Di luar siklus ekonomi formal yang mengatur peredaran uang setiap waktu, ada institusi kecil yang bernama arisan. Menurut situs wikipedia, arisan adalah " kelompok orang yang mengumpulkan uang secara teratur pada tiap-tiap periode tertentu. Setelah uang terkumpul, salah satu dari anggota kelompok akan keluar sebagai pemenang. Penentuan pemenang biasanya dilakukan dengan jalan pengundian, namun ada juga kelompok arisan yang menentukan pemenang dengan perjanjian." (Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Arisan )
Dalam definisi di atas yang ditekankan adalah subjeknya, yaitu 'kelompok orang', bukan kegiatannya. Dalam hal ini, jika ada 'kelompok orang' sedang melakukan suatu kegiatan, maka kegiatan tersebut bisa diinterpretasikan bermacam-macam. Sekelompok orang bisa melakukan hal baik, sekelompok orang bisa melakukan hal yang sangat baik, dan sekelompok orang bisa melakukan hal yang super baik. Dan sekelompok orang tersebut bisa mengklaim mereka telah dan selalu melakukan hal baik.
Tapi selalu tersembunyi monster yang tak kasat mata jika sekelompok orang sedang berkumpul. Jika kelompok tersebut melakukan shalat jamaah, monster tersebut tidak saja akan tak kasat mata, tapi juga tak ada, menjauh sejauh-jauhnya. Namun, sekelompok orang pada dini hari, tepat 45 tahun yang lalu, dengan berpakaian gelap dan senjata di tangan, memporakporandakan negeri ini dengan langkah yang diatur oleh sang bos yang punya maksud tertentu, tidak saja menghadirkan monster tak kasat mata, tapi mereka sendiri telah bertransformasi menjadi monster. Sang bos, yang beberapa waktu kemudian menjadi pemimpin tertinggi dengan julukan the smiling general, telah meninggalkan misteri besar tentang 'apa yang sesungguhnya terjadi' pada dini hari, 1 Oktober, 45 tahun yang lalu.
Tapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini, itu hanya pengingat bahwa hari ini adalah 1 Oktober, di mana dulu pernah terjadi tragedi yang dilakukan 'sekelompok orang' tadi. Tentu saja, kelompok tersebut tidak melakukan arisan, melainkan pembunuhan.
Suatu kegiatan pada dasarnya adalah baik, dan arisan merupakan sebuah kegiatan sosial (dan ekonomi) yang baik. Di tempat-tempat tertentu, arisan divariasikan menjadi semacam 'yasinan' atau 'wiridan' di mana sekelompok orang membaca yasin dan mengumandangkan wirid. Dan tentu saja ada penganan di atas nampan, dan es buah atau sirup, atau paling tidak teh untuk menggelontor penganan tadi dari kerongkongan. Penyelenggara wirid atau yasinan tersebut digilir secara teratur, sesuai dengan konsep arisan tersebut.
Di kampung saya, rekan-rekan satu sekolah secara berkala mengadakan arisan sekaligus semacam reuni. Yang mengikat kelompok tersebut adalah mereka semua satu angkatan, dan kegiatan tersebut berlangsung sejak lama. Dalam kegiatan tersebut, rekan-rekan mayoritas wanita yang mulai mendekati usia paruh baya tersebut, mereka katanya melakukan "baca yasin, doa selamat, makan-makan". Tentu saja itu perbuatan terpuji, yang tidak saja harus dipertahankan dan dilanjutkan, tetapi juga harus didukung.
Tapi, seperti yang saya bilang, jika 'sekelompok orang' berkumpul, terutama wanita, mereka tidak hanya makan-makan, minum-minum, atau baca yasin, tetapi juga menghadirkan monster kecil bernama gosip. Dan gosip bukanlah gosip jika tidak berbumbu. Sebuah benda akan lebih menarik perhatian jika dibungkus dengan asesoris tambahan. Dan gosip selalu memiliki asesoris tambahan. Sebuah kisah masa lalu bisa menjadi topik gosip yang hangat, setelah diberi bumbu atau asesoris tambahan tersebut.
Awalnya mungkin kisahnya sudah basi, sehingga kisah tersebut perlu dipanaskan kembali, diberi bumbu tambahan, hingga yang basi bisa menjadi segar dan siap dikonsumsi kembali. Tapi keasliannya sudah tidak ada lagi, tambahan-tambahan dan tambalan tersebut, yang dalam prosesnya bisa menjadi fitnah (fitnah selalu lebih kejam dari pembunuhan), makin menebal dan terus tebal sehingga orang tidak melihat lagi apa sebenarnya yang ada di balik tambalan tersebut. Para pegosip ini, mereka tak ubahnya ibarat sekelompok babi di kandang yang mengkonsumsi makanan basi dengan suara riuh rendah dan ribut. Yang jadi korban adalah obyek gosip tersebut, yang tidak berada di situ untuk meluruskan kisahnya atau membantah hal-hal yang tidak benar, atau membela diri. Dan kita tahu dalam sejarah panjang pergosipan yang kelam dan penuh tragedi, gosip adalah monster yang merusak. Gossip really can kill.
Soal menggosip atau 'ngrasani' ini memiliki aspek psikologis yang menyangkut hal 'ketidakpuasan'. Dr. Naek L. Tobing pernah menulis artikel mengenai hubungan antara ketidakpuasan seksual dengan kebiasaan menggosip. Wanita-wanita yang tidak puas dalam hidupnya, khususnya para wanita yang tidak pernah mengalami orgasme, (atau para ibu-ibu yang diduakan atau ditigakan oleh suaminya sehingga menjadi jablai), (atau para ibu yang memiliki suami lemah syahwat), kebanyakan akan mengkompensasikan ketidakpuasan tersebut dengan menggosip, menceritakan keburukan atau aib tetangga, dan lain-lain. Ketidakpuasan itu dilampiaskan dengan menambah-nambah cerita yang standar menjadi full accessories. Kompensasi atau pelampiasan tersebut secara semu akan membuat orang tersebut merasa lebih baik dari obyek yang digosipkan. Celakanya, seperti yang saya katakan tadi, memelihara gosip sama dengan memelihara monster, monster yang jahat tentunya (karena di serial anime Jepang, di mana monster tidak semuanya jahat, ada yang baik juga, misalnya Pikachu, dan ada yang tak jelas baik atau jahat, sepeti Godzilla).
Saya mendukung gerakan feminisme, dan saya suka dengan ide kesetaraan gender, bahwa wanita adalah kaum yang cerdas, pendamping suami yang bisa diandalkan, dan merupakan tiang kehidupan. Wanita bisa duduk dan berdiri sejajar dengan laki-laki. Tindakan wanita semestilah masuk akal, smart, dan beradab. Sedangkan menggosip dan memfitnah (gosip yang tidak benar atau mengada-ada = fitnah) adalah tindakan yang jauh dari rasional, tidak smart, dan tidak beradab. Karena itulah, demi harkat dan martabat kaum wanita itu sendiri, jangan pernah mau kaum wanita sampai diidentikkan dengan gosip. Jangan sampai ada variabel yang menyatakan bahwa [wanita + wanita = gosip].
Karena itu, kurangilah menggosip. Tetap lakukan kegiatan arisan yang baik itu, karena arisan adalah kegiatan sosial tempat dilakukannya silaturahmi, baca yasin, berbagi informasi, dan mensejahterakan, dan tentu saja mengobrol. Mengobrolnya diusahakan dibatasi pada fakta yang benar-benar diketahui dan terkonfirmasi saja, sehingga tidak sampai merugikan orang lain. (Batam, 1 Oktober 2010).
Diposting di situs www.ferdot.com
Baca tulisan lainnya di blog Coffee Break With Ferdy.
Dalam definisi di atas yang ditekankan adalah subjeknya, yaitu 'kelompok orang', bukan kegiatannya. Dalam hal ini, jika ada 'kelompok orang' sedang melakukan suatu kegiatan, maka kegiatan tersebut bisa diinterpretasikan bermacam-macam. Sekelompok orang bisa melakukan hal baik, sekelompok orang bisa melakukan hal yang sangat baik, dan sekelompok orang bisa melakukan hal yang super baik. Dan sekelompok orang tersebut bisa mengklaim mereka telah dan selalu melakukan hal baik.
Tapi selalu tersembunyi monster yang tak kasat mata jika sekelompok orang sedang berkumpul. Jika kelompok tersebut melakukan shalat jamaah, monster tersebut tidak saja akan tak kasat mata, tapi juga tak ada, menjauh sejauh-jauhnya. Namun, sekelompok orang pada dini hari, tepat 45 tahun yang lalu, dengan berpakaian gelap dan senjata di tangan, memporakporandakan negeri ini dengan langkah yang diatur oleh sang bos yang punya maksud tertentu, tidak saja menghadirkan monster tak kasat mata, tapi mereka sendiri telah bertransformasi menjadi monster. Sang bos, yang beberapa waktu kemudian menjadi pemimpin tertinggi dengan julukan the smiling general, telah meninggalkan misteri besar tentang 'apa yang sesungguhnya terjadi' pada dini hari, 1 Oktober, 45 tahun yang lalu.
Tapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini, itu hanya pengingat bahwa hari ini adalah 1 Oktober, di mana dulu pernah terjadi tragedi yang dilakukan 'sekelompok orang' tadi. Tentu saja, kelompok tersebut tidak melakukan arisan, melainkan pembunuhan.
Suatu kegiatan pada dasarnya adalah baik, dan arisan merupakan sebuah kegiatan sosial (dan ekonomi) yang baik. Di tempat-tempat tertentu, arisan divariasikan menjadi semacam 'yasinan' atau 'wiridan' di mana sekelompok orang membaca yasin dan mengumandangkan wirid. Dan tentu saja ada penganan di atas nampan, dan es buah atau sirup, atau paling tidak teh untuk menggelontor penganan tadi dari kerongkongan. Penyelenggara wirid atau yasinan tersebut digilir secara teratur, sesuai dengan konsep arisan tersebut.
Di kampung saya, rekan-rekan satu sekolah secara berkala mengadakan arisan sekaligus semacam reuni. Yang mengikat kelompok tersebut adalah mereka semua satu angkatan, dan kegiatan tersebut berlangsung sejak lama. Dalam kegiatan tersebut, rekan-rekan mayoritas wanita yang mulai mendekati usia paruh baya tersebut, mereka katanya melakukan "baca yasin, doa selamat, makan-makan". Tentu saja itu perbuatan terpuji, yang tidak saja harus dipertahankan dan dilanjutkan, tetapi juga harus didukung.
Tapi, seperti yang saya bilang, jika 'sekelompok orang' berkumpul, terutama wanita, mereka tidak hanya makan-makan, minum-minum, atau baca yasin, tetapi juga menghadirkan monster kecil bernama gosip. Dan gosip bukanlah gosip jika tidak berbumbu. Sebuah benda akan lebih menarik perhatian jika dibungkus dengan asesoris tambahan. Dan gosip selalu memiliki asesoris tambahan. Sebuah kisah masa lalu bisa menjadi topik gosip yang hangat, setelah diberi bumbu atau asesoris tambahan tersebut.
Awalnya mungkin kisahnya sudah basi, sehingga kisah tersebut perlu dipanaskan kembali, diberi bumbu tambahan, hingga yang basi bisa menjadi segar dan siap dikonsumsi kembali. Tapi keasliannya sudah tidak ada lagi, tambahan-tambahan dan tambalan tersebut, yang dalam prosesnya bisa menjadi fitnah (fitnah selalu lebih kejam dari pembunuhan), makin menebal dan terus tebal sehingga orang tidak melihat lagi apa sebenarnya yang ada di balik tambalan tersebut. Para pegosip ini, mereka tak ubahnya ibarat sekelompok babi di kandang yang mengkonsumsi makanan basi dengan suara riuh rendah dan ribut. Yang jadi korban adalah obyek gosip tersebut, yang tidak berada di situ untuk meluruskan kisahnya atau membantah hal-hal yang tidak benar, atau membela diri. Dan kita tahu dalam sejarah panjang pergosipan yang kelam dan penuh tragedi, gosip adalah monster yang merusak. Gossip really can kill.
Soal menggosip atau 'ngrasani' ini memiliki aspek psikologis yang menyangkut hal 'ketidakpuasan'. Dr. Naek L. Tobing pernah menulis artikel mengenai hubungan antara ketidakpuasan seksual dengan kebiasaan menggosip. Wanita-wanita yang tidak puas dalam hidupnya, khususnya para wanita yang tidak pernah mengalami orgasme, (atau para ibu-ibu yang diduakan atau ditigakan oleh suaminya sehingga menjadi jablai), (atau para ibu yang memiliki suami lemah syahwat), kebanyakan akan mengkompensasikan ketidakpuasan tersebut dengan menggosip, menceritakan keburukan atau aib tetangga, dan lain-lain. Ketidakpuasan itu dilampiaskan dengan menambah-nambah cerita yang standar menjadi full accessories. Kompensasi atau pelampiasan tersebut secara semu akan membuat orang tersebut merasa lebih baik dari obyek yang digosipkan. Celakanya, seperti yang saya katakan tadi, memelihara gosip sama dengan memelihara monster, monster yang jahat tentunya (karena di serial anime Jepang, di mana monster tidak semuanya jahat, ada yang baik juga, misalnya Pikachu, dan ada yang tak jelas baik atau jahat, sepeti Godzilla).
Saya mendukung gerakan feminisme, dan saya suka dengan ide kesetaraan gender, bahwa wanita adalah kaum yang cerdas, pendamping suami yang bisa diandalkan, dan merupakan tiang kehidupan. Wanita bisa duduk dan berdiri sejajar dengan laki-laki. Tindakan wanita semestilah masuk akal, smart, dan beradab. Sedangkan menggosip dan memfitnah (gosip yang tidak benar atau mengada-ada = fitnah) adalah tindakan yang jauh dari rasional, tidak smart, dan tidak beradab. Karena itulah, demi harkat dan martabat kaum wanita itu sendiri, jangan pernah mau kaum wanita sampai diidentikkan dengan gosip. Jangan sampai ada variabel yang menyatakan bahwa [wanita + wanita = gosip].
Karena itu, kurangilah menggosip. Tetap lakukan kegiatan arisan yang baik itu, karena arisan adalah kegiatan sosial tempat dilakukannya silaturahmi, baca yasin, berbagi informasi, dan mensejahterakan, dan tentu saja mengobrol. Mengobrolnya diusahakan dibatasi pada fakta yang benar-benar diketahui dan terkonfirmasi saja, sehingga tidak sampai merugikan orang lain. (Batam, 1 Oktober 2010).
Diposting di situs www.ferdot.com
Baca tulisan lainnya di blog Coffee Break With Ferdy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar