02 April 2014

The Raid 2: The Celebration of Violence.

Tontonlah The Raid 2, dan anda akan mendapatkan sejenis pesta luarbiasa yang mengagung-agungkan kekerasan. Violence extravaganza! Kisahnya merupakan lanjutan langsung dari The Raid 1, dengan penjahat-penjahat baru, tokoh-tokoh baru yang tidak saja absurd, tapi juga sangat kreatif dalam melakukan kekerasan.

Meskipun ada aktor-aktor veteran seperti Cok Simbara, Tio Pakusadewo, beberapa aktor Jepang, lalu ada pula karakter Julie Estelle yang menarik, namun film ini tidak mempertontonkan hal baru, selain kekerasan, kekerasan, dan kekerasan.

Kisahnya absurd di negeri yang absurd. Tentu saja shootingnya di Indonesia, pemeran dan kru nya sebagian besar orang Indonesia, dan settingnya di Indonesia, tapi tidak ada hal lain yang didapat dari film ini selain bahwa semua masalah diselesaikan dengan cara kekerasan. Leher orang disembelih dan disayat, leher tercabik-cabik, kepala pecah, pikirkanlah beberapa hal kreatif tentang bagaimana orang bisa mati dibunuh, dan film ini jauh melebihi imajinasi terkelam kita.

Saya meyakinkan diri sendiri bahwa film ini bukan bersetting Indonesia. Pada adegan pembantaian terhadap Prakoso (Yayan Ruhiyan yang muncul lagi setelah mati di The Raid 1), ia melarikan diri ke sebuah gang sempit di mana salju sedang turun. Salju! Berarti bukan di Indonesia dong.. tapi hey!! ada gerobak lomie, gerobak bakso dan bakmi di ujung sana.


Tidak ada gambaran cinta kasih di sini, tidak ada persahabatan, tidak ada kasih sayang, adanya anak membunuh orangtuanya dengan darah dingin, teman membunuh teman, teman menipu teman, ayah yang mencoba menenangkan putranya dengan menyarankan agar putranya dibawa ke tempat hiburan malam dan diberi perempuan, dan lain lain. Benar-benar Indonesia digambarkan sebagai violent country. Dan dengan rating di IMDB yang tingginya absurd, Gareth Evans, sutradara kelahiran Inggris, sungguh sukses melakukannya. Dengan rating IMDB yang ngalah-ngalahin The Dark Knight Rises, terbukti bahwa pemuja kekerasan makin banyak di luar sana.

Jauh lebih mending film After the Dark, sebuah film filosofi tentang pilihan-pilihan hidup, tentang pengorbananan dan cinta, yang bersetting di Prambanan, Bromo, dan Pulau Belitong. Indonesia digambarkan sebagai negeri yang indah, dengan tempat-tempat yang memberi makna pada dialog-dialog yang juga penuh makna.

Dan kita sekali lagi diperbodoh oleh orang asing. Dia memperkenalkan dunia perfilman Indonesia, memperkenalkan orang-orang Indonesia, tapi sekaligus menjual kekerasan bernama Indonesia. Saya bisa membayangkan Gareth Evans berkata: "Hey world, do you want to see a movie about violence, here it is from Indonesia. Enjoy it".

Dan tentu saja, akan ada The Raid 3, yang kekerasannya akan digambarkan lebih kreatif lagi. Let's celebrate violence, not love, not friendship, not emphaty. :p

Artikel lain: The Year of Living Dangerously  | Menunggu Godot  | Suuzon 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar