30 Maret 2013

Revenue Management: OTA, ARR, dan RevPAR..




















Banyak hotelier yang belum tahu bahwa revenue management di dunia perhotelan sebenarnya dikembangkan berdasarkan kesuksesan yield management yang dipraktekkan dalam dunia penerbangan. Hotel memiliki masalah dan tantangan yang sama yang dihadapi dalam dunia penerbangan, misalnya dalam hal inventory, pemesanan dini, harga terendah yang kompetitif, dan dinamika harga yang bergerak mengikuti hukum supply dan demand. Faktor-faktor utama yang menentukan dalam revenue management hampir sama dengan yang berlaku di yield management.

-Jumlah kursi/kamar yang tersedia.
-Berapa lama waktu yang tersisa untuk menjual kursi/kamar pada hari berjalan.
-Berapa harga kursi/kamar yang diset oleh hotel/maskapai lain.

Maskapai seperti Air Asia misalnya, merupakan salah satu pionir dalam yield management di Asia, dan gebrakan mereka sangat mempengaruhi pasar. Kesuksesan yield management dalam dunia penerbangan inilah yang menginspirasi munculnya online travel agent (OTA), untuk kemudian memicu munculnya revenue management.

Revenue Management adalah posisi atau departemen yang baru dalam dunia perhotelan. Tidak semua hotel memiliki posisi ini. Hingga banyak yang tidak tahu apa dan bagaimana cara bekerjanya. Intinya adalah, revenue management memiliki goal untuk memaksimalkan revenue, dengan cara melakukan penetapan harga kamar yang dinamis, mengikuti supply dan demand, dan memastikan bahwa penetapan harga tersebut mampu memaksimalkan revenue yang semestinya didapatkan.

Dalam melakukan tugasnya tersebut, seorang yang bertugas dalam hal revenue management juga harus mengetahui harga yang diset oleh hotel kompetitornya, terutama kompetitor terdekat yang memiliki area dan market yang sama. 

Sebagai contoh, misalkan pada tanggal 30, yang jatuh pada hari Sabtu (weekend), hotel A memiliki forecast 93%. Hotel A memiliki 100 kamar, dan dengan forecast occupancy 93%, kamar yang tersisa adalah 7 kamar. Revenue manager harus menentukan, apakah ia harus menaikkan harga (karena demand yang dinilai tinggi), atau tetap bertahan pada harga kamar yang sudah ada. Jika ia menaikkan harga terlalu tinggi, ia memiliki resiko tidak ada yang akan membeli kamar yang tersisa. Jika ia tetap menentukan harga yang rendah, ia beresiko kehilangan revenue yang seharusnya didapat. Dalam menentukan dynamic selling price ini, selain ketiga faktor di atas (jumlah kamar tersedia/tersisa, waktu yang tersisa untuk mengisi kamar yang tersisa, dan penetapan harga oleh kompetitor), yang juga harus diperhatikan adalah budget yang ditetapkan, pengetahuan mengenai hari-hari libur nasional negara sendiri dan juga negara lain, dan juga koordinasi yang baik dengan bagian reservasi, marketing, dan front liners lainnya.

Penetapan harga kamar yang banyak dilakukan adalah, hotel misalnya menentukan harga kamar tetap jika occupancy forecast berkisar antara 0-65%. Namun ketika occupancy naik melewati angka 65%, harga kemudian dinaikkan. Biasanya volume pemesanan kamar meningkat ketika occupancy 0-65%, lalu kemudian pemesanan mulai menurun ketika harga dinaikkan, hingga tidak ada pemesanan kamar sama sekali. Tentu saja keputusan tanpa menilai faktor-faktor lain seperti ini akan mengakibatkan masih banyaknya kamar tersisa yang tidak terjual. 

Secara umum, alasan utama hotel menetapkan harga tinggi ketika occupancy mencapai 65 - 70% adalah karena mereka mengandalkan nilai ARR (average room rate, harga kamar rata-rata) sebagai penanda sukses atau tidaknya penjualan. Pola pikirnya adalah: "sekarang occupancy tinggi sudah didapat, mari kita naikkan ARR", lalu harga kamar pun dinaikkan serta merta, bahkan kenaikan ini dilakukan tanpa memandang harga pasar yang sedang berlaku, dan tidak mencermati harga-harga yang sudah ditetapkan oleh hotel kompetitor. Hasilnya seringkali kamar tidak terjual, dan menyebabkan sisa 30% tak terhuni. Ini artinya, hotel tersebut gagal memaksimalkan revenue nya.

Strategi penetapan harga kamar tidak melulu diukur melalui tingkat occupancy dan ARR

Seperti yang sudah diketahui, ARR dihitung melalui total room revenue dibagi jumlah kamar yang terjual. Di sinilah letak permasalahannya. Jika kita hanya menghitung berdasarkan jumlah kamar yang terjual, kita tidak mendapatkan angka indikator yang sebenarnya. Dua buah hotel dengan tingkat hunian dan kelas yang berbeda bisa saja memiliki ARR yang sama. Hotel A, yang memiliki 100 kamar, bisa saja memiliki ARR yang nyaris sama dengan Hotel B, yang memiliki hanya 60 kamar. Sebagai contoh, pada tingkat hunian 70%, Hotel A bisa memiliki ARR Rp345,000, dan Hotel B memiliki ARR Rp345,000. 

Tapi bukan ARR yang menentukan kinerja hotel dalam peraihan revenue, melainkan RevPAR. RevPAR (revenue per available room) merupakan metriks yang dapat memberikan informasi mengenai berapa banyak  yang didapatkan sebuah hotel dan jumlah revenue yang bisa disetorkan ke rekening bank hotel setiap harinya. RevPAR dihitung berdasarkan total room revenue dibagi total jumlah kamar yang ada, bukan jumlah kamar yang terjual. Nilai ARR tidak mengindikasikan apakah hotel tersebut memiliki occupancy yang tinggi ataupun rendah. Pada saat occupancy rendah, hotel bisa memiliki ARR yang tinggi, begitu juga sebaliknya. ARR bukan indikator yang cukup karena dengan ARR kita tidak mengetahui apakah sebuah hotel masih memiliki 10% ataupun 60% kamar yang masih kosong. Seperti yang saya sebutkan di atas, dua hotel bisa saja memiliki ARR yang sama, namun salah satu memiliki occupancy yang rendah, yang tidak bisa diindakasikan dengan ARR. Dengan RevPAR, kita memiliki indikator yang cukup untuk menentukan langkah selanjutnya dalam revenue management. Ini dikarenakan RevPAR memiliki metriks tetap yang konsisten yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kinerja hotel dalam menghadapi persaingan dengan kompetitor. 

Karena jumlah kamar tersedia di sebuah hotel biasanya tetap, RevPAR memiliki metriks yang konsisten untuk mengindikasikan seberapa besar jumlah revenue yang bisa disetor ke rekening bank sebuah hotel. [Ferdy - Batam 30032013]
(Diposting pertama kali di www.ferdot.com)




4 komentar: