Dalam sejarah panjang yang memilukan dan memalukan tentang kisah orang-orang bodoh, mungkin kisah berikut ini bisa masuk daftar sepuluh besar.
Salah satu rekan yang bekerja dalam industri jasa mengeluh karena permintaannya akan penambahan tenaga SDM jadi batal gara-gara kebodohan managernya sendiri. Awalnya, sang rekan memang sudah segan ngomong ke sang manager bahwa betapa krusial dan mendesaknya penambahan tenaga di departemen yang bersangkutan. Segan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa si manager ini selain tidak kompeten dalam bidangnya, juga fungsinya hanya sebagai dinding squash. Itu lho, olahraga mirip tenis yang pemainnya memukul bola ke dinding, terus bola nya mantul lagi ke pemain. Maksudnya, setiap ada keluhan, saran atau permintaan apapun dari bawahan yang disampaikan ke sang manager, semuanya dikembalikan lagi ke si penanya. Jadi selama ini rekan saya tadi merasa setiap mengajukan aspirasi ke managernya, aspirasi itu didengarkan, tapi dipantulkan lagi ke rekan saya itu. Artinya, mau ngomong apapun bakalan sia-sia, ibarat berteriak dalam gua yang luas, yang kita dengar hanyalah gema suara kita sendiri.
Ceritanya, owner akan datang sebentar lagi. Biasanya kalau sang owner datang, akan diadakanlah semacam meeting antara pihak management dengan pihak owner. Di meeting inilah, keluhan, saran, protes, tudingan, dan permohonan disampaikan. Jadi, menurut rekan saya yang posisinya sebagai supervisor tadi, saat ini adalah saat yang tepat untuk menyampaikan kepada owner bahwa SDM di departemennya harus ditambah karena sudah sangat mendesak situasinya. Berhubung supervisor tidak (diundang) ikut meeting dengan owner, jadi rekan saya tersebut dengan berat hati minta tolong managernya agar menyampaikan permohonan tersebut ke dalam forum meeting.
Nah, pada saat meeting, ketika tiba giliran si manager untuk menyampaikan aspirasinya, entah gara-gara angin puting beliung darimana, tiba-tiba sang manager merasa perlu menggunakan istilah bahasa Inggris untuk menyampaikan permintaan dari rekan saya tadi. Untuk pengajuan penambahan karyawan, digunakannya istilah replacement. Menanggapi hal itu, sang owner langsung mengiyakan dan menyarankan agar untuk replacement tersebut, mengambil SDM dari departemen lain dan ditukar dengan SDM dari departemen yang bersangkutan. Intinya tidak ada penambahan, hanya transfer karyawan, jadi jumlah karyawan di departemen tersebut tidak akan bertambah, juga tidak berkurang.
Rekan saya tersebut, demi mendengar aspirasinya disampaikan oleh manager jenius tadi dengan salah kaprah, tidak bisa bilang apa-apa selain pasrah. Tapi kesedihan dan kekesalannya tak bisa disembunyikan. Penambahan SDM di departemennya memang sangat mendesak. Jika salah satu dari mereka ada yang sakit dan tidak bisa masuk kerja, akan berantakanlah kinerja mereka. Mestinya bulan ini mereka sudah bisa mendapat tenaga SDM baru, tapi tertunda entah untuk berapa lama gara-gara kejeniusan sang manager yang salah menggunakan istilah. Kalau saja sang manager tidak sok gaya memakai istilah yang tidak dimengertinya sendiri, tapi tetap menggunakan kata sederhana, yaitu : penambahan karyawan, tentu saja aspirasi rekan saya dapat disampaikan dengan baik.
Memang sudah jadi rahasia umum bahwa sang manager ini dungunya minta ampun. Tapi kebodohannya itu kadang-kadang tertutupi dengan gaya bicaranya yang diplomatis dan terkesan intelek, penampilannya juga oke, dan punya bakat untuk membuat orang percaya. Dengan nilai-nilai tersebut, sebenarnya sang manager punya kualitas untuk menjadi seorang politikus: dungu, tapi pandai bicara. Yang terjadi di sini adalah keadaan the wrong man on the (extremely) wrong place.
Betapa seringnya kita melihat hal-hal ini, the wrong man on the wrong place. Coba lihat caleg-caleg yang berhasil duduk itu. Sebagian dari mereka saya kenal sebagai orang yang keji, yang kerjanya memalaki dan memeras tauke-tauke Cina dan buruh rendahan. Ada juga anggota legislatif yang tadinya bandar judi, yang pada saat kampanye terang-terangan menyuap dan memaksa orang dengan ancaman. Rasanya tak rela kita melihat dewan legislatif diisi dengan kualitas orang-orang seperti itu. Bagaimana kita bisa mempercayakan aspirasi kita di tangan orang-orang yang tidak kompeten seperti mereka? Akibatnya seperti yang dirasakan rekan saya dengan managernya itu. Aspirasi itu takkan sampai dengan benar.
Sang manager pun, mungkin sampai saat ini tidak tahu bahwa sudah setahun terakhir ini dia mendapat predikat di kalangan terbatas sebagai the dumbest manager on earth.
Originally posted on : www.ferdiansyah.com
Salah satu rekan yang bekerja dalam industri jasa mengeluh karena permintaannya akan penambahan tenaga SDM jadi batal gara-gara kebodohan managernya sendiri. Awalnya, sang rekan memang sudah segan ngomong ke sang manager bahwa betapa krusial dan mendesaknya penambahan tenaga di departemen yang bersangkutan. Segan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa si manager ini selain tidak kompeten dalam bidangnya, juga fungsinya hanya sebagai dinding squash. Itu lho, olahraga mirip tenis yang pemainnya memukul bola ke dinding, terus bola nya mantul lagi ke pemain. Maksudnya, setiap ada keluhan, saran atau permintaan apapun dari bawahan yang disampaikan ke sang manager, semuanya dikembalikan lagi ke si penanya. Jadi selama ini rekan saya tadi merasa setiap mengajukan aspirasi ke managernya, aspirasi itu didengarkan, tapi dipantulkan lagi ke rekan saya itu. Artinya, mau ngomong apapun bakalan sia-sia, ibarat berteriak dalam gua yang luas, yang kita dengar hanyalah gema suara kita sendiri.
Ceritanya, owner akan datang sebentar lagi. Biasanya kalau sang owner datang, akan diadakanlah semacam meeting antara pihak management dengan pihak owner. Di meeting inilah, keluhan, saran, protes, tudingan, dan permohonan disampaikan. Jadi, menurut rekan saya yang posisinya sebagai supervisor tadi, saat ini adalah saat yang tepat untuk menyampaikan kepada owner bahwa SDM di departemennya harus ditambah karena sudah sangat mendesak situasinya. Berhubung supervisor tidak (diundang) ikut meeting dengan owner, jadi rekan saya tersebut dengan berat hati minta tolong managernya agar menyampaikan permohonan tersebut ke dalam forum meeting.
Nah, pada saat meeting, ketika tiba giliran si manager untuk menyampaikan aspirasinya, entah gara-gara angin puting beliung darimana, tiba-tiba sang manager merasa perlu menggunakan istilah bahasa Inggris untuk menyampaikan permintaan dari rekan saya tadi. Untuk pengajuan penambahan karyawan, digunakannya istilah replacement. Menanggapi hal itu, sang owner langsung mengiyakan dan menyarankan agar untuk replacement tersebut, mengambil SDM dari departemen lain dan ditukar dengan SDM dari departemen yang bersangkutan. Intinya tidak ada penambahan, hanya transfer karyawan, jadi jumlah karyawan di departemen tersebut tidak akan bertambah, juga tidak berkurang.
Rekan saya tersebut, demi mendengar aspirasinya disampaikan oleh manager jenius tadi dengan salah kaprah, tidak bisa bilang apa-apa selain pasrah. Tapi kesedihan dan kekesalannya tak bisa disembunyikan. Penambahan SDM di departemennya memang sangat mendesak. Jika salah satu dari mereka ada yang sakit dan tidak bisa masuk kerja, akan berantakanlah kinerja mereka. Mestinya bulan ini mereka sudah bisa mendapat tenaga SDM baru, tapi tertunda entah untuk berapa lama gara-gara kejeniusan sang manager yang salah menggunakan istilah. Kalau saja sang manager tidak sok gaya memakai istilah yang tidak dimengertinya sendiri, tapi tetap menggunakan kata sederhana, yaitu : penambahan karyawan, tentu saja aspirasi rekan saya dapat disampaikan dengan baik.
Memang sudah jadi rahasia umum bahwa sang manager ini dungunya minta ampun. Tapi kebodohannya itu kadang-kadang tertutupi dengan gaya bicaranya yang diplomatis dan terkesan intelek, penampilannya juga oke, dan punya bakat untuk membuat orang percaya. Dengan nilai-nilai tersebut, sebenarnya sang manager punya kualitas untuk menjadi seorang politikus: dungu, tapi pandai bicara. Yang terjadi di sini adalah keadaan the wrong man on the (extremely) wrong place.
Betapa seringnya kita melihat hal-hal ini, the wrong man on the wrong place. Coba lihat caleg-caleg yang berhasil duduk itu. Sebagian dari mereka saya kenal sebagai orang yang keji, yang kerjanya memalaki dan memeras tauke-tauke Cina dan buruh rendahan. Ada juga anggota legislatif yang tadinya bandar judi, yang pada saat kampanye terang-terangan menyuap dan memaksa orang dengan ancaman. Rasanya tak rela kita melihat dewan legislatif diisi dengan kualitas orang-orang seperti itu. Bagaimana kita bisa mempercayakan aspirasi kita di tangan orang-orang yang tidak kompeten seperti mereka? Akibatnya seperti yang dirasakan rekan saya dengan managernya itu. Aspirasi itu takkan sampai dengan benar.
Sang manager pun, mungkin sampai saat ini tidak tahu bahwa sudah setahun terakhir ini dia mendapat predikat di kalangan terbatas sebagai the dumbest manager on earth.
Originally posted on : www.ferdiansyah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar