahlah. Mulai besok saya tidak akan pernah potong rambut di salon lagi. Mending cari tukang pangkas di bawah pohon atau panggil bang Buyung kalau di kampung. Atau potong rambut sama istri saja, walaupun kuping saya jadi taruhan. Memang saya tidak bakat untuk jadi orang kaya.
Kalau istri saya lagi mood, dia mau memotong rambut saya, sebelumnya memang kepala saya ini jadi lahan eksperimen dia untuk latihan motong rambut. Terakhir telinga saya jadi korban, luka kena gunting. Dia cuma bilang: "Abis mas item sih, jadi saya susah bedakan mana rambut, mana kuping."
Demikianlah, pada suatu sore saya mampir ke mall. Di luar hujan lebat, seperti rambut saya yang juga sedang lebat. Kebetulan saya lewat di sebuah salon, cukup mentereng juga salonnya. Karena hujan tadi saya belum bisa pulang sementara besok mungkin saya tidak punya waktu lagi untuk potong rambut, maka iseng-iseng sayapun mulai mendekati salon itu. Dari luar kelihatan yang jaga laki-laki semua, dan pelanggannya cuma dua atau tiga orang. Yang jaga counterpun laki-laki, dengan kumis garang dan brewok samar-samar. Maka sayapun membuka pintu, lalu masuk.
Begitu saya mendekati counter, si mas berkumis itu langsung ngomong:
"Selamat soree, mau diapain mas?"katanya dengan gaya kemayu. Anjir, bencong ternyata. Lalu kumis tebal itu buat apa?
Tadinya saya mau keluar saja, kabur. Tapi karena sudah terlanjur di dalam dan semua mata kelihatannya memandang saya, jadi kepalang basah, sayapun ngomong:
"Cuma mau potong rambut."
"Ouhhh, "timpal si kumis itu lagi. "Ngga sekalian cuci muka, dan creambath?"
"Nggak, cuma mau potong rambut."
"Sekalian cuci muka dong ya," kata si kumis, gayanya makin kenes.
"Nggak, potong rambut aja."
"Paketnya dengan cuci muka lo mas."
"Tapi saya cuma mau potong rambut."
"Oke dehhhh.." kata si kumis dengan mendesah genit. "Silakan ke mari." katanya sambil menunjuk kursi di ujung.
Cowok yang akan memotong rambut saya kelihatannya normal, karena gayanya agak kaku. Setelah saya duduk, dia berkata:
"Sekalian cuci muka mas?" suaranya sengau. Hayah, bencong lagi.
"Potong rambut aja mb... eh.. mas."kata saya.
Lalu proses pemotongan rambut sayapun dimulai. Benar, tidak ada pisau cukur seperti yang ada di barber. Tidak ada mesin cukur, yang ada gunting dan sisir. Setelah seselai, ternyata cukup rapi juga. Bolehlah.
"Silakan bayar di kasir, mas. Beneran ga mau cuci muka?" kata si sengau.
"Tidak, makasih." sayapun mendekati kasir. "Berapa mas?"
Si kumis mengutak-atik mesin cash register, lalu bilang:
"Lima puluh lima ribu mas."
"Lima puluh lima rib.....?!" berharap moga-moga si kumis salah ngomong.
"Iya, lima puluh lima ribu. Kan sudah saya bilang, paketnya dengan cuci muka atau cuci rambut. Mahal ya mas, memang segini harganya, yang murah itu salonpas." kata si kumis lagi dengan gaya kenesnya.
Ya sudahlah. Mulai besok saya tidak akan pernah potong rambut di salon lagi. Mending cari tukang pangkas di bawah pohon atau panggil bang Buyung kalau di kampung. Atau potong rambut sama istri saja, walaupun kuping saya jadi taruhan. Memang saya tidak bakat untuk jadi orang kaya.
Baca selengkapnya di www.ferdy.mirrorz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar