27 September 2015

Disinformasi Melalui Internet Dan Mass Media

Baru-baru ini, sehubungan dengan maraknya kebakaran hutan dan asap yang mempengaruhi kualitas udara di Sumatera, Kalimantan, dan negara tetangga, muncul broadcast yang mengajak kita untuk "peduli dan membantu pengurangan asap" dengan mendatangkan hujan dengan sebaskom air garam.

Saya kutip: "Tolong bantu saudara kita di Riau, Jambi dan Kalimantan. Di sana hanya tersisa 5% yang layak. Hanya dengan langkah kecil. Darurat asap!! Sediakan sebaskom air yang dicampur garam dan diletakkan di luar, biarkan menguap, jam penguapan air yang baik adalah sekitar pukul 11.00 s.d jam 13.00, dengan makin banyak uap air di udara semakin mempercepat kondensasi menjadi butir air pada suhu yang makin dingin di udara. Dengan cara sederhana ini diharapkan hujan makin cepat turun, semakin banyak warga yang melakukan ini masing-masing di rumah, ratusan ribu rumah maka akan menciptakan jutaan kubik uap air di udara..... Mari kita sama-sama berusaha menghadapi kabut asap yang kian parah ini. Mohon diteruskan. Indahnya berbagi."


Dan dengan serta merta, cara 'sederhana dan ilmiah' tersebut disebarluaskan melalui broadcast di social media, oleh orang-orang yang tidak saja berpendidikan tinggi, banyak yang sudah sarjana ikut memforward pesan tersebut, namun juga semua pengguna smartphone aktif lainnya.

Secara ilmiah tentu saja ini konyol. Kita belajar tentang mekanisme hujan sejak SMP, dan dijelaskan bahwa untuk adanya hujan tidak hanya membutuhkan air garam, juga ada faktor cuaca, arah angin, kerapatan atmosfir dan sebagainya. Banyak yang lupa bahwa air laut di sekitar Sumatera dan Kalimantan merupakan baskom air garam yang sangat luas dan besar, tapi toh tidak hujan juga. Kalimat yang menyatakan bahwa: "ratusan rumah akan menciptakan jutaan kubik uap air di udara" juga aneh, karena selalu ada uap air di udara, dengan ataupun tanpa ratusan ribu baskom air garam.

Kasihan sekali jika ada orang yang repot-repot menghabiskan garam di dapurnya hanya untuk mengikuti broadcast konyol tersebut. Niatnya sih baik, tapi niat baik juga butuh sikap smart dan kritis.

Alangkah mudahnya menyebarkan kebohongan, tidak saja di Indonesia, maupun secara global, apalagi jaman sekarang dengan begitu cepat dan rapid nya informasi berpindah, dengan adanya internet, televisi, dan sebagainya. Banyak masyarakat yang memiliki syndrom beo, yang dengan senang hati ikut menyebarkan sebuah berita atau informasi, tanpa mau repot-repot mengecek kebenarannya, tanpa mau repot-repot berhenti sejenak dan berpikir, ini masuk akal apa tidak.

Dan hal ini, propaganda, kebohongan, teori palsu, hadist palsu, fakta ilmiah palsu, sudah lama menjadi bagian dari kehidupan manusia, sejak belum ditemukannya internet sekalipun.

Broadcast di atas merupakan contoh kecil dari disinformasi yang disebarkan melalui social media, yang untunglah tidak berdampak negatif, dan tidak sampai menimbulkan korban jiwa.

Namun berbeda dengan hal-hal yang saya tulis di bawah ini.


Dunia saat ini sedang dipersembahkan dengan sebuah "fakta" tentang ISIS, tentang organisasi teroris yang tiba-tiba muncul entah dari mana, dan dengan kekejaman luar biasa meluluh lantakkan kemanusiaan di sejumlah negeri Timur Tengah. Berita-berita mengenai kekejaman ISIS muncul di televisi, koran, dan lain-lain, semua orang membacanya.

Kita, masyarakat awam yang tidak punya akses langsung untuk datang ke lokasi kejadian, dengan serta merta percaya dan ikut mengutuk. Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa seperti biasa turun tangan, memberikan solusi, datang ke negeri-negeri Timur Tengah untuk menghancurkan ISIS.

Bagaimana jika seandainya ISIS itu adalah rekayasa Amerika, sebuah propaganda menggunakan jaringan jurnalistik yang sebagian besar dikuasai barat, sebuah episode baru untuk memberikan justifikasi agar Amerika dan serdadunya tetap legal di Timur Tengah, dalam rangka membasmi kejahatan dan terorisme, padahal ujung-ujungnya tetap aja klasik, yaitu menguasai cadangan minyak bumi dunia, yang memang setiap waktu semakin menipis.

ISIS disebut episode baru karena episode lama sudah tidak menjual, yaitu Al Qaeda dengan Osama Bin Ladennya. Bahkan peristiwa 9/11 di New York tahun 2001 sekarang menjadi tanda tanya, karena banyak hal-hal yang aneh, berbau konspirasi, dan bahkan warga negara Amerika Serikat pun sudah mulai skeptis dengan versi resmi pemerintah AS mengenai kejadian sebenarnya pada peristiwa tersebut. 

Jadi, kemungkinannya besar sekali bahwa AS menciptakan, dan membiayai keberadaan ISIS agar AS tetap selalu punya alasan untuk menancapkan kakinya di negara-negara yang memiliki cadangan minyak bumi. Sebagaimana layaknya sebuah perusahaan antivirus, mereka menciptakan dan menyebarkan virus, untuk seminggu kemudian mengeluarkan solusi antivirusnya untuk dibeli oleh publik baik secara corporate maupun retail.

Peristiwa sejarah di bawah ini memiliki benang merah yang sama, di mana sebuah teori dipersembahkan kepada masyarakat dunia, sebuah rekayasa besar-besaran yang mengglobal.

Bayangkan saat itu ada teori baru yang mengingatkan kita tentang adanya krisis, sekaligus menunjukkan solusinya.

Teori itu langsung didukung oleh para ilmuwan terkenal, politisi dan selebritis dari seluruh dunia. Riset-riset yang terkait dengan teori baru itu didanai oleh para dermawan tersohor, dan dilaksanakan di berbagai universitas papan atas. Media massa gencar memberitakan krisis tersebut, dan teori itu diajarkan di bangku kuliah dan sekolah-sekolah menengah.

Teori yang dimaksud di atas bukan teori pemanasan global, yang sebenarnya juga masih kontroversial, tetapi teori lain yang sempat menyita perhatian khalayak dunia kurang lebih satu abad yang lalu.

Pemimpin dunia yang secara terang-terangan mendukung teori itu adalah: Theodore Roosevelt, Woodrow Wilson, dan Winston Churchil. Dua hakim agung dari Mahkamah Agung Amerika Serikat: Oliver Wendell Holmes dan Louis Brandis membuat putusan yang menyetujuinya. Tokoh-tokoh terkenal lain yang mendukung teori tersebut antara lain ialah Alexander Graham Bell, si pencipta telepon, aktivis Margaret Sanger, ahli botani terkenal Luther Burbank; Leland Stanford, pendiri Universitas Stanford; novelis HG Wells, dramawan George Bernard Shaw, dan ratusan tokoh lainnya. 

Para ilmuwan pemenang hadiah Nobel ikut-ikutan mendukungnya. Riset yang terkait dengan teori itu didukung dana dari Yayasan Carnegie dan Yayasan Rockefeller. Institut Cold Springs Harbor didirikan untuk menjalankan risetnya, dan lembaga-lembaga pendidikan penting lainnya, seperti Universitas Harvard, Yale, Princeton dan John Hopkins tidak mau ketinggalan. Beberapa negara bagian menggodok produk hukum untuk mengatasi krisis itu, mulai dari New York hingga California.

Langkah-langkah untuk mengatasi krisis yang terkait dengan teori tersebut juga didukung sepenuhnya oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional, Asosiasi Kedokteran Amerika, serta Dewan Riset Nasional. 


Singkat kata, hampir setengah abad lamanya masyarakat dunia disibukkan oleh berbagai riset, pembuatan produk hukum dan riuhnya pro-kontra seputar teori tersebut. Pihak-pihak yang menentangnya dicemooh dan dicap sebagai orang kolot, buta terhadap realitas, atau dungu. Tetapi anehnya, jumlah penentang teori tersebut bileh dibilang sangat sedikit.


Dewasa ini kita semua sudah tahu bahwa teori terkenal yang disambut antusias oleh mayoritas masyarakat dunia itu ternyata hanya teori palsu alias isapan jempol semata. Krisis yang digembar-gemborkannya sama sekali tidak pernah ada. Semua langkah dan tindakan yang ditempuh dengan mengatasnamakan teori itu secara moral dan hukum sama sekali tidak dapat dibenarkan, bahkan telah menyebabkan jutaan orang menemui ajalnya.

Teori yang menghebohkan itu dikenal sebagai eugenika, dengan rekor sejarah yang sangat mengerikan--dan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya harus menanggung aib yang tak terperi--sampai-sampai sekarang orang enggan membicarakannya. Makanya banyak dari generasi kita saat ini yang tidak tahu mengenai pernah adanya teori populer ini. Tetapi semua orang harus mengetahuinya, agar tragedi serupa jangan sampai terjadi lagi.

Menurut teori tersebut, dunia memerlukan semacam kumpulan gen manusia unggulan yang akan menyelamatkan peradaban manusia dari kehancuran. Masih menurut teori itu, tingkat perkembangan ras manusia berkualitas jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan perkembangan manusia-manusia kelas rendah__maksudnya: orang asing, kaum imigran, orang-orang Yahudi, penduduk negara-negara berkembang, Afrika, Papua, dan segala jenis manusia berkualitas rendah dari segi badaniah dan kecerdasannya. 

Isu yang sifatnya masih spekulatif itu pertama-tama dilontarkan oleh Francis Galton, ilmuwan terhormat dari Inggris; namun di luar dugaan Galton, isu tersebut ditanggapi secara luar biasa, bahkan kurang proporsional, terutama oleh orang-orang Amerika yang sok ilmiah dan mereka yang sama sekali tidak tertarik dengan sains, namun sangat risau melihat banjirnya imigran dari "ras-ras rendah" pada awal abad kedua puluh--kaum pendatang itu dianggap sebagai "hama peradaban yang berbahaya", yang menunjukkan "ledakan populasi manusia tolol", dan mencemari kumpulan ras manusia terbaik.

Ketakutan yang sama ini terulang lagi saat ini, di mana para pengungsi Suriah dan negara-negara konflik lainnya ditolak masuk ke beberapa negara di Eropa.

Para pendukung teori eugenika dan penentang imigrasi berjuang bahu membahu untuk menghentikan arus imigrasi ke Amerika Serikat. Mereka mencari cara untuk mendeteksi orang-orang yang tergolong sebagai manusia "lemah mental"--dan mereka sepakat bahwa mayoritas orang Yahudi dan kulit hitam cocok dengan kategori itu, meskipun saat itu di Amerika juga terdapat berbagai macam ras asing--lalu mencegah perkembangbiakan mereka dengan cara mengisolasinya ke dalam berbagai lembaga atau dengan menerapkan sterilisasi.

Margaret Sanger bilang: " memelihara sampah masyarakat dengan mengorbankan manusia yang berguna adalah kekejaman .. perbuatan apa yang lebih biadab selain mewariskan orang-orang dungu itu kepada generasi penerus kita?" Sanger merasa bahwa orang-orang kulit putih sangat terbebani karena harus memelihara "limbah manusia" seperti itu.

Gerakan tersebut sangat kental dengan aroma rasisme yang merebak, dna itu terbukti dari esai berjudul The Rising Tide of Color Against White World Supremacy yang ditulis oleh Lothrop Stoddard. Akan tetapi pada saat itu isu rasisme hanya dianggap sebagai ekses minimal dari upaya mencapai tujuan yang mulia, yaitu meningkatkan kualitas manusia di masa depan. Dan justru konsep salah kaprah inilah yang paling memikat generasi yang paling progresif dan liberal pada zaman itu. California merupakan satu dari 29 negara bagian di Amerika Serikat yang meloloskan undang-undang yang melegalkan sterilisasi terhadap para warga dari ras kelas bawah--dan dibandingkan negara-negara bagian lainnya, pemerintah California terbukti paling giat menjalankannya.


Riset tentang eugenika didanai oleh Yayasan Carnegie dan Yayasan Rockefeller. Yayasan Rockefeller sangat antusias dengan penelitian tersebut --bahkan ketika pusat risetnya dipindahkan ke Jerman dan di sana merebak kabar tentang pasien-pasien rumah sakit jiwa yang dilemparkan ke kamar gas. Yayasan Rockefeller terus saja mendanai para peneliti di Jerman. (Meskipun banyak yayasan tutup mulut, mereka terbukti masih mentransfer dana kepada para peneliti di Jerman pada tahun 1939, hanya beberapa bulan menjelang pecahnya Perang Dunia II.


Sejak tahun 1920-an para "ilmuwan" eugenika di Amerika merasa iri karena Jerman telah mengambil alih kendali penelitian mereka. Orang-orang Jerman itu sangat bersemangat dan progresif. Mereka membawa orang-orang yang dianggap lemah mental ke dalam bangunan-bangunan yang mirip rumah biasa, lalu menginterview orang-orang itu sebelum akhirnya menggiring mereka ke kamar belakang, yang tak lain adalah kamar gas. Di dalam kamar gas tersebut para korban dieksekusi dengan gas karbon monoksida, lalu jasadnya dibuang setelah terlebih dahulu dikremasi di fasilitas pembakaran mayat yang terletak di kompleks yang sama.

Pada akhirnya, program tersebut dikembangkan menjadi jaringan kamp-kamp konsentrasi yang terletak di sepanjang jalur kereta api, sehingga memudahkan mereka mengangkut dan menghabisi orang-orang yang dianggap sebagai manusia buangan itu secara efektif.

Setelah Perang Dunia II usai, tak seorangpun berani mengaku sebagai ilmuwan atau pendukung eugenika. Para pengarang biografi tokoh-tokoh besar pada masa itu sama sekali tak berani mengungkit fakta sejarah tersebut dalam tulisan-tulisannya. Eugenika tak lagi menjadi mata pelajaran wajib di perguruan tinggi, meskipun banyak yang mengatakan bahwa ide tersebut masih cukup populer sekarang, walaupun wujudnya sangat tersamar.

Jika kita mencermati sejarah silam, ada tiga hal yang sangat menarik untuk dikaji:
  1. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan biaya besar untuk membangun laboratorium di Cold Springs Harbor dan berbagai universitas giat melakukan penelitian, serta para pengacara gigih memperjuangkan isu tersebut, pada kenyataannya teori eugenika sama sekali tak memiliki landasan ilmiah. Bahkan ketika itu orang belum sepenuhnya memahami arti kata gen. Gerakan eugenika yang meluas dan didukung berbagai pihak itu terfokus pada berbagai istilah yang kabur defenisinya. Manusia "lemah mental" bisa berarti miskin, buta huruf, atau mengidap epilepsi. Begitu juga istilah-istilah lain yang dipakai sebagai label untuk memojokkan kaum atau ras yang dianggap kelas bawah; defenisinya benar-benar tak jelas.
  2. Gerakan eugenika sebenarnya program sosial yang berkedok penelitian ilmiah. Program itu sesungguhnya dipicu oleh kerisauan orang-orang kulit putih dalam menghadapi derasnya arus imigran, serta merebaknya rasisme dan ketidaksenangan mereka melihat kedatangan orang-orang yang tak mereka sukai ke dalam wilayah mereka. Lagi-lagi terminologi yang kabur defenisinya digunakan untuk menyamarkan keadaan yang sesungguhnya.
  3. Yang paling menyedihkan, pendirian lembaga-lembaga ilmiah di Amerika dan Jerman itu tak banyak mendapatkan tentangan. Bahkan sebaliknya, para ilmuwan Jerman dengan antusias menyambut program itu. Para peneliti modern di Jerman pernah mereview dokmen-dokumen Nazi yang berasal dari era 1930-an. Mereka berhasil menemukan semacam panduan yang mendiktekan cara melakukan penelitian 'yang benar' menurut versi Nazi Jerman. Tapi tak ada satupun proyek penelitian yang benar-benar diperlukan atau bermanfaat. 
Menurut penuturan Yre Deichman, "para ilmuwan termasuk non anggota Nazi, terpaksa harus mengubah perilaku dan bekerjasama dengan negara demi mendapatkan dana penelitian." Deichman juga menceritakan tentang 'para ilmuwan yang berperan aktif mendukung kebijakan rasisme Nazi, di mana penelitian mereka dimaksudkan untuk memberikan pembenaran terhadap doktrin-doktrin Nazi yang rasis, tak ditemukan satupun dokumen tentang adanya tekanan dari pihak-pihak luar terhadap mereka." Para ilmuwan Jerman menyesuaikan minat penelitian mereka dengan kebijakan pemerintah ketika itu. Sedangkan mereka yang melawan arus pasti akan lenyap.

Hal yang sama terjadi di Indonesia pada tahun 1960-an. Hampir jutaan orang tak bersalah meninggal di tangan saudaranya sendiri dalam propaganda besar-besaran yang dihembuskan pemerintah waktu itu pasca G 30 S/PKI. Ratusan ribu orang yang tidak ada hubungan langsung dengan ideologi komunis hilang dan menjadi mayat, dibunuh dengan cara mengenaskan, hanya karena tudingan tak berdasar bahwa dia adalah PKI. Angkatan bersenjata mengerahkan preman, organisasi kepemudaan, bahkan para santri untuk memberantas dan menghabisi orang yang diduga terlibat PKI. Pada masa itu, bisa saja sepupu, teman, saudara, mertua, yang lenyap untuk kemudian menjadi mayat gara-gara propaganda pemerintah yang ingin memberantas PKI 'sampai ke akar-akarnya'. Dengan menyatakan komunis adalah setan desa, setan kota, tidak bertuhan dan sebagainya, masyarakat yang pada masa itu gampang dihasut, dengan serta merta ikut membantu membantai saudara-saudara kita yang malang itu. (Baca laporan Tempo atau artikel ini di http://blog.ferdot.com/2012/10/dari-pengakuan-algojo-1965.html

Sejarah peradaban manusia dipenuhi kisah-kisah yang mengenaskan. Kita telah membunuh ribuan manusia karena kita yakin orang-orang itu telah bersepakat dengan iblis, sehingga mereka menjadi penyihir dan tukang tenung. Hingga sekarang, setiap tahun lebih dari seribu orang dihabisi hanya karena dicurigai sebagai dukun ilmu hitam.

Sekarang banyak dari kita yang terpecah belah, saling membenci, karena masing-masing kelompok memakai media, website, portal, social media, untuk menyebarkan hal-hal yang bukan saja tidak berimbang, tetapi juga belum tentu kebenarannya.

Teknologi tidak memiliki karakter baik atau jahat, ia hanya alat, namun manusia yang menggunakannyalah yang membuat perbedaan.

(Dari berbagai sumber, antara lain: Michael Crichton's State of Fear, Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012, dan lain-lain.)