Lihatlah foto para caleg itu.
Di tiang listrik, kaki jembatan, dinding ruko, dinding pos kamling, baliho, banner, di samping warung tuak, di depan warung bakso, di pangkalan ojek. Rata-rata menampilkan sosok berdasi, berjas dan berpeci, persis foto-foto yang ada di poster Kabinet Pembangunan III, IV dan V waktu saya kecil dulu. Semua tampak sama, semua tampak seragam, semua menegaskan satu hal: tampang politikus.
Memang ada satu dua yang tampil beda (sukurlah), tapi kalaupun potretnya berbeda, kata-katanya biasanya mirip, atau gayanya mirip, misalnya tinju terkepal, tangan mengatup seperti salam panjali. Tapi tetap saja semuanya menegaskan hal yang sama: tampang politikus. Setidaknya, itulah kesan yang saya tangkap.
Karena itulah, sewaktu bos Arie (yang juga jadi caleg) minta tolong saya untuk mendisain baliho miliknya, saya tegaskan agar balihonya jangan sampai tampak sama dengan yang lain, karena hal-hal yang tampak sama justru akan mudah dilupakan. Potretnya harus tampil beda, jangan menampilkan profil politikus, tapi tampilkan sosok pekerja, yang sama dan sejajar dengan rakyat kebanyakan (karena toh dia itu rakyat juga). Tidak perlu pakai jas, pakai dasi, atau berpeci. Cukup sosok yang terkesan intelek dan terpelajar, tapi juga pekerja keras. Bukan profil politikus yang kesannya cuma bisa ngomong, tapi miskin tindakan.
Sewaktu disainnya sudah jadi, dan bos Arie mengajukannya kepada pimpinan partainya, serta merta disain saya ditolak. Walau bagaimanapun, katanya, sosok caleg itu harus pakai jas, dasi dan peci.
Perubahan memang butuh waktu.
Dari sekian banyak baliho caleg yang ada di jalan, tak satupun yang gampang diingat. Justru yang tinggal berbekas di kepala saya adalah sosok Luna Maya di salah satu iklan baliho milik operator seluler.
Di tiang listrik, kaki jembatan, dinding ruko, dinding pos kamling, baliho, banner, di samping warung tuak, di depan warung bakso, di pangkalan ojek. Rata-rata menampilkan sosok berdasi, berjas dan berpeci, persis foto-foto yang ada di poster Kabinet Pembangunan III, IV dan V waktu saya kecil dulu. Semua tampak sama, semua tampak seragam, semua menegaskan satu hal: tampang politikus.
Memang ada satu dua yang tampil beda (sukurlah), tapi kalaupun potretnya berbeda, kata-katanya biasanya mirip, atau gayanya mirip, misalnya tinju terkepal, tangan mengatup seperti salam panjali. Tapi tetap saja semuanya menegaskan hal yang sama: tampang politikus. Setidaknya, itulah kesan yang saya tangkap.
Karena itulah, sewaktu bos Arie (yang juga jadi caleg) minta tolong saya untuk mendisain baliho miliknya, saya tegaskan agar balihonya jangan sampai tampak sama dengan yang lain, karena hal-hal yang tampak sama justru akan mudah dilupakan. Potretnya harus tampil beda, jangan menampilkan profil politikus, tapi tampilkan sosok pekerja, yang sama dan sejajar dengan rakyat kebanyakan (karena toh dia itu rakyat juga). Tidak perlu pakai jas, pakai dasi, atau berpeci. Cukup sosok yang terkesan intelek dan terpelajar, tapi juga pekerja keras. Bukan profil politikus yang kesannya cuma bisa ngomong, tapi miskin tindakan.
Sewaktu disainnya sudah jadi, dan bos Arie mengajukannya kepada pimpinan partainya, serta merta disain saya ditolak. Walau bagaimanapun, katanya, sosok caleg itu harus pakai jas, dasi dan peci.
Perubahan memang butuh waktu.
Dari sekian banyak baliho caleg yang ada di jalan, tak satupun yang gampang diingat. Justru yang tinggal berbekas di kepala saya adalah sosok Luna Maya di salah satu iklan baliho milik operator seluler.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar