12 Juni 2007

Collateral Damage

Dua hari yang lalu, di sebuah hotel saya bertemu dengan seorang laki-laki Amerika berusia 72 tahun, berasal dari Denver, Colorado, sangat lancar berbahasa Indonesia. Setelah berkenalan, kami berbincang, mulai dari yang ringan. Setelah 20 menit, entah mengapa dia bilang kalau dia itu pernah bertugas di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta sekitar tahun 60-an. Mantan diplomat dong. Sambil mengedipkan mata, dia mengatakan suatu hal yang mungkin akan membuat sebagian pihak terkejut. Tapi sebenarnya hal yang disebutkannya itu adalah suatu rahasia umum. Bahwa hampir sebagian besar diplomat Amerika yang bertugas di Jakarta pada masa itu adalah anggota CIA.
Mau tak mau, obrolan pun menjangkau tragedi yang disebut G30S itu. Waktu saya bertanya apakah benar CIA terlibat dalam peristiwa berdarah itu, dia mengangguk dengan mantap. Dia bilang kalau di suatu negara pada masa itu (60-an) ada gejolak antara kelompok komunis dan lawannya, sudah dipastikan CIA terlibat. CIA dan Amerika dan blok kapitalis lainnya punya kepentingan besar untuk menghentikan laju pertumbuhan komunis. Pada masa itu memang kekuatan komunis di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Mereka ada di semua lini, dan harus ada skenario untuk menghentikannya, skenario yang disukai tentu saja memancing suatu peristiwa agar pihak yang dianggap pelaku peristiwa itu kemudian tersingkirkan. Nah, tentu saja hal ini sudah banyak yang tau.
Tapi si Mister bilang, yang disesalkan kemudian adalah collateral damage nya. Saya kebetulan baru saja menonton film The Last King of Scotland, biopik Idi Amin dari kacamata Barat. Di situ Idi Amin digambarkan sebagai rezim yang haus darah, semua lawan politiknya dibantai. Klaim yang menyatakan bahwa 300ribu rakyat Uganda mati di tangannya membuat saya bergidik. Bandingkan dengan peristiwa penumpasan PKI yang dimulai sejak 1 Oktober 1965. Antara 400ribu hingga 1 juta jiwa orang Indonesia, termasuk di dalamnya orang-orang tak bersalah, habis dibantai dalam rangka penumpasan organisasi tersebut. Orangtua rekan saya yang berasal dari Jawa Timur bercerita bahwa dulu di Sungai Brantas berhari-hari orang bisa melihat mayat-mayat korban penumpasan terbawa arus yang melewati Mojokerto, Malang, Blitar dan Kediri.
Memang sekarang PKI sudah tidak ada, atau mungkin sudah tidak ada. Si Mister (yang tidak mau disebutkan namanya) tadi bilang, memang hasilnya sungguh bagus, komunis ditumpas habis (mungkin sampai ke akarnya seperti iklan obat panu), tapi jangan dilupakan pula pembantaian masal yang merenggut hingga jutaan orang sekitar tahun 1965-1966, yang berjalan singkat (Nazi membutuhkan bertahun-tahun untuk membantai orang-orang Yahudi pada masa perang dunia kedua), yang karena kekuatan Orde Baru, tak pernah sempat diketahui oleh generasi saya dalam pelajaran Sejarah Nasional di sekolah-sekolah. Memang buku sejarah perlu direvisi. Dan Dan Brown dalam dwilogi novelnya (Da Vinci Code, Angels and Demons) mengatakan bahwa sejarah ditulis oleh orang-orang yang memenangkan keadaan pada masa itu.
Tangan para pemimpin kita memang berlumuran darah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar