Bang Jalil memiliki suara yang cukup powerful. Orangnya belum muncul di ujung gang, tapi suaranya sudah membahana, membawa berita bagus bagi penduduk Tembilahan yang butuh cemilan sore-sore. Tak perlu pakai megaphone TOA yang ada di surau-surau, suaranya yang cempreng dengan lantang meneriakkan nama-nama wadai (kue) tradisional, semacam papari, hamparan tatak, papudak (sejenis lemper), kalalapon (klepon), kue lapis, juga wadai dua kali sakit alias dadar gulung.
Bang Jalil menjajakan kue-kue tradisional dengan menjunjung talam, yaitu sejenis nampan yang berlapis enamel. Ada anekdot soal ini, semacam teki-teki yang menanyakan siapa yang sewaktu kecil di atas talam, besar di bawah talam. Jawabannya ya si Jalil ini. Karirnya cukup bertahan lama, mulai dari pertengahan tahun 70-an hingga awal 90-an.
Sebetulnya masa itu banyak juga yang berprofesi menjadi penjaja kue keliling, tapi yang terkenal dan lengket di benak penduduk cuma Jalil. Yang dilakukan Jalil ini, sebagaimana juga yang dilakukan bartender keliling alias penjual jamu gendong, adalah strategi pemasaran jemput bola. Produsen mendatangi konsumen secara langsung. Cara yang dilakukan Jalil terbukti efektif, branding image nya juga berhasil dicapai, karena nama Jalil selalu diasosiasikan dengan kue-kue tradisional yang variatif.
Lain pula dengan si Uhan. Uhan ini sosok sangar dengan penampilan bak pendekar mata satu. Orang bule yang nyasar di Tembilahan pada masa itu bisa salah sangka bahwa Uhan ini sejenis sinterklas lokal. Karena ke mana-mana si Uhan selalu memanggul karung. Karung itu dibawa ke mana-mana untuk memenuhi panggilan profesinya, yaitu sebagai kolektor beras! Ya, Uhan ini sejenis peminta-minta, dengan spesialisasi: beras. Jadi dia tidak meminta uang atau yang lain, hanya beras, beras, dan beras. Isi karung beras si Uhan bisa membuat iri penjaga gudang beras Bulog, karena beras Uhan lebih bervariasi. Di dalam karungnya mungkin ada beras Solok, beras Cianjur, beras jatah pegawai negeri, juga beras afkiran yang banyak mengandung batu kerikil itu.
Bahkan dulu sempat ada lagu tentang Uhan. Lagunya merupakan plesetan dari lagu Rhoma Irama, penyanyi dangdut hipokrit yang kalau ngomong seperti orang terengah-engah itu. Kira-kira penggalan liriknya begini :
..." Katakan, mata Uhan satuuuuuuu..."
Saya dulu sempat curiga bahwa Uhan ini termasuk orang yang romantis, karena disinyalir istrinya lebih dari satu. Dibilang romantis karena kok bisa ada lebih satu wanita bertekuk lutut dan mau menjadi istrinya. Nah, siapa yang mau dengan pengemis? Kecuali kalau pengemisnya semacam King of Beggars seperti dalam film-film konyolnya Stephen Chow. Tambahan dulu sempat beredar gosip bahwa si Uhan ada affair dengan si Masnah. Masnah ini perempuan melankolis gila yang dulu selalu duduk mengangkang di depan markas polisi. Sebelumnya ada desas-desus yang menyatakan bahwa Masnah tadinya semacam primadona yang dikhianati oleh anggota polisi sehingga menjadi gila. Benar atau tidaknya, yang jelas dulu banyak saksi mata (atau yang merasa menjadi saksi) yang melihat adegan Uhan mendekati Masnah sambil memetik bunga tahi ayam. Romantis bukan?
Yang pasti, kehidupan si Uhan penuh suka duka. Pernah saya saksikan orang menaruh tempurung kelapa ke dalam karungnya. Pernah juga batu sebesar tinju yang disusupkan ke situ, atau tahi kucing yang dibungkus daun pisang (nggak ada kerjaan banget). Pernah juga dia diusir. Tapi untunglah dia itu orangnya cuek, pagi di usir, sore kembali ke tempat yang sama. Kegigihannya bisa menjadi sumber inspirasi bagi koruptor-koruptor beras, termasuk koruptor yang jatuh dua kali di lobang yang sama.
Nama-nama seperti Jalil, Uhan dan Masnah mewarnai kehidupan sehari-hari penduduk kampung saya di era 70-an hingga akhir 80-an. Setiap kota memiliki kisah uniknya sendiri, ada yang lucu, ada yang tragis, ada yang tak terlupakan dan kemudian menjadi kenangan. Yang pasti, suatu saat saya akan kembali ke sana dan akan dengan lahapnya memakan kue-kue yang dulu dijajakan si Jalil, sambil berbincang tentang Uhan dan minum air hujan.
(Ferdot)
Bang Jalil menjajakan kue-kue tradisional dengan menjunjung talam, yaitu sejenis nampan yang berlapis enamel. Ada anekdot soal ini, semacam teki-teki yang menanyakan siapa yang sewaktu kecil di atas talam, besar di bawah talam. Jawabannya ya si Jalil ini. Karirnya cukup bertahan lama, mulai dari pertengahan tahun 70-an hingga awal 90-an.
Sebetulnya masa itu banyak juga yang berprofesi menjadi penjaja kue keliling, tapi yang terkenal dan lengket di benak penduduk cuma Jalil. Yang dilakukan Jalil ini, sebagaimana juga yang dilakukan bartender keliling alias penjual jamu gendong, adalah strategi pemasaran jemput bola. Produsen mendatangi konsumen secara langsung. Cara yang dilakukan Jalil terbukti efektif, branding image nya juga berhasil dicapai, karena nama Jalil selalu diasosiasikan dengan kue-kue tradisional yang variatif.
Lain pula dengan si Uhan. Uhan ini sosok sangar dengan penampilan bak pendekar mata satu. Orang bule yang nyasar di Tembilahan pada masa itu bisa salah sangka bahwa Uhan ini sejenis sinterklas lokal. Karena ke mana-mana si Uhan selalu memanggul karung. Karung itu dibawa ke mana-mana untuk memenuhi panggilan profesinya, yaitu sebagai kolektor beras! Ya, Uhan ini sejenis peminta-minta, dengan spesialisasi: beras. Jadi dia tidak meminta uang atau yang lain, hanya beras, beras, dan beras. Isi karung beras si Uhan bisa membuat iri penjaga gudang beras Bulog, karena beras Uhan lebih bervariasi. Di dalam karungnya mungkin ada beras Solok, beras Cianjur, beras jatah pegawai negeri, juga beras afkiran yang banyak mengandung batu kerikil itu.
Bahkan dulu sempat ada lagu tentang Uhan. Lagunya merupakan plesetan dari lagu Rhoma Irama, penyanyi dangdut hipokrit yang kalau ngomong seperti orang terengah-engah itu. Kira-kira penggalan liriknya begini :
..." Katakan, mata Uhan satuuuuuuu..."
Saya dulu sempat curiga bahwa Uhan ini termasuk orang yang romantis, karena disinyalir istrinya lebih dari satu. Dibilang romantis karena kok bisa ada lebih satu wanita bertekuk lutut dan mau menjadi istrinya. Nah, siapa yang mau dengan pengemis? Kecuali kalau pengemisnya semacam King of Beggars seperti dalam film-film konyolnya Stephen Chow. Tambahan dulu sempat beredar gosip bahwa si Uhan ada affair dengan si Masnah. Masnah ini perempuan melankolis gila yang dulu selalu duduk mengangkang di depan markas polisi. Sebelumnya ada desas-desus yang menyatakan bahwa Masnah tadinya semacam primadona yang dikhianati oleh anggota polisi sehingga menjadi gila. Benar atau tidaknya, yang jelas dulu banyak saksi mata (atau yang merasa menjadi saksi) yang melihat adegan Uhan mendekati Masnah sambil memetik bunga tahi ayam. Romantis bukan?
Yang pasti, kehidupan si Uhan penuh suka duka. Pernah saya saksikan orang menaruh tempurung kelapa ke dalam karungnya. Pernah juga batu sebesar tinju yang disusupkan ke situ, atau tahi kucing yang dibungkus daun pisang (nggak ada kerjaan banget). Pernah juga dia diusir. Tapi untunglah dia itu orangnya cuek, pagi di usir, sore kembali ke tempat yang sama. Kegigihannya bisa menjadi sumber inspirasi bagi koruptor-koruptor beras, termasuk koruptor yang jatuh dua kali di lobang yang sama.
Nama-nama seperti Jalil, Uhan dan Masnah mewarnai kehidupan sehari-hari penduduk kampung saya di era 70-an hingga akhir 80-an. Setiap kota memiliki kisah uniknya sendiri, ada yang lucu, ada yang tragis, ada yang tak terlupakan dan kemudian menjadi kenangan. Yang pasti, suatu saat saya akan kembali ke sana dan akan dengan lahapnya memakan kue-kue yang dulu dijajakan si Jalil, sambil berbincang tentang Uhan dan minum air hujan.
(Ferdot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar